Monday, 17 September 2007

Wahai pengembara yang lelah

Tak perlu mengucap

Karena dengan menatap,,

Aku tahu kata yang kan terlontar


Tak perlu teteskan air mata

Karena dengan meraba,,

Aku mampu merasakan getirmu


Tapi aku salah

Ternyata aku tak pernah bisa memahami

Bahwa senyum itu semu

Ada perih di balik tawa yang berderai

Perih yang tak pernah kutahu kadarnya


Maafkan aku,,

Jika saat ini jantung itu masih berderap

Jika nisan itu belum tertancap

Aku berjanji akan berubah

Sebagai pelangi yang muncul setelah hujan


Tapi,,

Aku tak meminta waktu diputar kembali

Aku juga tak meminta ruh itu kembali pada kefanaan

Aku menghormati keputusan itu

Menjadi abu di usia belia

Dalam ketakberdayaan kau permainkan takdir


Wahai pengembara yang telah pergi

Terima kasih telah menyadarkanku

Bahwa hanya ada satu matahari di muka bumi ini

Tapi satu saja tak cukup,,

Tak cukup tuk menghangatkan hatimu

Maka aku akan berusaha menjadi matahari kedua

Aku akan berusaha bersinar seterang mentari

Bersinar dan bukan untukmu lagi

Tapi untuk ribuan orang dengan jiwa sepertimu

Aku memang tak pernah mampu membuatmu tersenyum

Bahkan hingga isak terakhirmu

Tapi demi engkau,,

Mulai kini aku kan berusaha

Membuat ribuan orang tersenyum padaku

Agar kau juga tersenyum padaku di sana


Wahai pengembara yang kelelahan

Tunggu aku di sana

Dengan senyum termanis dari nirwana

Belajar dr Sheva

Dalam konteks dunia kerja, mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari striker Chelsea Andriy Shevchenko. Jadi ketika Sheva berada di klub Italia AC Milan, dia bermain dengan sangat bagus. Begitu banyak gol yang sudah dia bikin dan ketajamannya udah gak diragukan lagi. Dia disanjung dan dianggap sebagai salah satu pemain bola terbaik. The right man on the right place lah pokoknya. Permainanannya yang menawan bersama Milan membuat klub-klub besar lain termasuk Chelsea sangat berhasrat memilikinya. Dengan iming-iming gaji tinggi yang lebih besar dibanding di Milan, Chelsea menarik Sheva ke dalam skuadnya.

Tapi sampai sejauh ini, sejak pindah ke Chelsea, justru kebintangan Sheva makin memudar. Padahal Chelsea memiliki begitu banyak pemain bintang yang seharusnya bisa men-support Sheva. Logikanya semakin banyak pemain handal, semakin hebat klub itu. Ternyata gak sesederhana itu. Dengan semakin banyak bintang, persaingan antar pemain bintang jadi semakin ketat. Tiap bintang ingin terlihat lebih bersinar dan lebih menonjol dibanding lainnya, sehingga kadang mereka terlihat cenderung egois. Dan tiap bintang belum tentu bisa bekerja sama dengan bintang lainnya. Akibatnya meski bermain di klub bertabur bintang, kebintangan Sheva justru meredup.

Hubungannya sama kita? Kalau diibaratkan dengan dunia kerja kita nantinya, apakah klub (perusahaan/instansi/lembaga/dll,,) tempat kita bernaung itu adalah yang paling tepat untuk kita? Mampukah kita jadi optimal di perusahaan tersebut? Pelajaran pentingnya. Kita gak harus bekerja di klub terbaik, karena kita bukanlah pegawai terbaik. Dan inget bahwa gak ada klub yang sempurna karena memang gak ada manusia yang sempurna. Kita gak harus bekerja di klub yang memberi kita gaji tertinggi. Tapi kita harus mencari pekerjaan di klub yang mampu mengoptimalkan potensi kita. Carilah klub (tempat kamu bekerja) yang bisa membuat kamu jadi yang terbaik.