Sunday, 29 July 2012

Integrasi aspek tata ruang dan pertanahan dalam pembangunan kota


Satu hal yang sangat sulit diaplikasikan dalam pembangunan kota di Indonesia adalah mengintegrasikan aspek ketataruangan dengan aspek pertanahan, padahal keduanya sangat saling terkait. Itulah sebabnya saya tertarik untuk sedikit mengupas perbedaan kedua aspek tersebut dan permasalahan yang ditimbulkan akibat perbedaan tersebut. 

Di dalam peraturan bidang pertanahan yang mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 1960 diakui adanya property right yang menyatakan hak kepemilikan atas suatu tanah. Sedangkan dalam peraturan bidang ketataruangan yang mengacu pada UU 26 Tahun 2007 diakui adanya development right yang menyatakan hak pemanfaatan atas suatu tanah sesuai rencana kota.

Satu penekanan penting di sini adalah bahwa development right tidak sama dengan property right. Sekali lagi ditegaskan bahwa development right adalah hak untuk memanfaatkan tanah (membangun) di atas suatu tanah, dimana hak tersebut dapat digunakan apabila tidak bertentangan dengan rencana kota. Terminologi development right tersebut tentu sangat berbeda dengan property right yang menyatakan hak kepemilikan atas suatu tanah.

Pada kondisi praktis di lapangan, ketika property right sinkron dengan development right, maka tidak menjadi masalah. Sebagai contoh terdapat seorang warga kota yang memiliki tanah (property right) dan ingin membangun suatu kantor (development right). Apabila tanah yang dimilikinya tersebut dalam rencana kota memang diperuntukkan sebagai perkantoran, maka orang tersebut dapat menggunakan development right-nya untuk membangun kantor, sehingga Pemerintah dapat memberikan izin padanya untuk membangun kantor.

Namun permasalahan muncul ketika property right tidak sinkron dengan development right, misalnya seorang warga kota ingin membangun perkantoran di atas tanah miliknya. Orang tersebut memang memiliki tanah tersebut secara sah (property right), namun dia tidak boleh membangun perkantoran tersebut karena Pemerintah telah menetapkan bahwa tanah miliknya diperuntukkan sebagai ruang hijau (peruntukan hijau).

Pemerintah hanya boleh memberikan izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Apabila izin pemanfaatan ruang (namun tidak sesuai dengan rencana tata ruang) telah diterbitkan, maka harus disesuaikan. Padahal biaya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan ini sangat mahal.

Sebagai contoh untuk menunjukkan betapa sulitnya mensinkronkan tata ruang dan tata pertanahan dari sudut pandang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut. UU 26 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa RTH perkotaan minimal 30 %. Dengan demikian, Provinsi DKI  dengan luas wilayah daratan 661,52 km2 (661.520.000 m2) pada tahun 2030 harus mampu menyediakan RTH minimal seluas 198.456.000 m2. Dengan asumsi harga tanah di Provinsi DKI Jakarta rata-rata Rp 3 juta per m2 pada tahun 2011, maka uang yang dibutuhkan untuk mewujudkan RTH 30% wilayah kota adalah Rp 595.368.000.000.000, yang artinya kebutuhan dana pembebasan tanah untuk RTH per tahun adalah Rp 29.700 miliar (dari 2011 - 2030).
*perhitungan di atas terlalu disederhanakan karena menurut UU 26 Tahun 2007, RTH Publik yang harus disediakan Pemerintah hanya 20 % dan 10% sisanya oleh swasta.
*penyederhanaan yang lain terkait harga tanah rata-rata Rp 3 juta per meter persegi, padahal kenyataannya pada beberapa wilayah Provinsi DKI terdapat tanah dengan harga Rp 20 juta per meter persegi.
*jumlah tersebut cukup signifikan apabila dibandingkan dengan APBD DKI 2011 yang mencapai Rp 27,95 triliun, sehingga APBD dialokasikan 'hanya' untuk pembebasan tanahnya, belum termasuk pembangunan dan perawatan RTH tersebut.
* perhitungan sederhana ini hanya menunjukkan betapa mahalnya biaya mensinkronkan development right dan property right.

Solusi
Terdapat beberapa solusi ketika property right tidak sinkron dengan development right. Solusi yang ada dapat melibatkan Pemerintah atau tanpa melibatkan Pemerintah. Solusi sederhana tanpa melibatkan Pemerintah dari sisi masyarakat adalah pemilik property right menjual tanahnya kepada pihak lain yang mau memanfaatkan tanah tersebut sesuai rencana kota. Misalnya pemilik tanah (land owner) yang tanahnya ditetapkan sebagai peruntukan perumahan, tentu tidak bisa membangun perkantoran, sehingga dia sebaiknya menjual tanahnya kepada orang lain yang mau membangun perumahan di tanah tersebut. 

Solusi sederhana dengan melibatkan Pemerintah misalnya terdapat pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka Pemerintah dapat memberikan keringanan berupa izin pemanfaatan ruang dengan jangka waktu tertentu, dan apabila batas waktu terlampaui maka pemilik tanah harus menyesuaikan dengan rencana tata ruang. Namun demikian solusi tersebut sebenarnya bersifat jangka pendek.

Solusi jangka panjang dengan melibatkan Pemerintah membutuhkan pergeseran paradigma peran Pemerintah. Pemerintah harus mampu memfasilitasi peralihan development right dari land owner yang tidak bisa membangun sesuai keinginannya kepada pihak lain yang ingin membangun sesuai rencana kota. Terminologi memfasilitasi di sini maksudnya adalah Pemerintah memberikan informasi siapa-siapa saja pemilik property right yang development right-nya dibatasi oleh Rencana Tata Ruang. Kemudian Pemerintah memfasilitasi peralihan property right kepada warga kota lain yang mau membangun sesuai Rencana Tata Ruang. Sebagai contoh ketika Pemerintah melarang warga kota membangun di kawasan lindung yang berada di hulu sungai guna melindungi sistem tata air perkotaan, maka Pemerintah sekaligus dapat mengambil peran menginformasikan pihak-pihak yang bersedia membangun di daerah tersebut sesuai rencana kota.  


"Rencana Tata Ruang" Sebagai Public Goods

Sebelum membahas mengenai "Rencana Tata Ruang" sebagai public goods, ada baiknya terlebih dahulu sedikit dibahas mengenai eksternalitas negatif di suatu perkotaan. Eksternalitas adalah dampak yang dirasakan oleh orang lain yang tidak terlibat dalam suatu transaksi (Pyndick Rubenfield). Eksternalitas bisa berupa eksternalitas positif ataupun negatif. Dalam suatu perkotaan, pemanfaatan ruang kota untuk perumahan dapat menyebabkan gangguan pada sistem tata air perkotaan yang berdampak pada terjadinya banjir (banjir tentu merupakan eksternalitas negatif). Dengan kata lain, terdapat pihak-pihak lain yang tidak terlibat dalam transaksi perumahan, namun terkena eksternalitas negatif berupa banjir.

Pemerintah sebenarnya memiliki pilihan untuk membiarkan pemanfaatan ruang perkotaan berjalan sebagaimana adanya tanpa sama sekali campur tangan Pemerintah (paham free market yang dipopulerkan Adam Smith) atau pilihan yang lain adalah ikut campur tangan dan melakukan market intervention. Pada pilihan pertama, konsekuensi apabila pasar dibiarkan sebagaimana adanya tanpa campur tangan Pemerintah adalah tingginya dampak eksternalitas (khususnya eksternalitas negatif) serta ancaman terjadinya market failure. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia lebih menyukai pilihan kedua yaitu menerapkan market intervention (namun bukan market intervention murni) guna mengantisipasi terjadinya kegagalan pasar dan eksternalitas negatif pemanfaatan ruang kota.  

Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota merupakan bentuk intervensi Pemerintah guna meminimalkan eksternalitas negatif akibat pemanfaatan ruang perkotaan secara berlebihan. Pemerintah berasumsi bahwa apabila Rencana Tata Ruang dipatuhi, maka dapat meminimalkan eksternalitas negatif seperti banjir, kemacetan, dll. Dengan demikian Rencana Tata Ruang seharusnya dianggap sebagai public goods yang dibutuhkan oleh semua warga perkotaan dalam rangka meminimalisir eksternalitas negatif akibat transaksi pemanfaatan ruang perkotaan oleh berbagai pihak. Sebagai public goods, Rencana Tata Ruang seharusnya memiliki sifat non-excludable dan non-rivalry dalam arti semua warga kota seharusnya dapat secara bebas mengakses rencana tata ruang tersebut. Aksesibilitas terhadap public goods ini menjadi penting karena masyarakat harus memahami bahwa development right yang dimilikinya dibatasi oleh Rencana Tata Ruang. Masyarakat harus menyadari bahwa pembatasan ini bertujuan menjamin bahwa pemanfaatan development right oleh seseorang tidak memberikan eksternalitas negatif secara berlebihan pada warga perkotaan yang lain.

Dalam memandang suatu Rencana Tata Ruang Kota, harus diingat bahwa optimum land value tanah perkotaan secara keseluruhan tidak sama dengan optimum land value tanah per persil. Optimum land value tanah perkotaan secara sederhana didapatkan ketika penjumlahan eksternalitas negatif akibat pemanfaatan seluruh lahan per persil memberikan nilai paling kecil. Jadi harus disadari bahwa optimum land value per persil tidak sama dengan highest value of the land per persil. Dengan demikian Pemerintah dapat mengatur bahwa seorang tidak bisa memanfaatkan tanahnya sesuai highest value tanah tersebut dengan pertimbangan kepentingan masyarakat yang lebih luas (walaupun justifikasi atas hal ini perlu pembahasan yang lebih detail). Sebagai contoh, seseorang yang memiliki tanah yang 'kebetulan' berada di kawasan lindung tentu tidak bisa memanfaatkan tanahnya sesuai potensi ekonomi maksimal tanah tersebut, misalnya tidak bisa digunakan untuk membangun bangunan kantor, karena dapat merusak sistem tata air kawasan perkotaan. Namun demikian pembatasan pemanfaatan tanah bagi orang tersebut ternyata bermanfaat bagi masyarakat perkotaan secara luas karena dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya banjir. Secara sederhana, poin yang ingin disampaikan adalah bahwa yang terbaik untuk seorang warga kota belum tentu yang terbaik bagi seluruh warga kota, sehingga diperlukan Rencana Tata Ruang Kota (sebagai public goods) yang mampu mengakomodir kepentingan warga kota secara luas.

Walaupun Rencana Tata Ruang Kota sebagai public goods sangat dibutuhkan, namun bukan berarti Rencana Tata Ruang tersebut pasti sempurna. Setiap produk buatan manusia sebagus apapun tujuan pembuatannya pasti memiliki kelemahan. Terdapat beberapa kelemahan Rencana Tata Ruang Kota sebagai public goods yang perlu dipahami oleh banyak pihak dan akan disebutkan secara ringkas dibawah ini.

Kelemahan pertama menyangkut pertanyaaan mendasar bahwa apakah Rencana Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan merupakan suatu produk yang paling ideal? Jawabannya singkat, Rencana Tata Ruang Kota bukanlah suatu produk yang ideal karena belum mempertimbangkan kepemilikan tanah (land ownership) sebagai konsideran utama penyusunannya. Dalam kenyataan praktis di lapangan akan sering dijumpai pertentangan antara development right dengan property right. Hak masyarakat untuk membangun (development right) dapat digunakan selama tidak bertentangan dengan RTRW. Namun apabila development right bertentangan dengan Rencana Tata Ruang, maka development right tersebut tidak dapat digunakan, sekalipun memiliki property right.

Kelemahan kedua sekaligus kekuatannya adalah tidak boleh ada perubahan peruntukan. Dengan adanya UU Nomor 26 Tahun 2007, Rencana Tata Ruang Kota (nama lengkapnya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Perkotaan) menjadi sangat penting karena setiap rencana pembangunan perkotaan harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Kota. Apabila suatu rencana pembangunan baik yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, swasta, ataupun masyarakat tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota, maka rencana pembangunan tersebut tidak boleh dilaksanakan. Hal ini mengandung makna bahwa setiap pemanfaatan ruang harus sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Kota. Hal ini bagus dalam rangka mengendalikan pertumbuhan kota sekaligus membatasi eksternalitas negatif pemanfaatan ruang kota secara berlebihan. Namun di sisi lain ketentuan ini menjadi terlalu mengekang apabila dikaitkan dengan perubahan peruntukan dari intensitas tinggi menjadi rendah, sebagai contoh peruntukan perkantoran akan kesulitan untuk diubah menjadi peruntukan ruang terbuka hijau mengingat peraturan yang ada tidak memperbolehkan adanya perubahan peruntukan.

Kelemahan ketiga adalah bahwa Rencana Tata Ruang Kota belum mempertimbangkan implikasi penerapannya di lapangan. Dalam kenyataannya, penetapan Rencana Tata Ruang Kota memerlukan berbagai penyesuaian (adjusment) yang seharusnya disesuaikan dengan karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal tersebut. Hal ini bukan semata kesalahan RTRW karena memang kelengkapan untuk mengoperasionalkan Rencana Tata Ruang Kota memang perlu dibuat secara khusus.

Sebagai penutup, walaupun banyak kelemahan dari Rencana Tata Ruang Kota(baik yang sudah ditulis maupun yang belum ditulis di sini), setiap orang seharusnya sepakat bahwa Rencana Tata Ruang Kota merupakan public goods dan menjadi panduan utama dalam pembangunan perkotaan. Setiap orang harus sepakat bahwa Rencana Tata Ruang Kota bermanfaat meminimalisir eksternalitas negatif pemanfaatan ruang kota. Mengingat Rencana Tata Ruang Kota merupakan public goods, maka warga kota seharusnya bebas mengakses informasi terkait Rencana Tata Ruang Kota. Dengan kemudahan akses terhadap Rencana Tata Ruang Kota, maka ketika terdapat kekeliruan dalam penerapan Rencana Tata Ruang Kota, maka Pemerintah dan warga perkotaan dapat saling mengingatkan sehingga segalanya berjalan pada koridor yang benar.