Friday, 31 January 2014

Relokasi Warga Pinggir Sungai dan Waduk

Dengan adanya banjir pada awal tahun 2014, semakin marak pula berita mengenai warga yang menempati lahan marginal yang tidak sesuai peruntukan seperti pinggir sungai dan waduk. Hampir semua pihak setuju bahwa warga seharusnya tidak boleh tinggal di pinggiran sungai dan waduk karena dapat menyebabkan banjir. Warga yang tinggal di pinggir sungai dan waduk ini sangat sulit direlokasi karena (dengan keterbatasan uang) biasanya mereka tidak mempunyai alternatif lokasi untuk pindah, sehingga lebih memilih bertahan di tempat ilegal tersebut. Permasalahan lainnya, walaupun warga tersebut juga mengakui kesalahannya karena telah menempati lahan secara ilegal, namun mereka tetap meminta ganti rugi ketika akan direlokasi, sehingga menyulitkan Pemerintah.

Pertanyaan utamanya adalah apakah warga yang menempati lahan secara ilegal tersebut memang layak mendapatkan ganti rugi?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin perlu kita review terlebih dahulu mengenai kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap warga yang menempati pinggiran sungai dan waduk secara ilegal (di luar yang memiliki sertifikat tanah secara resmi).

Pada masa lalu, Gubernur Fauzi Bowo menjamin ganti rugi terhadap penggarap tanah negara melalui penerbitan Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Santunan Kepada Penggarap Tanah Negara. Santunan yang lebih dikenal dengan sebutan ‘uang kerohiman’ ini juga bisa diberikan kepada warga yang tinggal di sekitar sungai dan waduk. Walaupun warga melakukan “kesalahan” karena menempati lahan tidak sesuai peruntukan dan tanpa izin, namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan kebijakan (dengan pertimbangan kemanusiaan) bahwa mereka dapat diberikan santunan / uang kerohiman untuk membantu kepindahan mereka dari lokasi tersebut.

Sebagai informasi singkat, penerbitan Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 tersebut juga tidak lepas dari adanya proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project / JUFMP (proyek darurat pengendalian banjir di Provinsi DKI Jakarta) atau Jakarta Emergency Dredging Initiative Project / JEDI Project, yang dananya berasal dari pinjaman World Bank. Melalui proyek JUFMP / JEDI, akan dilakukan normalisasi dan pengerukan terhadap sungai dan waduk di Jakarta yang berimplikasi pada relokasi warga yang tinggal di sekitar sungai dan waduk terkena proyek.

Proyek JUFMP / JEDI itu sangat menyulitkan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena World Bank mensyaratkan lahan yang akan terkena proyek harus clear (padahal jumlah warga di sekitar sungai dan waduk sangat banyak). Selain itu agar pinjaman dapat dicairkan, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga disyaratkan harus menjamin hak-hak warga yang terkena dampak proyek ini (warga di pinggiran sungai dan waduk). Secara spesifik, pembebasan lahan harus menggunakan metode Land Acquisition and Resettlement Action Plan / LARAP atau Resettlement Policy Framework / RPF. Di kemudian hari dilaksanakan renegosiasi/revisi atas beberapa substansi yang dicantumkan dalam persyaratan Proyek JUFMP / JEDI (termasuk ketentuan bahwa lahan harus clear dan metode RPF).

Seiring dengan pergantian pemimpin di Jakarta pasca Pemilu Kepala Daerah tahun 2012, terdapat perubahan kebijakan mengenai santunan / uang kerohiman. Gubernur Joko Widodo mencabut Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Santunan Kepada Penggarap Tanah Negara. Asumsinya adalah bahwa masyarakat harus didorong untuk taat hukum dan tidak boleh menempati tanah yang bukan miliknya tanpa izin, apalagi di sepanjang sungai dan waduk, karena dapat menyebabkan banjir. Apabila ada yang menempati tanah secara ilegal maka tidak boleh diganti rugi karena dapat mendorong orang lain melakukan pelanggaran yang serupa pada masa mendatang. Selain itu pasca ganti rugi bisa saja mereka mendirikan bangunan kembali di sungai yang lain dengan harapan mendapat ganti rugi kembali.

Sebagai informasi tambahan, walaupun Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 sudah dicabut namun sebenarnya masih ada celah untuk memberikan ganti rugi kepada warga yang menempati tanah negara. Sesuai peraturan yang terbaru (Peraturan Ka. BPN 5 Tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU 2 Tahun 2012 dan Perpres 71 Tahun 2012), bahwa ganti rugi terkait pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum (termasuk waduk dan sungai) menggunakan perhitungan appraisal. Adapun perhitungan appraisal mempertimbangkan penggunaan eksisting. Sederhananya, apabila terdapat bangunan eksisting berupa rumah atau toko (walaupun menempati tanah negara) maka ketika direlokasi sebenarnya bisa mendapatkan diganti rugi (*interpretasi pribadi saya*).

Kembali membahas topik mengenai warga di pinggiran sungai dan waduk, beberapa waktu lalu Wakil Gubernur Basuki TP mengeluarkan statemen yang sangat menarik (dikutip oleh DETIK, 30 Januari 2014), bahwa relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai dan waduk terinspirasi dari film Al Capone. Wakil Gubernur menyatakan bahwa sebenarnya warga tidak menolak direlokasi, namun yang paling banyak menolak relokasi adalah pemilik rumah dan pemilik kontrakan. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka Wakil Gubernur menyampaikan bahwa apabila pemilik rumah dan kontrakan menolak relokasi, maka akan dikejar pajaknya (seperti Al Capone yang dikejar pajaknya oleh instansi yang berwenang karena bisnis ilegal), apalagi mereka selama ini mendapatkan untung dari rumah dan kontrakannya tanpa membayar pajak kepada negara.

Sekedar informasi, kalau tidak salah dalam perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ada dua komponen yang dihitung pajaknya, yaitu kepemilikan tanahnya dan kepemilikan bangunan. Dan esensi PBB adalah memungut dana untuk mengatasi dampak / eksternalitas negatif dari penggunaan tanah dan bangunan tersebut (membangun di atas lahan yang tidak sesuai peruntukan tentu kasus yang berbeda dengan pembayaran pajak untuk mengatasi eksternalitas negatif). Dengan menempati lahan ilegal, maka mereka melanggar dua UU sekaligus yaitu UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Yang ingin saya tekankan bahwa pada kasus warga yang menempati pinggiran sungai dan waduk, terdapat dua hal yang disoroti yaitu 1) mereka tidak memiliki izin, dan 2) mereka tidak membayar PBB.

Dengan adanya UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mencantumkan bahwa PBB (sekarang) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah maka kebijakan tata ruang di daerah seharusnya lebih mudah untuk disinkronkan dengan ketentuan mengenai PBB. Jadi sekali lagi, kalau warga menolak direlokasi dan meminta ganti rugi, maka mereka harus membayar PBB yang bertahun-tahun tidak mereka bayar (terinspirasi Al Capone). Intinya sebenarnya warga yang menempati lahan ilegal di pinggir sungai dan waduk itu sebenarnya tidak berhak (tidak layak) mendapatkan ganti rugi ketika direlokasi. 

Namun demikian, harus diingat bahwa dalam UUD 1945 dan UU 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Negara menjamin hak warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Mengacu pada hal tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus menjamin tempat tinggal yang layak bagi warga yang tinggal di pinggir sungai dan waduk.  Walaupun Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 telah dicabut, bukan berarti Gubernur tidak memberikan solusi, karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun banyak Rumah Susun sebagai tempat relokasi warga yang menempati bantaran sungai dan waduk. Jadi istilahnya adalah : santunan / uang kerohiman diganti menjadi Rumah Susun.

~~~tulisan ini terinspirasi dari berita di DETIK, 31 Januari 2014, bahwa Wakil Gubernur terinspirasi dari Al Capone~~~

Wednesday, 22 January 2014

Perbedaan Cara Pandang

Ada yang menarik (bagi saya) ketika TV One menayangkan acara Indonesia Lawyer Club pada tanggal 21 Januari 2013, dimana dalam salah satu segmen terdapat wawancara Karni Ilyas dengan pengacara senior Adnan Buyung Nasution.

Dalam wawancara tersebut, Adnan Buyung mengkritik KPK yang telah seringkali melaksanakan kesalahan dan perlu dikoreksi. Beberapa kritikan Adnan Buyung antara lain :
1. Bahwa tujuan tidak boleh mengalahkan cara. Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa tujuan pemberantasan korupsi tidak boleh dijadikan sebagai pembenaran bagi KPK melakukan penyadapan dan penyidikan secara membabi buta kepada berbagai pihak. Mungkin pernyataan ini disebabkan background Adnan Buyung sebagai "orang hukum" sehingga lebih mengutamakan prosedur (prosedur lebih penting daripada tujuan).

2. Bahwa hukuman yang diterapkan dalam kasus-kasus korupsi tidak tepat, sehingga hukuman berupa pemiskinan koruptor juga dianggap sangat tidak tepat. Adnan Buyung menganggap bahwa korupsi bukanlah extraordinary crime (dia mencontohkan extraordinary crime misalnya genocide, bukan korupsi), sehingga hukuman yang pantas adalah : koruptor harus mengembalikan sejumlah uang yang dikorupsinya, bukan dimiskinkan.

Menanggapi pernyataan Adnan Buyung, juru bicara KPK, Johan Budi mengingatkan bahwa Adnan Buyung merupakan pengacara tersangka (berdasar penetapan KPK), sehingga tidak semua kritik yang disampaikan kepada KPK adalah benar/obyektif (namun dia juga mengingatkan bahwa KPK juga tidak selalu benar). Johan Budi juga menyampaikan bahwa tidak benar KPK bertindak tanpa pengawasan.

Bagi saya ada beberapa pernyataan Adnan Buyung yang agak rancu, misalnya :
1. Terkait pertanyaan apakah tujuan atau cara yang lebih diutamakan, maka hal ini sangat terbuka untuk diperdebatkan, karena memang dalam kenyataannya ada orang-orang yang lebih mengutamakan "hasil/output" dan di sisi lain tidak sedikit juga orang-orang yang mengutamakan "proses". Di sinilah terdapat perbedaan berbagai orang dilihat dari latar belakang pendidikannya. Orang hukum lebih mengutamakan prosedur, orang ekonomi lebih mengutamakan efisiensi/proses, dan orang teknik lebih mengutamakan efektivitas/output. Jadi memang bisa dipahami apabila seorang ahli hukum sangat mengutamakan proses/prosedur.

2. Cukup aneh apabila korupsi tidak dianggap sebagai extraordinary crime, mengingat efek korupsi yang sangat dahsyat terhadap sosial, ekonomi, dan budaya. Apabila kita melihat dari sudut pandang ekonomi (bukan sudut pandang hukum) dan mengilustrastrasikan ketika seorang koruptor melakukan korupsi pada pembangunan jalan senilai Rp 100 miliar, bukan berarti kerugian negara hanya sebesar Rp 100 miliar,  karena "apabila" jalan tersebut benar-benar dibangun maka "multiplier effect" pembangunan jalan tersebut bisa jauh lebih besar daripada sekedar nilai pembangunannya (ada opportunity cost yang hilang akibat korupsi). Jadi sebenarnya wajar saja apabila hukuman korupsi jauh lebih besar dibanding nilai korupsinya. Dan apabila kita melihat dari sudut pandang sosial-budaya, maka kita pasti setuju bahwa korupsi harus diberantas karena menghancurkan mental. Dengan demikian, kalau korupsi dianggap sebagai extraordinary crime dan pelakunya dimiskinkan, maka hukuman itu tampaknya cukup layak. Selain itu pemiskinan koruptor juga bisa membuat orang lain takut korupsi dan pada akhirnya efektif mencegah korupsi di kemudian hari.

~~~hanya terpikir uneg-eneg sekilas~~~

Saturday, 18 January 2014

Melawan Kekuatan Pasar Dalam Mengarahkan Pertumbuhan Kota

Kalau diperhatikan, “kekuatan pasar” dalam menentukan arah perkembangan Kota Jakarta ini sangat besar dan cenderung susah dikendalikan, khususnya kekuatan pasar di bidang properti (pembangunan apartemen, perkantoran, dan pusat perbelanjaan). Hal ini terlihat dari sangat banyaknya perumahan, apartemen, perkantoran, dan pusat perbelanjaan baik yang berlokasi di pusat kota maupun di pinggiran kota. Belum lagi saat ini masih banyak pembangunan baru (sedang tahap konstruksi) yang terlihat menjamur di berbagai lokasi.

Backlog perumahan selalu menjadi “pembenaran” atas pembangunan perumahan atau apartemen baru di Jakarta. Padahal saya menduga (baru sebatas dugaan, belum ada penelitian akademisnya) bahwa backlog perumahan dan solusinya sebenarnya semu atau tidak tepat sasaran. Saat ini yang dibangun adalah rumah dan apartemen dengan harga mahal (segmen pasarnya hanya untuk segelintir orang kaya), padahal yang tidak memiliki rumah adalah mereka (masyarakat miskin) yang tinggal di ruang-ruang marginal seperti bantaran sungai, bantaran rel, dll. Sederhananya, saya ingin menyampaikan bahwa solusi yang diberikan sepertinya tidak cocok. Karena pada akhirnya yang membeli rumah dan apartemen tersebut adalah orang kaya yang ternyata sudah memiliki primary house, dan dia membeli rumah atau apartemen tersebut sekedar untuk investasi saja.

Bagi saya, pembangunan besar-besaran di Jakarta yang daya dukung dan daya tampungnya sangat terbatas tentunya juga adalah sebuah kesalahan fatal. Saat ini infrastruktur pendukung masih belum siap, terlihat dari adanya macet dan banjir. Jalan yang ada sudah tidak bisa menampung aktivitas pengguna kendaraan pribadi, sementara kapasitas Bus Rapid Transit (busway) sudah maksimal, dan angkutan massal MRT serta monorail masih belum selesai pembangunannya. Selain itu juga terlihat dari adanya banjir yang terjadi hampir merata baik di tahun 2013 maupun awal 2014. Pembangunan besar-besaran tidak diikuti penanganan eksternalitas negatifnya. Idealnya, pembangunan besar-besaran baru boleh dilaksanakan ketika infrastrukturnya telah siap, bukan sebaliknya yaitu pembangunan dilaksanakan ketika infrastruktur belum siap. Insfrastruktur merupakan elemen penting guna menanggulangi eksternalitas negatif pembangunan.

Dalam pembangunan besar-besaran di Jakarta, bank juga berperan besar (untuk diperhatikan) mengingat pembiayaan pembangunan perumahan seringkali menggunakan kredit dari bank (kalau pembiayaan proyek infrastruktur biasanya skemanya 30 % modal pribadi dan 70 % hutang bank, entah kalau proyek properti). Saya menduga bahwa kredit perbankan untuk properti di Jakarta, pasti persentasenya sangat besar dibandingkan kredit untuk luar Jakarta (sebatas dugaan), padahal idealnya kredit perbankan untuk properti di Jakarta dibatasi. Sudah menjadi kodratnya bahwa bank akan menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dan meminjamkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan pinjaman. Dan bank pasti memilih investasi di Jakarta karena memang menghasilkan return yang lebih tinggi (risiko gagal bayar juga lebih kecil), namun mekanisme pasar seperti ini apabila dibiarkan akan berbahaya dalam jangka panjang karena pembangunan masih terpusat di Jakarta.

Dengan melihat kodrat bank seperti di atas maka seharusnya Pemerintah harus peka dan melakukan “tindakan khusus”, agar pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jakarta bukan sekedar omong kosong. Idealnya Kementerian Perekonomian sudah melihat hal ini dan melakukan langkah-langkah khusus yang strategis. Saya tidak tahu konsep MP3EI yang saat ini didorong oleh Kementerian Perekonomian efektif atau tidak untuk memunculkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jakarta. Konsep MP3EI tentu harus didukung oleh Pemerintah-Pemerintah Daerah dan didukung dengan regulasi yang tepat.

Peran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (sebagai salah satu Pemerintah Daerah) sebenarnya juga signifikan. Perizinan pembangunan properti di Jakarta harus dibatasi. Idealnya sekarang ini DKI Jakarta masuk pada rezim pengendalian pembangunan, bukan mendorong pembangunan. Saat ini yang terpenting adalah revitalisasi kawasan di Jakarta, bukan sekedar pembangunan baru. Pembangunan besar-besaran di Jakarta idealnya boleh dilakukan ketika infrastruktur pendukungnya (guna menanggulangi eksternalitas negatif) seperti jalan, drainase, sungai, dan waduk sudah siap.

Perubahan mindset juga diperlukan. Harus diingat bahwa walaupun pembangunan properti di Jakarta signifikan dalam menyumbang PAD dan menggerakkan perekonomian kota (termasuk membuka lapangan pekerjaan), namun dampaknya juga tidak kecil. Dengan memusatnya penduduk di Jakarta, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menjamin ketersediaan infrastruktur seperti jalan, drainase, sampah, listrik, air bersih, air kotor, dll. Perlu ada studi yang membandingkan keuntungan yang didapat oleh kota Jakarta dengan adanya pembangunan properti di suatu lokasi diperbandingkan dengan biaya penanggulangan dampaknya. Kalau biaya penanggulangan dampak lebih besar dibandingkan keuntungannya, buat apa pembangunan tersebut diizinkan.

Satu lagi kelemahan di Indonesia adalah pengawasan dan pengendalian. Mengacu pada UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, seharusnya sebelum proyek properti telah jadi maka tidak boleh dipasarkan terlebih dahulu, tapi yang terjadi sekarang Pengembang masih tetap bisa memasarkan proyek yang belum jadi dan menggunakan duit masyarakat untuk membangun (masih seperti model lama). Ketiadaan pengawasan dan pengendalian juga menjadikan sanksi menjadi mandul, sehingga masyarakatlah yang akhirnya dirugikan.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kekuatan pasar sangat kuat menggiring pembangunan di suatu kota, sehingga diperlukan suatu kebijakan yang tegas dan jelas. Kebijakan tersebut harus mampu mengendalikan dan mengarahkan pertumbuhan kota, bukan sebaliknya yaitu pertumbuhan kota yang dikendalikan oleh pasar.

Memandang Pertumbuhan Ekonomi Negara

Saya lupa mengutip dari mana, tapi dalam catatan saya terdapat minimal empat tujuan utama dalam ekonomi makro yaitu : 1) full employment, 2) price stability, 3) economic growth, dan 4) viable balance of payments. Masing-masing topik tersebut memerlukan pembahasan yang sangat panjang, namun saya hanya ingin me-review secara singkat topik tentang economic growth (sebenarnya bukan konsepnya, lebih tepatnya tentang pandangan para tokoh terkait hal tersebut).

Economic growth (pertumbuhan ekonomi), ekuivalen dengan kenaikan/penurunan GDP. Adapun GDP sendiri merupakan total produksi barang dan jasa dalam suatu negara. Menurut Mankiw, GDP bisa dihitung dengan menggunakan pendekatan pendapatan, pendekatan pengeluaran, ataupun pendekatan nilai tambah. Khusus cara menghitung GDP dengan pendekatan pengeluaran, rumus yang digunakan adalah :
GDP = C + I + G + NX
Di mana C adalah Consumption, I adalah Investment, G adalah Government Spending, dan NX adalah net ekspor (ekspor dikurangi impor).

Kalau dirunut ke masa lalu, sepertinya para tokoh pada jaman dahulu sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dari meningkatnya GDP adalah penting (poin pentingnya adalah kesamaan persepsi bahwa pertumbuhan ekonomi adalah penting, walaupun beberapa tokoh tidak secara eksplisit menyebutkan hal tersebut). Walaupun demikian terdapat perbedaan sudut pandang antar tokoh dalam memandang cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana konsep pemerataannya.

Sejak adanya revolusi industri yang dimulai di Inggris pada tahun 1750-an, pendekatan yang diutamakan dalam pertumbuhan ekonomi adalah efisiensi. Dengan adanya revolusi industri, produksi barang dan jasa lebih banyak menggunakan mesin, hal ini dikarenakan mesin memiliki efisiensi (produksi) yang lebih besar dibanding manusia atau hewan. Peran tenaga kerja manusia menjadi tergantikan oleh mesin. Dampak revolusi industri terhadap ekonomi makro adalah semakin melimpahnya output/barang (dengan harga murah) dalam jumlah massal, sehingga perekonomian secara agregat juga semakin meningkat (pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi).

Konsep mengenai efisiensi juga tercermin pada teori Adam Smith. Pada tahun 1776, Adam Smith (pelopor perdagangan bebas dan kapitalisme) meluncurkan buku The Wealth of Nation. Adam Smith menyarankan agar pasar dibiarkan bebas tanpa campur tangan siapapun termasuk Pemerintah. Dia meyakini bahwa motif manusia yang seringkali tamak justru akan berdampak positif pada perekonomian secara aggregat. Masing-masing manusia akan mengalokasikan sumber dayanya secara optimal sehingga membuat jumlah produksi dan konsumsi berada pada posisi yang optimal dan membentuk harga sendiri. Tanpa intervensi Pemerintah, masing-masing pelaku perekonomian akan berspesialisasi dalam produksi sehingga perekonomian tumbuh secara efisien pada tingkat yang optimal.

JM Keynes (1936) memiliki pandangan yang berbeda dibanding Adam Smith, karena Keynes memandang penting peran Pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi secara agregat. Dalam melihat GDP, Keynes menggunakan pendekatan aggregate demand. Intinya, semakin banyak spending (baik Consumption ataupun Government Spending) yang dikeluarkan maka akan bagus bagi perekonomian secara makro karena spending meningkatkan aggregate demand. Jadi masyarakat didorong untuk konsumtif agar perekonomian terus berjalan. Ketika masyarakat tidak lagi mempunyai uang untuk konsumtif (contohnya pada saat resesi / Great Depression seperti tahun 1930-an di AS), Keynes menganjurkan Pemerintah meningkatkan Government Spending. Dengan meningkatnya Government Spending (pada saat konsumsi masyarakat turun) maka aggregate demand akan naik (masyarakat terdorong untuk belanja karena uang yang beredar bertambah), produksi naik, sehingga pengangguran turun. Dengan berkurangnya pengangguran maka konsumsi masyarakat akan kembali naik, sehingga perekonomian secara total akan tumbuh kembali.

Pada sisi lain, Karl Marx (1818-1883) memandang ada yang salah dalam sistem kapitalisme. Dalam melihat pertumbuhan GDP, Karl Marx meyakini bahwa semua unsur terlibat dan berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut, mulai dari kelas bawah/pekerja sampai pemilik modal. Hanya saja dia melihat bahwa kelas pekerja tidak menikmati hasil yang setimpal dari pekerjaannya, padahal masyarakat kelas pekerja tersebut juga berjasa besar dalam perekonomian secara makro (teori pertentangan kelas). Melihat ketidakadilan tersebut, maka dia memunculkan gerakan sosial agar kelas pekerja mendapatkan imbalan yang sepadan dengan pemilik modal (pada saat itu imbalan antara kelas pekerja dan pemilik modal sangat timpang). Intinya Karl Marx menekankan pada aspek keadilan agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati segala lapisan masyarakat.

Masing-masing pendapat/teori yang disebutkan di atas memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, misalnya :

  • Pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada teori kapitalisme Adam Smith bisa gagal apabila asumsi-asumsi yang mendasari teori tersebut tidak terpenuhi, misalnya disebabkan munculnya asymmetric information, eksternalitas negatif, dan transaction cost yang tidak terduga. Hal ini menyebabkan terjadinya market failure khususnya dalam hal penyediaan public goods.  
  • Pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada teori JM Keynes bisa gagal karena adanya Government failure ketika Pemerintah gagal menciptakan pareto efisiensi terhadap sistem pasar. Selain itu manfaat Government Spending seringkali tidak dirasakan secara langsung, karena Government spending seringkali berupa ‘investasi’ yang hasilnya dirasakan nanti (bukan sekarang). Belum lagi apabila berbicara dampak penggelontoran uang Pemerintah (likuiditas) terhadap suku bunga. 
  • Begitupun teori Karl Marx yang menganggap bahwa sosialisme akan terjadi ketika kapitalisme runtuh, padahal ‘katanya’ selama kapitalisme masih bisa memberikan nilai tambah bagi rakyat maka kapitalisme akan selalu ada.


Tidak hanya pertentangan pemikiran dan pandangan tentang faktor pembentuk pertumbuhan ekonomi, saat ini mulai banyak kritik atas indikator ekonomi makro itu sendiri. Indikator ekonomi makro berupa pertumbuhan ekonomi suatu negara belum tentu mencerminkan kondisi riil perekonomian negara tersebut. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa saja hanya didorong/disebabkan oleh segelintir orang berduit di dalam suatu negara (bukan mayoritas masyarakat). Singkatnya, pertumbuhan ekonomi negara yang tinggi belum tentu berarti pertumbuhan ekonomi masyarakat juga tinggi, sehingga belum tentu berkorelasi signifikan dengan kesejahteraan masyarakat luas. Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya, maka indikator makro perlu ditunjang dengan indikator yang lain.  

Sebagai penutup disampaikan bahwa pada intinya pertumbuhan ekonomi tetaplah penting. Apapun sistem ekonomi yang dianut baik itu kapitalisme (terinspirasi dari Adam Smith), sosialisme (terinspirasi Karl Marx), ataupun campuran, maka tujuan utamanya adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

~~~bukan tulisan ilmiah, hanya review singkat dan dangkal mengingat-ingat topik kuliah~~~

Ribbon Development di Koridor Jalan Simatupang

Mengacu pada RTRW Provinsi DKI Jakarta, konsep pembangunan di Jakarta adalah mendorong pertumbuhan di utara, mengembangkan/menciptakan pusat pertumbuhan baru di timur dan barat Jakarta (melalui Sentra Primer Timur dan Sentra Primer Barat), serta mengendalikan pertumbuhan di selatan.
Khusus terkait pengendalian pertumbuhan di selatan dianggap vital dalam mendukung daya dukung kota, mengingat daerah selatan adalah daerah penyangga dan idealnya menjadi daerah resapan air agar air dari hulu tidak melimpas secara deras menuju pusat kota di Jakarta.

Permasalahannya adalah pengendalian pertumbuhan di selatan sangat susah dalam praktiknya, misalnya di sepanjang koridor Jalan Simatupang yang banyak dimanfaatkan oleh gedung tinggi menjulang, padahal jalan non-tol di depannya (bukan jalan tol JORR) hanya selebar sekitar +/- 6 meter (2 lajur per jalur). Memang harus disadari bahwa tanah di sepanjang koridor tol JORR ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, sehingga tekanan ekonomi untuk merubah fisik kota juga menjadi tinggi.

Walaupun tekanan ekonomi sangat tinggi, konsep pembangunan gedung tinggi di Jalan Simatupang yang mengikuti pola ribbon development (memanjang sepanjang jalan Simatupang) sangat layak untuk diperdebatkan. Dalam buku Rinaldi Mirsa (Element Tata Ruang Kota), perkembangan fisik kota berupa ribbon development (bersama dengan concentric spread, satellite growth, dan scattered growth) dikategorikan sebagai pola pertumbuhan yang alamiah dan tidak direncanakan. Namun pernyataan Rinaldi Mirsa ini masih bisa diperdebatkan, mengingat bisa juga Pemerintah memang merencanakan ribbon development tersebut. Apabila ribbon development memang direncanakan, maka Pemerintah harus memperhatikan dampak pembangunannya, khususnya terhadap macet dan banjir.

Kembali ke Jalan Simatupang, tidak perlu kajian lalu lintas untuk melihat bahwa kapasitas jalan tersebut sudah ngos-ngosan dalam mendukung aktivitas kota. Dengan pembangunan eksisting saja macetnya sudah sangat terasa, apalagi bila nantinya bangunan-bangunan yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan (dan direncanakan dibangun) telah mulai beroperasi. Harus diingat bahwa pada awal Januari 2014, terdapat beberapa ruas Jalan Simatupang yang tergenang air hingga tidak bisa dilewati kendaraan (kontur tanah pada beberapa ruas jalan memang seperti palung, sehingga menyebabkan genangan/banjir).

Saya lebih setuju apabila pemberian intensitas tinggi di sepanjang Jalan Simatupang dikaji kembali atau dipersulit sekalian. Idealnya (versi saya) pemberian intensitas tinggi hanya diberikan di dekat mulut / pintu tol saja, tidak sepanjang koridor. Apapun kebijakan terhadap koridor Jalan Simatupang, pembangunan harus tetap mengacu pada rencana kota. Sebagai catatan harus diingat bahwa penetapan rencana kota (termasuk intensitas ruang di Jalan Simatupang) menggunakan proses teknokratis (teknis ilmiah), partisipatif, dan politis. Mungkin secara teori pada saat proses teknokratis disampaikan bahwa daerah selatan idealnya memiliki intensitas rendah untuk mencegah banjir. Namun harus diingat juga pada saat proses selanjutnya ada proses partisipatif mendengar masukan dari berbagai pihak khususnya warga kota (termasuk dalam definisi warga kota adalah pemilik tanah di koridor Jalan Simatupang). Dan terakhir tentunya harus diingat dan tidak bisa dipungkiri bahwa rencana kota merupakan produk politis dan mencerminkan kesepakatan warga kota.

Kembali ke persoalan bahwa saat ini adalah sudah banyak gedung tinggi di sepanjang koridor Simatupang. Apabila pemilik tanah di samping bangunan tinggi tersebut meminta izin untuk membangun bangunan tinggi (seperti sebelahnya), maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta susah menolak. Beberapa alasannya adalah :

  • Mengacu pada rencana kota, di sepanjang koridor Jalan Simatupang memang diperbolehkan ada bangunan tinggi, sehingga para pemilik tanah juga berhak mengajukan permohonan izin membangun bangunan tinggi selama memenuhi syarat. 
  • Apabila pembangunan gedung tinggi di sepanjang koridor Jalan Simatupang di-hold maka akan memunculkan isu “keadilan”. Aspek keadilan ini maksudnya bahwa sudah banyak bangunan tinggi di sebelahnya namun pemilik tanah yang akan membangun baru tidak diperbolehkan membangun, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan. Walaupun aspek keadilan ini bisa juga dipertentangkan apakah adil bagi masyarakat kota Jakarta secara keseluruhan yang merasakan dampak banjir dan macet akibat pembangunan baru tersebut.


Inti yang ingin saya sampaikan adalah bahwa pertumbuhan di selatan Jakarta khususnya di sepanjang koridor Jalan Simatupang memang sangat susah dikendalikan (karena tekanan ekonomi sangat besar). Dengan demikian mungkin perlu alternatif yang bisa diterima berbagai pihak terkait pembangunan di koridor tersebut :

  1. Pembangunan gedung tinggi tetap tidak boleh melampaui KDB yang ada karena dalam rencana kota, koridor tersebut memiliki KDB yang tidak besar (walaupun dengan KDB rendah tetap bisa diakali dengan pertumbuhan vertikal ke atas, sehingga intensitas ruangnya tetap tinggi).
  2. Dengan pembangunan gedung tinggi (yang otomatis pondasinya juga masuk ke bawah), maka perlu dikompensasi dengan peningkatan Koefisien Dasar Hijau kawasan (bukan per persil namun kawasan), untuk meningkatkan fungsi tata air pada kawasan tersebut. 
  3. Idealnya Jalan Simatupang (bukan jalan tol JORR) diperlebar dan ditambahkan satu lajur lagi untuk dijadikan sebagai service road di dalam kawasan (minimal menjadi service road bagi bangunan di pinggir jalan). 
  4. Dampak pembangunan (eksternalitas negatif) idealnya ditanggulangi oleh pihak yang akan membangun gedung tinggi di Jakarta, dan Pemerintah harus mampu memaksa mereka untuk melaksanakan kewajiban menanggulangi dampak tersebut. 
  5. Mungkin pada masa depan pembangunan kota tidak hanya mempertimbangkan angka-angka yang tertera dalam kajian lalu lintas ataupun kajian tata air, namun juga mempertimbangkan faktor “kenyamanan warga kota”. 


~~~hanya pemikiran seorang warga kota yang gerah dengan banjir dan macet di koridor tersebut pada bulan Januari 2014~~~

Konsep Regulatory System Dalam Penataan Ruang

Dalam regulatory system, semua tindakan harus mengacu pada peraturan/ regulasi yang telah ditetapkan. Secara sederhana prinsip dari regulatory system adalah bahwa segala tindakan yang dilakukan (khusunya terkait perizinan) harus mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan. Konsep regulatory system ini sangat kontras dengan masa lalu yang cenderung menggunakan discretionary system (lebih mengutamakan kebijakan).

Terkait tata ruang, jiwa dari konsep regulatory system sudah mulai digunakan di Indonesia sejak diberlakukannya UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Mengacu pada peraturan tersebut, segala tindakan warga kota harus sesuai dengan RTRW. Dengan pengertian tersebut maka RTRW seolah-olah dianggap sebagai kitab suci yang harus dipatuhi oleh siapapun, baik masyarakat maupun aparat pemerintah. Masyarakat yang melanggar tata ruang maka dapat dikenakan sanksi. Tidak hanya itu, para pejabat yang memberikan izin tidak mengacu pada RTRW juga dapat dikenakan sanksi. Intinya, ketika  RTRW sudah ditetapkan dan menjadi produk hukum, maka harus dipatuhi dan apabila melanggar maka akan berakibat pada konsekuensi hukum (begitu yang sering dibilang aparat Pemerintah Pusat).

Konsep regulatory system yang mendewakan RTRW tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. RTRW adalah produk manusia yang tidak sempurna (kata kuncinya adalah bahwa RTRW merupakan produk manusia). Hingga saat ini banyak sekali masyarakat yang memprotes RTRW karena merasa dirugikan. Ketidaksempurnaan RTRW terlihat dari "proses penyusunannya" yang seringkali terkendala biaya, waktu, dan tenaga.

Walaupun memang esensi RTRW adalah hasil kesepakatan seluruh warga kota yang mencerminkan total social benefit, namun penyusunan RTRW tidak bisa mengakomodasi keinginan masyarakat secara optimal (sekali lagi ditegaskan bahwa RTRW berusaha mengoptimalkan total social benefit, bukan benefit untuk segelintir individu saja). Untuk menjadikan RTRW sebagai "kitab suci", terdapat satu kelemahan lain yang cukup mendasar yaitu penyusunannya tidak terlalu mempertimbangkan kepemilikan lahan pada tanah yang direncanakan (kecuali kasus tertentu ataupun mempertimbangkan kondisi eksisting). Sederhananya, kita menyusun rencana pada tanah orang, sehingga implementasinya menjadi sulit dilaksanakan.

Untuk menutup kelemahan dari sistem yang ada dalam RTRW sebenarnya UU 26 Tahun 2007 sudah membuka banyak ruang khususnya pada bagian Insentif dan Disinsentif. Ada banyak cara ketika masyarakat akan memanfaatkan tanah yang dimilikinya sesuai dengan rencana tata ruang, misalnya diberikan insnentif berupa keringanan pajak, dll. Walaupun UU 26 Tahun 2007 sudah memberikan ruang yang luas untuk insentif dan disinsentif, namun pada praktiknya masih susah diterapkan (terutama terkait regulasi dan pemahaman aparat terhadap konsep tersebut).

Selain itu terdapat kelemahan lain dari UU 26 Tahun 2007 yang cukup vital. Peraturan tersebut mewajibkan pemanfaatan ruang harus sesuai dengan RTRW (tanpa kecuali), dan sebenarnya tidak memperbolehkan perubahan peruntukan. Hal ini cukup bagus untuk mengendalikan pertumbuhan kota, misalnya peruntukan intensitas rendah seperti RTH tidak boleh berubah menjadi peruntukan intensitas lebih tinggi seperti perumahan. Namun sebaliknya apabila peruntukan intensitas lebih tinggi seperti perumahan juga tidak bisa berubah menjadi peruntukan intensitas rendah seperti RTH (padahal hal ini cukup bermanfaat).

~~~terinspirasi dari paparan pakar / dosen ITB Pak Andhy Oetomo, Pak Petrus Natalivan, dll..~~~

Mengamati Penyelenggaraan Perkeretaapian

Membaca berita yang dimuat di Koran Jakarta tanggal 7 Desember 2013, PT KAI berencana menaikkan harga tiket kereta ekonomi jarak jauh mulai Januari 2014. Menurut Direktur PT KAI, Ignasius Jonan, kenaikan harga tiket disebabkan beberapa hal yaitu belum disetujuinya dana subsidi (PSO) dari Pemerintah dan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Implikasi tidak adanya subsidi adalah penumpang menanggung sendiri biayanya (dan saya rasa cukup berat untuk sebagian masyarakat khususnya menengah ke bawah).

Terlepas dari benar atau tidaknya rencana menaikkan harga tiket KA, saya sebagai eks pengguna KA jarak jauh sebenarnya kurang setuju dengan semakin mahalnya harga KA saat ini. Menerawang masa-masa ketika masih kuliah di Bandung, KA merupakan moda transportasi yang paling logis (logis dalam arti relatif murah dan nyaman) bagi "mahasiswa daerah" yang ingin mudik ke kampung halamannya (di Jawa Timur). Kembali ke jaman sekarang, harga tiket KA saat ini semakin naik dan bahkan tidak berbeda jauh dengan harga tiket pesawat. Memang harga tiket KA diimbangi dengan meningkatnya kualitas (standard) pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Dan harus diakui bahwa manajemen PT KA telah mampu menyehatkan neraca keuangan perusahaan (kinerjanya optimal).

Walaupun demikian, pilihan manajemen PT KAI yang dengan luar biasa memodernkan manajemen/penyelenggaraan perkeretaapian, menimbulkan 'efek samping' bagi masyarakat maupun Pemerintah (sebagaimana dalam ilmu ekonomi, bahwa selalu ada trade off dalam setiap pilihan). Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa modernisasi manajemen PT KAI berdampak pada berkurangnya fungsi PSO (pernyataan ini adalah pendapat pribadi yang belum teruji kebenarannya secara akademis).

Sebelum melihat sudut pandang PT KAI dan sudut pandang Pemerintah dalam memandang fungsi PSO dalam perkeretaapian, mungkin perlu review sedikit mengenai fungsi kereta api. Secara teori, kereta api sebagai transportasi umum massal tentu punya fungsi sosial. Dengan adanya fungsi sosial tersebut, PT KAI sebagai penyelenggara perkeretaapian tentunya memiliki tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan public service obligation (PSO). Intinya secara konsep, penyelenggaraan perkeretaapian idealnya tidak hanya memikirkan masalah bisnis saja.

DARI SUDUT PANDANG PT KAI
Mungkin apabila manajemen PT KAI dimintakan komentarnya tentang fungsi PSO dalam penyelenggaraan perkeretaapian, pasti akan mengatakan bahwa fungsi PSO masih dianggap penting. Mungkin mereka akan berdalih bahwa fungsi PSO terlihat dari masih disubsidinya pengguna KA kelas ekonomi. Subsidi untuk pengguna KA kelas ekonomi secara utama berasal dari 2 sumber. Sumber pertama berasal dari anggaran subsidi APBN, dan sumber kedua berasal dari subsidi silang pengguna kelas eksekutif kepada kelas ekonomi (tarif kelas eksekutif dinaikkan untuk menyubsidi kelas ekonomi). Pendapat pribadi saya adalah bahwa subsidi untuk masyarakat kelas bawah (pengguna KA kelas ekonomi) memang penting agar mereka dapat memanfaatkan transportasi publik, namun demikian idealnya tarif KA secara keseluruhan (tidak hanya kelas ekonomi, namun juga kelas eksekutif) tidak terlalu mahal. Apalagi saat ini masyarakat punya pilihan,, untuk masyarakat menengah ke bawah bisa naik bus atau motor (walaupun jarak jauh), sedangkan masyarakat menengah ke atas bisa menggunakan berbagai alternatif moda transportasi lainnya (khususnya kendaraan pribadi seperti motor dan mobil).

DARI SUDUT PANDANG PEMERINTAH
Apabila Pemerintah mendukung fungsi PSO yang diemban oleh PT KAI, idealnya Pemerintah meminta PT KAI sebagai Badan Usaha Milik Negara tidak dijalankan dengan motif bisnis semata. Artinya Pemerintah selaku pemilik dari PT KAI tidak menuntut PT KAI mencetak profit sebesar-besarnya. Pendapat pribadi saya, idealnya Pemerintah cukup menetapkan target PT KAI "menyehatkan" cash flow perusahaan, tidak perlu mencetak profit sebesar-besarnya. Walaupun memang perusahaan membutuhkan dana operasional dan dana pengembangan, namun Pemerintah sebaiknya tidak usah muluk2 meminta PT KAI mencetak profit secara berlebihan.

Pemerintah juga harus menunjukkan komitmen dan keberpihakannya kepada PT KAI. Salah satu komitmen Pemerintah dalam mendukung fungsi PSO tercermin pada seberapa besar alokasi APBN berupa "subsidi PSO kepada PT KAI". Komitmen Pemerintah ini penting agar PT KAI memiliki kepastian dalam menentukan business plan sekaligus pada saat menjalankan usahanya.

Apabila Pemerintah ingin menyehatkan PT KA sekaligus mengurangi subsidi APBN, maka Pemerintah perlu mempertimbangkan sumber pembiayaan lain yang memungkinkan PT KAI meraup keuntungan namun di sisi lain tidak memberatkan konsumen. Pemerintah dapat juga mengintegrasikan penyelenggaraan KA dengan penyelenggaraan bisnis properti di sekitar stasiun KA. Keuntungan dari bisnis properti tersebut selanjutnya digunakan untuk menyubsidi para pengguna KA.

DARI SUDUT PANDANG LAIN
Para pengguna kendaraan pribadi idealnya dapat ditarik ke KA, karena kendaraan-kendaraan pribadi inilah yang menyebabkan kemacetan. Semakin banyak kendaraan pribadi maka semakin tinggi pula kebutuhan jalan, padahal idealnya Pemerintah dapat secara halus mengatur orang-orang agar berpindah ke transportasi publik. Apabila pengguna kendaraan pribadi berkurang dan PT KAI dapat mengangkut sebanyak mungkin orang, maka Pemerintah "tidak perlu membangun jalan secara besar-besaran". Sebagai catatan, memang harus diakui bahwa pengguna kendaraan pribadi kebanyakan bukanlah masyarakat kelas bawah, sehingga perlu strategi jitu untuk menarik masyarakat menengah-atas agar mau menggunakan transportasi umum, apalagi untuk KA jarak jauh bersaing dengan maskapai low cost carrier.

Sebagai penutup, saya setuju bahwa KA harus di-anakemas-kan (sebagaimana Pemprov DKI menganakemaskan busway). Konsep ini harus tercermin dalam kebijakan Pemerintah (khususnya Pemerintah Pusat) secara nyata dan tidak bisa setengah-setengah. Pada masa mendatang, tidak perlu membangun jalan antar provinsi/kota secara besar-besaran, tapi fokus saja pada pengembangan KA. Pengembangan KA tersebut selanjutnya didukung dengan pengembangan jalan (jalan merupakan komplemen, bukan yang utama).

~~hanyalah pendapat pribadi~~