Wednesday, 10 December 2008

Puisi (1)

Wajah itu beku
Kaku tak bergeming
Lelap dalam belaian wangi kamboja
Berselimutkan kain putih pertanda kesucian diri
Entah kemana jiwanya terbang
Menjauh dari kefanaan yang hampa
Sesuai harapnya,,

Raga kami terpisah
Tapi kenangannya kekal
Kami takkan mencegah kepergiannya
Hanya ingin mematri wajahnya di hati kami
Hanya ingin memeluk kebadiannya
Hanya ingin memanggul kerandanya
Hanya ingin mengantarkannya menuju gerbang seribu jiwa
Hanya ingin menancapkan prasasti di ujung pintu dunia
Hanya ingin menabur keceriaan laksana karangan bunga
Hanya ingin memanjatkan lautan doa untuknya
Hanya ingin bersamanya walau sejenak,,,
Hanya ingin,, melampiaskan segalanya

Air mata kami bukan memintanya untuk kembali
Jika memang lelah,, biarlah berisitirahat dengan nyaman
Dalam pangkuan Dia Yang Memiliki-nya

Kami hanya menangisi diri kami sendiri
Yang merindukan sejuta petuah bijak
Yang merindukan tangan ringkih pengusap dahaga
Yang merindukan tubuh rapuh sebagai tempat bersandar
Yang merindukan jari lembut di pagi hari
Dan akan selalu merindukannya

Hidup memang singkat
Tapi jika memang “waktu yang singkat” adalah kehendak-Nya,,
Sekali lagi kami ikhlas melepasmu
Karena suatu hari kami akan menjemputmu
Maka tunggulah kami di Taman Firdaus

Thursday, 6 November 2008

Find the sunny side of everything

Dari berbagai survey selama ini, ada beberapa survey yang sulit dilupakan, salah satunya yang paling “nggak normal” adalah survey ke Mamuju (Sulawesi Barat). Dari awal sebelum berangkat udah ada perasaan nggak enak dan nggak nyaman. Kenapa saya yang dikirim ke Mamuju (mungkin karena masih anak bawang kali ya hehe). Lagi pula kayaknya perjalanan kantor ini kurang dipersiapkan dengan matang, masak tiket pulangnya belum dibeliin. Ditambah dari awal pergi udah capek banget karena sehari sebelumnya mesti ke Bandung dan Garut setor muka di nikahan temen.

Pepatah “dunia semakin sempit” ternyata bener-bener berlaku mulai dari awal berangkat. Nyampe bandara Soekarno-Hatta di ruang boarding ternyata ketemu temen yang mau pergi juga ke Papua, satu pesawat pula,, buseettt. Jadi teringat sehari sebelumnya juga ketemu senior yang lama gak ketemu di dalam bus Jakarta-Bandung. Dan kalo dipikir-pikir kan ada banyak banget bus yang nongol, banyak banget rute pesawat,, tetep aja ketemu orang yang kita kenal hehe.

Masalah 1
Kembali ke topik Mamuju. Mamuju adalah ibukota provinsi Sulawesi Barat (baru terbentuk 2004 pasca pemekaran dari Sulsel). Kata petugas travelnya, tiket ke Jakarta-Mamuju hanya ada maskapai Merpati. Maklum, Merpati biasanya melayani rute-rute “kering” yang sepi penumpang (maskapai perintis). Petugas travel bilang bahwa pesawat ke Mamuju akan ditempuh dalam satu hari (transit beberapa jam di Makassar), tanpa bermalam.

Hari Senin pagi tiba di Makassar (Sulawesi Selatan), ternyata ada masalah besar. Penerbangan transit ke Mamuju ternyata hanya ada buat besoknya (Selasa) dan Kamis. Penumpang yang mau ke Mamuju beramai-ramai protes (beramai-ramai = 3 orang saja hehe). Jelas-jelas di tiket tertera bahwa transitnya gak sampai semalaman. Jadilah kami tiga ksatria transit yang terlantar. Akhirnya bandara kasih opsi tinggal semalem di hotel transit bandara Makassar atau duitnya dikembalikan. Akhirnya kita (berdua) milih nginep di hotel transit bandara, sedangkan seorang ksatria transit yang lain minta duitnya dikembalikan sambil ngomel-ngomel gak jelas.

Tapi lumayan, nginep gratis dibayarin bandara dan bisa jalan-jalan di Makassar. Pas city walking, image saya tentang Makassar ternyata mendapatkan pembenaran, bahwa di Makassar banyak tawuran (image = dari televisi). Mungkin orang Makassar hobi tawuran kali ya (maap kalo salah). Waktu saya lewat, di salah satu sudut kota ada banyak batu di tengah jalan dengan massa yang dalam posisi siap “tempur”. Untungnya pas kita lewat tawurannya udah selesai (atau istirahat sejenak??). Pas kita naek angkot pun sopirnya hampir diajak kelahi sama salah satu pengendara motor yang diserempetnya, benar-benar kota dengan tensi yang tinggi.

Jauh-jauh ke Sulawesi makin terasa bahwa dunia makin sempit karena ada temen yang tinggal di Makassar. Langsung aja aku hubungi dia, dan dikenai pajak traktir makan sop konroe di salah satu rumah makan konroe yang katanya paling mantap di Makassar,, hehe sunny side-nya adalah bisa makan gratis. Kalau diibaratkan, keidentikan rumah makan ini dengan Kota Makassar ibarat keterkenalan restoran rawon nguling di Pasuruan atau rumah makan nasi becek Yos Sudarso di Nganjuk.

Esok harinya waktu jalan-jalan pagi, mampir ke warung deket hotel. Ternyata pepatah “dunia semakin sempit” masih berlaku. Penjualnya ternyata adalah perantau dari negara dengan passpor yang sama yaitu negara NgaJOMBANGkarta. Dari satu kampung satu suku hihi,,

Masalah 2
Esok harinya hari Selasa, jam di handphone menunjukkan pukul 09.00, sementara pesawat kami take off dari Bandara Sultan Hasanudin jam 10.00. Akhirnya kami keliling bandara cari oleh-oleh biar gak bosen. Usai nyari oleh-oleh yang lama banget (yang ternyata dia maruk beli tiga biji sarung buat dirinya sendiri plus baju dan beberapa barang kerajinan tangan), aku nolak ajakannya buat nongkrong dulu di coffee shop. Lebih baek nunggu di waiting room dari pada nunggu di coffee shop bandara yang mahal hehe.

Kami yang lagi jalan-jalan di dalam bandara tiba-tiba diteriakin ama petugas bandara. Wajahku yang udah dihapal ama petugas bandara (sejak protes kemarin) tiba-tiba diteriakkin bahwa pesawatku udah boarding. Wah bodohnya saya yang lupa bahwa jam di handphone masih pake zona waktu di Jawa yang beda waktunya satu jam dengan di Sulawesi. Jadi jam 09.00 di handphone sama dengan jam 10.00 di bandara. Langsung kami lari-lari menuju ruang boarding dianterin salah satu petugasnya. Sumpah berasa kayak Dian Sastro lagi ngejar Nicholas Saputra di film AADC haha,, ”Rangga,, Rangga,, Rangga,,”. Kami sukses jadi center of attention dan membuat kegegeran di dalam bandara.


Ternyata tiket saya hilang waktu lari-lari karena panik tadi (mungkin jatuh). Untung boarding pass-nya gak ikut ilang. Akhirnya setelah nego dengan tampang imut memelas, kami dibolehin masuk pesawat dengan hanya nunjukkin boarding pass meskipun tiketnya ilang (padahal memang kalo di bandara Soetta cuman nunjukin boarding pass doang). Kami bener-bener jadi penumpang terakhir yang masuk pesawat, karena penumpang lain udah duduk manis dengan seat belt sudah terpasang rapi.

Sampai di dalam pesawat, gak seperti biasanya, udah injury time tapi kabinnya masih banyak yang kosong, hoho ada ”sunny side”-nya juga. Karena pesawat kecil dan penumpangnya gak terlalu banyak, gak ada orang-orang bego yang suka masukin koper-koper segede gaban ke dalam kabin atas. Tapi tetep aja serem naik pesawat kecil berbaling-baling.

Masalah 3
Nyampe di bandara Tampa Padang Mamuju ternyata ada selebaran yang menawarkan tiket pesawat Aviastar. Akhirnya ditelponlah si CP-nya. Malangnya tiket Aviastar Mamuju-Makassar udah fully booked. Kalau kata pegawai di Dinas PU Mamuju, ada menteri/dirjen yang booking pesawat itu. Mentang-mentang pejabat, seenaknya aja dia pesen pesawat orang. Awas aja kalo tar aku jadi pejabat, aku booking sebulan pesawatnya biar gak ada lalu lintas udara hehe,,

Mamuju bener-bener kota yang sepi. Jam 8 malem aja hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Padahal kami nginep di hotel yang terletak di jalan lintas provinsi. Mungkin kalo ada mahasiswa yang mau penelitian dengan metode traffic counting paling enak di sini nih. Bahkan saking sepinya, kalo kata temen saya (bukan kata saya), “di Makassar aja susah nyari cewek cantik, apalagi di sini”, wekeke cuma ungkapan yang hiperbolis, soalnya ada ibu-ibu PNS di Bappeda Mamuju yang lumayan cantik juga kok.

Yang lucu juga, karena saya dianggap dari pusat, waktu ketemu seorang kontraktor, diminta bantuin supaya dia dapet proyek. Intinya dia pengen menang tender lewat saya (dipikir makelar proyek apa saya,,). Hoho ada yang ngajakin kolusi. Padahal sudah saya bilang bahwa saya masih belum punya kekuasaan, bahkan berulang kali saya kasih penekanan bahwa saya masih kroco, eh dia tetap ngotot minta nomernya di-save, dia bilang siapa tahu kalau ke Sulawesi Barat lagi akan diantarnya jalan-jalan kemanapun. Sempat kepikiran buruk juga, orang kayak gini enaknya dikerjain aja wakaka,,

Masalah 4
Karena gak dapet pesawat, terpaksalah kami melakukan perjalanan darat ke Makassar. Sebenernya nggak terpaksa amat, karena jiwa petualang saya juga pengen ngerasain jalan lintas Sulawesi yang katanya cukup galak. Lagipula dari jaman SMP ampe sekarang saya cuman pernah naik bus dengan tiga rute doang (ceritanya pengen memperbanyak rute).

Parahnya, bus dari Mamuju ke Makassar hanya berangkat di atas jam 19.00, gak ada yang berangkat pagi atau siang. Naik bus bener-bener sama dengan menyakiti diri sendiri. Meskipun bus ber-AC, tetap aja beda banget sama bus Arga Mas (Jakarta-Bogor), karena rute yang ditempuh benar-benar berkelok-kelok, bukan mirip jalan tol Jakarta-Bogor yang jalannya lempeng dan mulus. Baru setengah jam naik bus, saya mulai muntah, mual, pusing, bener-bener lemes (naluri kampungan-nya keluar: muntah-muntah). Saking menderitanya, tiap detik istighfar, mohon ampun, apalagi keinget belum sholat Maghrib-Isya pula.

Selepas Majene, bus yang saya naiki tabrakan (serempetan doang sih sebenernya) dengan bus lain. Bus baret-baret di body dan kacanya. Body kanan bus saya menghantam body kiri bus yang berlawanan arah. Untung gak selip dan keguling. Kedua kru bus terlibat diskusi serius. Aku pikir kayaknya bakalan diselesaikan secara adat nih. Kalau ada tawuran aku udah siap banget. Bukan siap ikutan tawuran, tapi siap ngerekam duelnya trus dijual ke metro tv hehe.

Seperti pepatah Jawa : find the sunny side, selalu ada hal yang bisa kita syukuri dari setiap musibah. Walaupun serempetan dan hampir celaka, tampaknya Tuhan masih mengendaki kami tetap bernafas. Karena bus-nya berhenti, saya bisa menghirup udara segar untuk menghilangkan mual.

Masalah 5
Nyampe Bandara Sultan Hasanudin Makassar lagi, saya herannya kok ketemu si Rangga (petugas yang ikut lari-lari agar saya tidak ketinggalan pesawat kemaren2) di mana-mana. Saya bahkan ketemu dia dan saling nyapa sampai tiga kali, di ruang check in, di toilet, dan di coffee shop. Gila, kalau kita udah kenal sama orang, dunia menjadi terasa semakin sempit, berasa sering ketemu.

Terakhir yang paling lucu adalah ketika dalam pesawat Batavia Makassar-Jakarta. Ada yang kentut bau banget. Kayaknya dia makan bangkai celeng tuh. Tapi saya teringat bahwa semalem kan saya muntah pasti baunya membuat penumpang bus di sebelah saya juga ilfil. Mungkin inilah balasannya atas bau muntahku yang mengganggu. Akhirnya setelah saya sadari bahwa mungkin ini adalah karma, maka saya hirup kentut busuk itu dengan perasaan lapang dada. Kalo mengutip Tora Sudiro : enyak,, enyak,, enyak,,. Pada intinya, kita bisa berempati pada orang lain jika kita pernah merasakan berada pada posisi mereka, atau setidaknya kita mau berusaha memahami keadaan mereka. Tidak ada manusia yang sempurna, jadi kita harus berdamai dengan ketidaksempurnaan orang lain, terlebih karena kitapun bukanlah sosok yang sempurna.

Pelajaran yang bisa diambil
Apapun kejadiannya (mulai dari jadwal yang gak jelas, kecelakaan, dll), beruntung bisa tiba di Jakarta dengan selamat. Ini jadi pembelajaran buat di masa depan, persiapkan diri sematang-matangnya jika hendak pergi ke daerah yang sedikit terpencil. Kalau bikin jadwal, ingat bahwa beda waktu antara Sulawesi dan Jawa adalah satu jam. Air Mamuju akan selalu memanggil kita untuk kembali.

Selain itu ada dua hal yang tampaknya sudah jamak : ”dunia semakin sempit” dan selalu ”find the sunny side of everything”, hehe,,

Saturday, 18 October 2008

Pariwisata Indonesia memang kacau

Waktu baca The Magazine of Garuda Indonesia yang ada di belakang kursi GIA, ada artikel menarik tentang perbandingan obyek wisata antara Indonesia dengan obyek wisata Luar-Indonesia. Dalam artikel itu, obyek wisata di Indonesia dicontohkan oleh Borobudur yang dibandingkan dengan obyek wisata dari luar negeri seperti Great Wall of China, Colosseum, Castle Urquart, dll.

Kutipannya seperti ini (tentang Borobudur) :
“From the very start, instead of being a pleasure and a surprise, it’s a chore, then a hassle, then finally a bore. First of all, the parking is disorganized, chaotic, and unsafe, then there’s the ticketing which is inefficient (except that foreigners pay more). And as there are no brochures or maps available, you’re on your own. But not quite,, there’s a hundred, maybe more, aggressive, annoying, persistent hawkers, guides, and peddlers waiting to attack. And they do, ignoring protests, refusals, threats, and curses. For most visitors, their trip is already over, their joy replaced by anger, the thrill of discovery replaced by frustration. No information, no films, no brocuhures, no peace”.

Gila,, persepsi terhadap obyek wisata Indonesia udah sedemikian jeleknya. Untung majalah itu saya “amankan” dan saya bawa pulang hihi (bukan nyolong lho hehe),, kalo nggak diamankan kan bisa dibaca sama wisatawan mancanegara yang kebetulan naik pesawat itu. Gimana kalo mereka jadi skeptis melancong ke Indonesia coba,,

Apa yang perlu diperbaiki dari pariwisata Indonesia ke depannya????
1) Yang pertama menata ulang hubungan pemerintah – swasta
Kalau saya sih sangat setuju menyerahkan pengelolaan obyek-obyek wisata kepada swasta, bahkan Borobudur sekalipun (yang notabene di RTRWN ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional). Memang sih kalau disebutkan dalam RTRWN berarti pengelolaannya menjadi tanggung jawab pusat, tapi kan tetap bisa dialihkan ke pihak lain juga, selama fungsinya tidak berubah. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (mewakili pusat) sebaiknya cuman melakukan pembinaan dan pengawasan apakah swasta mampu menerapkan standar minimal pelayanan atau tidak. Lagian kan pengelolaan oleh swasta terkenal efisien dan bagus,, karena mereka mengutamakan pelayanan pada customer agar bisnisnya tetap bisa berjalan.

Dengan melepas pengelolaan berbagai obyek wisata ke swasta, jangan takut bahwa Depbudpar bakalan gak ada kerjaan atau gak ada proyek. Kan PNS di Depbudpar bisa banyakin perjalanan dinas ke berbagai obyek wisata di Indonesia dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Semakin banyak perjalanan dinas makin banyak uang saku yang masuk kantong juga kan (penyerapan anggaran). Atau bahkan Depbudpar bisa melakukan studi banding ke obyek-obyek wisata menarik di luar negeri. Gak masalah kalo emang Depbudpar mau hamburin duit negara cuman buat melancong asal pengetahuan mereka bisa bertambah. Dasar pemikirannya adalah : lebih baik mereka mendapatkan banyak duit dengan cara jelas sekaligus bisa bersenang-senang dari pada mereka melakukan korupsi yang tidak terdeteksi.

2) Yang kedua kelengkapan informasi
Yang disebut informasi ini bisa berupa papan pengumuman, brosur, peta lokasi (site map), dan lain-lain informasi yang berguna bagi para wisatawan.

Selain itu sebaiknya Depbudpar mendata informasi semua obyek wisata di Indonesia dan kalau perlu dirangking, mana obyek wisata yang paling layak dikunjungi, moderate ataupun yang biasa aja. Sehingga ketika calon wisatawan pengen berwisata ke Indonesia, mereka tau obyek mana aja yg paling layak dikunjungi dan sesuai dengan karakteristik wisata si turis itu sendiri. Selanjutnya Depbudpar bisa melanjutkan "Visit Indonesia Year" pada tahun berikutnya, mengikuti exhibition di luar negeri, dll.

3) Yang ketiga perlu ada legenda, mitos, dongeng, atau kalau perlu bualan
Contoh legenda, mitos :
1) Di Situ Patengan ada mitos batu cinta yang menyatakan bahwa di lokasi batu tersebut dahulu pernah ada dua insan yang saling mencintai dan kembali bertemu setelah sekian lama berpisah. Jadi selain karena pemandangan alamnya, mitos ini membuat banyak muda-mudi yang kasmaran (ya ampun bahasanya,,) mendatangi lokasi ini karena berharap hubungan mereka bakal langgeng sebagaimana mitos tersebut.
2) Di Jombang, rumah Ryan the serial killer yang homo udah jadi obyek wisata kriminal. Banyak orang yang penasaran dengan rumah Ryan dan sekedar poto-poto dengan pose dipenggal. Akhirnya karena didatangi banyak orang, penduduk di sekitar rumah Ryan kecipratan rezeki dari para wisatawan dengan cara berdagang, dll.
3) Karena kisahnya yang melegenda, makam para tokoh wali songo banyak didatangi manusia Jawa yang pengen mendapatkan berkah sebagaimana para wali tersebut. Pada akhirnya banyak rombongan yang pergi ziarah ke wali songo, bahkan ada yang menargetkan bahwa mereka harus berkunjung minimal beberapa kali dalam setahun. Akhirnya masyarakat lokal di sekitar makam mendapat mata pencaharian seperti berdagang, buka restoran, buka penginapan, dll.
4) Bahkan makam Raja Sidabutar-butar di tengah Danau Toba juga memiliki legenda yang unik dan membuat pengunjung penasaran. Pada akhirnya mereka naek perahu menyebrangi danau toba untuk sekedar menginjakkan kaki di Pulau Samosir.

Intinya untuk berbagai obyek wisata perlu ada mitos, legenda, dongeng, kibulan, bualan, atau apapun yang membuat masyarakat asing mau datang ke tempat tersebut. Apalagi masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat klenik dan bermulut besar,, hoho. Masih banyak mitos, kisah, legenda yang perlu di blow up dan dijadikan sebagai bumbu penyedap dalam menjual obyek wisata. (Saya sebut bumbu penyedap karena memang bukan hidangan utama, tapi sekedar garam pelengkap).

4) Yang keempat dan paling penting adalah peran masyarakat lokal
Masyarakat harus mendukung pariwisata. Contoh kasusnya di Bali orang benar-benar ramah, memegang adat, dan menjaga berbagai obyek wisata. Kenapa mereka bisa begitu? Karena mereka mendapatkan manfaat apabila mereka menjaga tradisi, mereka mendapat manfaat atas keramahan mereka, dan mereka tahu bahwa menjaga (tidak merusak) obyek wisata sama artinya dengan menstabilkan pendapatan mereka. Jika para turis bertanya tentang lokasi wisata dan tradisi, maka kebanyakan masyarakat lokal di Bali tahu bagaimana menjawabnya dan hal ini membuat wisatawan jadi puas.

Kondisi di Bali sangat berbeda dengan di Bromo. Salah satu contohnya masyarakat lokal lebih senang menipu para wisatawan (maaf mungkin gak semuanya). Meskipun masyarakat lokal mendapatkan pemasukan besar pada saat tersebut (ketika mereka menipu wisatawan), namun untuk jangka panjang para wisatawan yang pernah ke Bromo tidak ingin kembali lagi ke sana karena masyarakat lokalnya kurang ramah. Terlebih apabila dibandingkan dengan konsep pengelolaan wisata di Bali. Para wisatawan yang pernah berkunjung ke Bali pasti selalu ingin kembali ke Bali (bukan sekedar “pernah” ke sana doang).

Jadi yang paling penting adalah kesadaran masyarakat bahwa keberadaan obyek wisata di tempat mereka bisa menimbulkan multiplier effect yang pada akhirnya membuka lapangan kerja bagi mereka sendiri dan menyejahterakan. Jika mereka sadar, maka mereka pasti akan menjaga keberadaan obyek wisata tersebut.

We are Indonesian. Our culture and our nature bring dollars to Indonesia. In addition to that, Indonesian hospitality, make this country more beautiful,, Semoga Indonesia bisa berbenah. Mari kita dukung kemajuan pariwisata nasional.

Thursday, 3 July 2008

Aksi = Reaksi

Hukum Newton menyebutkan bahwa “aksi = reaksi”. Konsep ini tidak hanya berlaku untuk materi fisik saja, tetapi juga secara non-fisik. Segala sesuatu akan berusaha menuju keseimbangan. Bahkan proses menuju keseimbangan juga dekat artinya dengan falsafah China yaitu “yin dan yang”. Di dalam bahasa Buddha, disebut middle way (jalan tengah). Kalo kata orang Inggris “win-win solution”. (sama gak ya??? samain ajalah,,,)

Dalam Al Quran Al Mulk ayat 3, disebutkan “,,,kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”

Karena segala yang ada dalam semesta adalah energi, maka semuanya (termasuk manusia) akan selalu berusaha menuju keseimbangan. Begitu pula reaksi atom yang selalu menuju keseimbangan (aksi = reaksi). Hukum III Newton berbunyi “setiap ada gaya aksi, maka akan selalu ada gaya reaksi yang besarnya sama tetapi arahnya berlawanan”. Hukum Newton ini bisa diterapkan dalam melihat berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dll.

Ketika kita melihat seorang yang didzalimi, maka kita akan merasa kasihan pada mereka. Tanggal 27 Juli 1996, PDI ditekan oleh penguasa, dan Soerjadi (yang “gosipnya” didukung penguasa) merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega dan menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal (wikipedia). Aksi penekanan terhadap Mega sebagai pihak tertindas menimbulkan rasa kasihan masyarakat terhadap PDI Mega. Dan sebagai reaksi-nya, masyarakat mendukung PDI. Klimaksnya pada pemilu 1999 PDI-nya Mega berhasil menang dengan meraup lebih dari 30% suara (meskipun pada akhirnya Gus Dur yg jadi presiden). Jadi aksi penindasan terhadap seseorang akan mengakibatkan reaksi yang sebaliknya.

Dalam satu hari (24 jam), kita membagi waktu hidup kita menjadi waktu istirahat, waktu kerja, waktu bersosialisasi. Jika kita kurang waktu istirahat, misalnya kurang tidur karena bekerja tanpa henti (yang mengakibatkan ketidakseimbangan siklus hidup kita), mungkin kita bisa memaksakan mata kita untuk tidak tidur selama beberapa jam, tapi pada akhirnya mata kita akan menyerah dan berusaha mencapai keseimbangan dengan tidur. Semakin keras aksi kita mencoba tetap terjaga tidak tidur, maka semakin keras pula tubuh kita bereaksi (mengantuk).

Di daerah pegunungan, ada siklus ekosistem alami di mana ketika air hujan turun, maka pepohonan di pinggir tebing akan menahan air limpasan hujan dan meresapkan ke dalam tanah. Tapi ketika manusia melakukan aksi penggundulan hutan di daerah dataran tinggi, maka sebagai reaksinya adalah adanya banjir yang diterima oleh manusia yang telah menggunduli pepohonan tersebut.

Ketika kita menghujat seseorang, ada kemungkinan bahwa orang lain (pihak eksternal / bukan orang yg kita hujat) justru akan membela orang yang kita hujat. Ketika kita menampar orang, maka kemungkinan besar kita akan ditampar balik. Jadi ingatlah bahwa jika kita tidak ingin dihujat, maka jangan menghujat. Jika tidak ingin ditampar, maka jangan menampar. Jika tidak ingin dicerca, maka jangan mencerca. Segala aksi yang anda lakukan pada orang lain akan selalu kembali berpulang pada anda sendiri. Orang bilang itu adalah karma, tapi Newton bilang AKSI-REAKSI.

“how you treat others is exactly how they will treat you” (Chinese Proverb)

Intinya adalah segala sesuatu akan berjalan menuju keseimbangan. Adanya aksi akan berakibat pada munculnya reaksi. Itu adalah hukum alam yang tidak bisa dihindari. Segala yang kita lakukan akan selalu berpulang pada kita. Seberapa besar usaha kita, akan berdampak pada hasil yang kita capai.

Pesan moral : semoga kita selalu ingat untuk selalu melakukan aksi positif,,, sehingga reaksi terhadap kita pun juga akan positif,,,

------Hehe jd sok penceramah gini,,,------

Sunday, 1 June 2008

Susahnya ber-emphaty

Dalam kehidupan sehari-hari ada begitu banyak kejadian sederhana yang mengingatkan kembali pada arti penting “empati”. Di bawah ini hanya segelintir contohnya,,

Kejadian pertama pas di deket kosan. Ada seorang penghuni kosan (sebut aja namanya si A) yang nyetel musik sampai dinding & kaca kosan bergetar (beneran bergetar, bukan hiperbola hehe). Saking kerasnya si A nyetel musik hingga tetangga kamarnya (si B) merasa terganggu. Alhasil pecahlah perang mulut di antara keduanya yg dibumbui acara tangis-tangisan (khas pertengkaran cewek). Setelah ditelusuri, ternyata akar masalahnya adalah masalah laten yang “sepele”. Si A bilang bahwa seharusnya B yang introspeksi karena justru dia yang setiap hari nyetel musik dengan suara keras, eh sekarang giliran si A nyetel musik dengan keras, si B gak terima. Kesimpulan dari masalah ini adalah adanya dua perspektif (sudut pandang si A dan si B) yang sama-sama punya argumen rasional untuk membenarkan tindakan masing-masing.

Kejadian kedua pas lagi ada di sebuah kios. Ada cewek yg telepon di wartel hingga tarifnya nyampe 11 ribu. Pas mau bayar, si cewek ini bilang bahwa dia sedang gak bawa duit, dan pengen bayar lain hari alias ngutang. Si penjaga wartel minta barang jaminan dari si cewek ini. Entah merasa terhina karena harus menyerahkan jaminan (mungkin disuruh nyerahin jaminan merupakan pertanda ketidakpercayaan), cewek itu mengumpat “anxxng” dan melengos pergi. Si penjaga kios yang marah langsung balik ngumpat dan nyambit si cewek itu pake duit koinan. Sehabis itu si penjaga kios yang masih diliputi amarah mengungkapkan berbagai alasan sebagai pembenaran atas amarahnya, mulai dari yang logis seperti ‘wajarlah kalo ngutang ngasih barang jaminan’, ‘udah ngutang gak bayar lagi’, dll. Sekali lagi kesimpulannya adalah bahwa masing-masing punya argumen rasional sebagai pembenaran atas tindakan mereka.

Kejadian ketiga ini paling sering terjadi pas di lampu merah. Lampu lalu lintas udah nunjukkin warna hijau, tapi banyak metro mini yang justru memperlambat laju kendaraan. Akhirnya mobil yang berada di belakang metro mini tersebut kesel dan meng-klakson tanpa henti. Udah berasa malam taun baru aja semua kendaraan lomba bunyiin klakson mereka. Dilihat dari sudut pandang sopir metro mini, dia mencari penumpang, dan semakin lama dia ngetem, terutama di perempatan lampu merah, kemungkinan mendapatkan penumpang semakin besar. Inget, dia rakyat kecil yang cari duit buat keluarganya. Tapi dilihat dari sudut pandang pengguna kendaraan pribadi, kalo metro mini di depannya memperlambat laju busnya, tentunya dia gak bisa maju dan akhirnya akan kena lampu merah lagi, akhirnya bisa saja mereka terlambat masuk kantor. Sekali lagi kita harus melihat dari kedua perspektif yang sama-sama punya pembenaran yang logis.

Kejadian lain yang banyak kita baca di koran. Jika kita membaca berita tentang pencuri yang tertangkap basah, pemerkosa, pembunuh, dll,, maka kita biasanya langsung men-judge bahwa kelakuan mereka itu biadab dan mereka harus dihukum seberat-beratnya atas perbuatan mereka itu, bahkan kalau perlu sang pencuri itu dirajam dan pemerkosanya dipotong anu-nya biar mereka kapok sekapok-kapoknya. Tapi bagaimana jika kita melihat dari sudut pandang para kriminalist tersebut tentang alasan mereka melakukan kegiatan kriminal tersebut. Apakah benar dia mencuri karena hobi,, apa benar mereka memerkosa karena doyan,, kalo emang alasannya demikian, maka mereka memang pantas dihukum seberat-beratnya. Tapi bagaimana jika ternyata mereka mencuri demi memberi makan anaknya yang masih balita? Bagaimana jika ternyata mereka memperkosa karena memang sang korban pemerkosaan memang mengiming-imingi dengan bahasa tubuh nakal ditambah pakaian seronok? Bagaimana jika mereka membunuh untuk mempertahankan diri karena justru terancam dibunuh?????

Moral cerita
Semua orang merasa benar ketika mereka melihat dengan sudut pandang mereka. Permasalahannya adalah ketika mereka tidak mau melihat dari sudut pandang orang lain, maka tidak akan ada individu yang mau mengalah.

Jadi intinya bukan hanya melihat permasalahan secara rasional, tapi dengan bijaksana. Menggunakan kebijaksanaan bukan berarti meniadakan rasio dalam melihat suatu permasalahan. Jika kita melihat dengan bijaksana, maka kita akan menyadari bahwa orang lain pun memiliki rasio/kebenaran versi mereka sendiri. Kebijaksanaan bukanlah berarti memaksakan rasio/kebenaran kita kepada orang lain, namun menghargai kebenaran versi mereka. Hal ini sama halnya dengan menghargai agama yang dianut orang lain tanpa harus memaksakan agama kita, walaupun kita yakin setengah mati bahwa agama kitalah yang paling benar.

Steven Covey memberi petuah, agar kita bisa berempati, maka lihatlah dari sudut pandang orang lain. Cara sederhananya adalah dengan bertanya pada diri sendiri, “mengapa dia harus atau ingin melakukan itu”. Jadi, salah satu langkah untuk berempati adalah dengan berusaha melihat dari sudut pandang orang lain. Setelah kita memahami sudut pandang mereka, selanjutnya kita harus mencoba berdamai dengan sudut pandang mereka tersebut. Bukan berarti dengan empati semua masalah/konflik bisa terselesaikan. Tapi dengan empati setidaknya kita tahu, kenapa sopir metromini sangat menjengkelkan, kenapa bos kita selalu marah-marah mulu, kenapa ada yg sebel ama kita, dll.

Hehe sekali lagi postingan yg gak penting,,,

Flashback,,,,

Ungu (Album: Surga-Mu)
Segala yang ada dalam hidupku
Kusadari semua milik-Mu
Ku hanya hamba-Mu yang berlumur dosa
Tunjukkan aku jalan lurus-Mu
Untuk menggapai Surga-Mu
Terangiku dalam setiap langkah hidupku
Karena kutahu hanya Kau Tuhanku
Allahu Akbar
Allah Maha Besar
Ku memuja-Mu di setiap waktu
Hanyalah pada-Mu
Tempatku berteduh Memohon ridho dan ampunan-Mu


Lagu di atas sering banget dinyanyiin seorang bocah yang ngamen di dalam bus kota 610 arah Pondok Labu-Blok M. Anak itu mulai beraksi pas di perempatan Blok M Plaza dari pagi ampe siang. Karena dinyanyiin dengan suara memelas, jadinya terasa dalem banget liriknya. Sumpah jadi pengen nangis hehe,,


Pas dia nyanyi itu, jadi flashback banyak peristiwa yang mengingatkan akan kebesaran Tuhan.

Flashback pertama
Pas jalan deket PLN Pusat, ada bus kota dengan kecepatan tinggi ngegenjret kubangan dan jadilah air kubangan itu nyiprat di celana+kemejaku. Emang sih aku salah karena gak jalan di trotoar, tapi seharusnya sopir itu juga berempati pada pejalan kakilah. Yang bikin dongkol adalah celana kainku cuman ada tiga,, sementara yang dua lainnya belum kering dicuciin sama si bibi, gila aja besokannya terpaksa aku pakai lagi tuh celana kotor.

Bayangan kedua aku juga keinget betapa dongkolnya pas tiba-tiba ada permen karet nempel di celanaku, entah ketempelan di metromini mana tuh. Bahkan keinget juga banyak pengalaman lain yang lebih sumpah ngeselin banget.

Moral pertamanya, mungkin memang itu adalah karma yang pantas aku terima atas kelakuan burukku di masa lalu. Dulu aku sering buang permen karet sembarangan sehingga mungkin sekarang sebagai balasan ketempelan permen karet juga. Dulu aku pernah nyetir di daerah yang becek dan tetep tancap gas meskipun ada kubangan sekalipun, dan tentu saja ban mobilku ngegencret pengendara motor hingga basah kuyup. Balesannya mungkin sekarang kemejaku yang basah kuyup kegenjret bus kota gila itu.

Flashback kedua
Pernah ngelihat aksi pukul-pukulan di terminal (mungkin para preman yang rebutan daerah kekuasaan,,). Yang menang jadi sok kuasa terhadap yang lemah dan bebas mukulin. Kalo dipikir-pikir, tirani di Indonesia dibangun dari level paling atas hingga level terminal sekalipun.

Moral kedua adalah bahwa hidup itu sungguh keras. Terlintas lagi masa-masa dulu di mana aku sering menjadi target sasaran kejahilan dan kejahatan di antara beberapa temen pas SMA hehe. Kalo orang bilang jadi pelengkap derita. Jadi sadar, hidup sungguh keras.

Flashback ketiga
Bahkan (masih di terminal yang sama) ada seorang cowok yang bertengkar dengan seorang cewek, mungkin mereka adalah pasangan. Kemudian si cowok ngacungin bogemnya ke muka si cewek seolah akan menghajar. Pokoknya kayaknya kasihan banget lah si cewek itu, tapi semua yang ada di situ gak ada yang berani misahin (mungkin dianggap konflik internal kali ya,,).

Terinspirasi dari pasangan yang lagi cekcok itu, jadi kepikiran, bisa jadi orang yang seharusnya menjadi pelindungmu berubah menjadi iblis bagimu. Mungkin memang benar yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib : “cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja, karena siapa tahu suatu saat dia akan menjadi orang yang kau benci,, dan bencilah orang yang kau benci sekedarnya saja, karena siapa tahu suatu saat dia akan menjadi orang yang kau cintai”.

Flashback keempat
Gila bener, ngelihat sopir taksi kencing di pintu taksinya sendiri (maksudnya di lekukan pintu taksinya). Trus ngeliat orang berak di selokan. Jadi dia nongkrong di trotoar tanpa celana, sementara jalanan masih ramai dengan mobil yang lewat (sumpah kejadian nyata). Seandainya aku gak jalan di trotoar, aku gak akan pernah liat pemandangan seperti itu. Dan aku mikir, ironisnya mana pernah orang-orang yang ada di balik mobil-mobil mewah itu tau kondisi tetangganya seperti ini.

Tadinya aku jijik dan ngumpat kelakuan yang gak wajar itu. Tapi pas aku coba membayangkan diriku sebagai mereka, pandanganku jadi sedikit berubah. Toilet umum aja sekarang harus bayar minimal seribu perak lah. Sementara mereka ngumpulin duit seribu perak aja setengah mati, dan anak mereka juga butuh makan.

Flashback kelima
Selalu ingat kalau sedang berada di dalam bis,, bagaimana baju selalu berkeringat karena saking panas dan sumpeknya,, bagaimana harus tetep diam ngelihat orang yang ngerokok dan ngeludah di dalam bus,, bagaimana harus selalu siaga agar tidak dilahap bajingan,, pokoknya transportasi umum


Moral cerita
Percayalah,, membaca berita kriminal di koran itu sangat berbeda dengan melihat peristiwa kriminal secara langsung dengan mata kepala kita, efeknya berbeda. Terlebih apabila kau merasakan sendiri kekejaman dunia akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan sekedar menyaksikannya.

Bahkan apa yang aku tulis di blog ini jauh lebih mending daripada yang terjadi sesungguhnya. pokoknya kalo mau mencari makna kehidupan dan belajar menghargai kehidupan, lihatlah orang yang berada di atas dan orang yang ada di bawah kita (termasuk di terminal).

Kembali ke lagunya Ungu. Pada akhirnya, betapapun kejamnya dunia ini, kita ingin berteduh dalam dekapan-Nya. Dekapan yang penuh cinta dan kedamaian. Menangis dan berkeluh kesah pada-Nya. Ternyata memang manusia itu sungguh rapuh dan membutuhkan perlindungan dari-Nya. Dia yang memberikan kehidupan, dan biarkan pula Dia yang mengatur jalan hidup kita. Tuhan paling mengerti kenapa Dia membuat kita menangis, dan kenapa dia membuat kita tertawa.

“Tunjukilah aku jalan yang lurus” (Al Fatihah ayat 6)