Thursday, 11 July 2013

"Sesuai Aturan" itu tidak cukup

Tulisan ini bukan tentang politik, tapi terinspirasi dari dialog politik yang ditayangkan oleh TVRI beberapa minggu yang lalu (saya lupa judul acaranya). Dialog tersebut membahas tentang sikap PKS yang dianggap bermuka dua (versi moderator) karena pada satu sisi menentang kenaikan harga BBM yang akan segera ditetapkan Pemerintah, di sisi lain dia adalah partai koalisi yang menempatkan beberapa menterinya di Kabinet/Pemerintah.

Kondisi tersebut memunculkan wacana agar Presiden SBY segera mencopot Menteri PKS dari Kabinet. Hal yang menarik adalah, Presiden SBY tampaknya ragu mencopot Menteri PKS tersebut (mungkin sedang menganalisis dampak politiknya). Jika Menteri PKS dicopot Presiden, maka dikhawatirkan menimbulkan kesan "teraniaya", sehingga menguntungkan PKS. Adapun Partai Demokrat meminta agar PKS sadar diri dan menarik menterinya dari Kabinet.

Menyikapi hal tersebut, seorang narasumber ahli hukum tata negara mengatakan hal yang (menurut saya) menarik untuk dicermati : "Sesuai konstitusi, pemecatan Menteri adalah hak prerogatif Presiden, jadi kalau memang Presiden ingin memecat Menteri, tidak perlu menunggu PKS untuk menarik Menteri-nya dari Kabinet". Intinya pakar hukum tersebut sangat ngotot bahwa apabila Presiden ingin mengganti menteri, itu sudah "sesuai aturan" yang berlaku.

Hal yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya adalah :
Apakah apabila Presiden bertindak "sesuai aturan" maka akan selalu aman (bagi dirinya sendiri)?
Dan apabila kita refleksi pada diri sendiri, timbul pertanyaan, apakah apabila masyarakat bertindak "sesuai aturan" maka akan selalu aman (bagi dirinya sendiri)?

Apabila dianalogikan dengan seorang pejalan kaki yang akan menyeberang di jalanan Jakarta. Ketika lampu lalu lintas untuk pejalan kaki menyala merah (sedangkan lampu untuk pemotor menyala hijau) dan si pejalan kaki menyeberang jalan, apabila dia secara tidak sengaja tertabrak, maka itu adalah kesalahannya sendiri. Tetapi ketika lampu lalu lintas untuk pejalan kaki menyala hijau (sedangkan lampu untuk pemotor menyala merah) dan dia menyeberang, apakah sudah pasti pejalan kaki itu tidak akan tertabrak oleh pemotor? Itulah pertanyaan terbesarnya.

Ketika pejalan kaki menyeberang saat lampu untuk pejalan kaki menyala hijau (lampu lalin untuk pemotor menyala merah), dia melakukan "sesuai aturan", tapi belum tentu tidak celaka, karena para pemotor (pihak lain) belum tentu bertindak sesuai aturan. Banyak pemotor di Jakarta yang tidak peduli aturan dan menerobos lampu merah. Jadi sebagai pejalan kaki, "bertindak sesuai aturan" itu tidak cukup. Selain harus berjalan ketika lampu pejalan kaki berwarna hijau, dia juga tetap harus "tengok kanan-kiri" agar tidak tertabrak pemotor-pemotor (pihak lain) yang suka melanggar aturan.

Sekali lagi, tulisan ini bukan tentang politik, tapi terinspirasi dari peristiwa politik. Hal ini menjadi pengingat/introspeksi bagi kita sendiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari, "bertindak sesuai aturan" semata itu tidak cukup,, jangan lupa "tengok kanan-kiri", hehe...

Sunday, 2 June 2013

Kisah Inspiratif dari seorang Tukang Parkir

Beberapa hari lalu saya mendapati sebuah kisah yang menarik dan inspiratif tentang seorang tukang parkir di Monas. Beliau ini sudah berusia sekitar 50 tahunan dan telah menekuni profesi sebagai tukang parkir selama 15 tahunan (profesi sebelumnya adalah tukang ojek sepeda dan kuli). Bapak ini pasca lulus SMP hijrah dari Jawa Tengah ke Ibukota Jakarta karena (menurut pengakuannya) peluang di Jakarta (dianggap) lebih menjanjikan. Hal yang cukup luar biasa (bagi saya) adalah kenyataan bahwa dia mampu menghidupi istri dan 8 orang anaknya selama belasan tahun walaupun ‘hanya’ berprofesi sebagai tukang parkir.

Setelah berdiskusi dengannya, saya mendapati tiga hal menarik yaitu : Pertama keunikan cara pandangnya, Kedua ampuhnya jaminan pendidikan dan kesehatan dari Pemerintah (bagi warga kurang mampu), dan Ketiga fenomena urbanisasi perkotaan yang sangat nyata.

Pertama : keunikan cara pandang
Banyak hikmah yang bisa dipetik dari cara dia memandang sesuatu. Dia tidak khawatir hijrah dari kampungnya di Jawa Tengah ke Jakarta walaupun tanpa bekal pendidikan yang memadai (hanya lulusan SMP), karena dia yakin pasti bisa mendapatkan pekerjaan. Cara berpikir “pasrah” membuat dia tidak khawatir akan masa depan. Mungkin karena dia merasa “pasrah” itulah sehingga Yang Di Atas memberikannya banyak “bantuan tidak terduga”

Pelajaran pertama (dalam konteks sudut pandang sebagai manusia), kita harus meyakini bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita kekurangan,, kalau kita selalu merasa kekurangan, itu karena kita tidak mensyukuri pemberian-Nya. Kita harus yakin bahwa Dia akan memberikan yang kita butuhkan. Bahwa “masa depan” seperti halnya “diri kita” adalah milik-Nya, jadi pasrahkan saja pada-Nya selaku pemilik. Sekali lagi tugas kita hanya harus yakin.

Kedua : ampuhnya jaminan Pemerintah kepada warga kurang mampu
Dia mengaku lebih kerasan tinggal di Jakarta dibandingkan di kampung karena biaya hidup di Jakarta (menurutnya) justru lebih murah (dibandingkan di kampung). Di Jakarta biaya hidup untuk warga kurang mampu memang sebagian ditanggung oleh Pemerintah. Misalnya di bidang kesehatan saat ini ada Kartu Jakarta Sehat / KJS (dahulu kartu Gakin dan Jamkesda) dan di bidang pendidikan saat ini ada Kartu Jakarta Pintar / KJP (dulu mungkin BOS).

Warga kurang mampu memiliki pendapatan yang kecil, sehingga pengeluarannya harus ditekan seminimal mungkin, agar tidak besar pasak daripada tiang. Bagi beliau, dengan pendidikan dan kesehatan dari 8 anaknya ditanggung Pemerintah, maka praktis pengeluarannya hanya untuk makan dan tempat tinggal (sewa kos). Sebagai catatan, dia tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk transportasi karena dari rumahnya ke tempat kerja di Monas hanya naik bus kota (sehari PP hanya Rp 5.000), dan anak-anaknya pun berjalan kaki ke sekolah (dekat tempat tinggal).

Pelajaran kedua (dalam konteks sebagai seorang birokrat) : Pemerintah harus membuat pengeluaran untuk warga tidak mampu menjadi seminimal mungkin, baik pengeluaran di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan transportasi. Pemprov DKI Jakarta sudah mengeluarkan KJS (bidang kesehatan) dan KJP (untuk bidang pendidikan) yang bagi saya cukup berhasil menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kurang mampu. Pekerjaan rumah ke depan bagi Pemprov DKI adalah memperbanyak rusun sewa yang murah (untuk bidang perumahan) dan memperbaiki/mensubsidi transportasi umum. Sekali lagi harus diingat bahwa kata kuncinya adalah “KEBERPIHAKAN”.

Ketiga : fenomena urbanisasi
Pelajaran ketiga (dalam konteks sebagai seorang perencana) : apabila semakin banyak penduduk yang mempunyai pola pikir seperti beliau (tukang parkir ini), maka urbanisasi tentu semakin tak terelakkan, padahal suatu kota mempunyai keterbatasan dalam hal daya dukung/tampung. Dengan demikian tugas Pemerintah ada dua : 1) meningkatkan daya dukung/tampung kota-kota eksisting, dan 2) menyebarkan kantung-kantung pertumbuhan ekonomi agar tidak hanya terpusat di kota-kota besar saja. Sudah banyak kajian tentang upaya peningkatan daya dukung/tampung kota, tapi bagaimana upaya nyata Pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa kehidupan bisa terjamin/sejahtera walaupun tidak tinggal di kota...????

RDTR-PZ sebagai produk Konsensus Warga Kota

Tulisan ini terinspirasi dari paparan Tim Pakar Penyusun RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Mei 2013. Tulisan ini hanya membahas tentang filosofi “proses” penyusunan RDTR-PZ.

Sesuai UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang di tingkat provinsi terdiri dari Rencana Umum beserta Rencana Rincinya. Rencana umum di Provinsi DKI Jakarta adalah RTRW Provinsi DKI 2030 (yang di dalamnya memuat RTRW Kabupaten/Kota), sedangkan Rencana Rinci-nya adalah Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ).

RDTR mengatur tentang development right (peruntukan lahan) dan tidak mengatur tentang property right (kepemilikan lahan). RDTR-PZ juga terutama mengatur tentang kepentingan umum. Pada zaman dahulu, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) kurang partisipatif. Saat ini, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) lebih partisipatif (mungkin hal ini disesuaikan dengan konsep Gubernur baru yang sangat menekankan partisipasi warga). Partisipasi masyarakat terutama dalam hal menentukan kepentingan umum.

Sebagai informasi, terdapat tiga rezim hukum dalam memandang kepentingan publik. Rezim pertama adalah ketika kepentingan individu (property right) sangat diutamakan dan ditempatkan di atas segalanya. Rezim kedua adalah ketika kepentingan publik sangat diutamakan dan ditempatkan di atas kepentingan individu. Di Indonesia, penerapan rezim kedua ini tercermin dalam UU Pertanahan tahun 1960. Penerapan rezim kedua ini, apabila terdapat masyarakat pemilik tanah yang bidang tanahnya terkena kepentingan umum maka tanahnya harus diserahkan kepada Pemerintah. Rezim ketiga adalah penghormatan yang seimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, sehingga perlu ada konsensus terhadap kedua kepentingan tersebut.

Penyusunan RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta (yang mengatur kepentingan umum) kali ini mengacu pada rezim ketiga, sehingga RDTR-PZ adalah produk konsensus/kesepakatan. Jadi, development right (yang merupakan muatan dari RDTR-PZ) adalah produk konsensus warga kota.

Sepengamatan saya, proses menuju konsensus itu tidak semudah konsep-konsep yang tertulis di text book. Pada kenyataannya walaupun RDTR-PZ adalah produk konsensus, namun dipastikan tidak akan bisa memuaskan seluruh warga perkotaan. Sudah pasti ada warga yang tidak sepakat dan kecewa. Namun demikian warga kota seharusnya sepakat bahwa hasil RDTR-PZ akan menghasilkan nilai lahan yang paling optimum (optimum land value) bagi seluruh warga kota Jakarta.