Waktu baca The Magazine of Garuda Indonesia yang ada di belakang kursi GIA, ada artikel menarik tentang perbandingan obyek wisata antara Indonesia dengan obyek wisata Luar-Indonesia. Dalam artikel itu, obyek wisata di Indonesia dicontohkan oleh Borobudur yang dibandingkan dengan obyek wisata dari luar negeri seperti Great Wall of China, Colosseum, Castle Urquart, dll.
Kutipannya seperti ini (tentang Borobudur) :
“From the very start, instead of being a pleasure and a surprise, it’s a chore, then a hassle, then finally a bore. First of all, the parking is disorganized, chaotic, and unsafe, then there’s the ticketing which is inefficient (except that foreigners pay more). And as there are no brochures or maps available, you’re on your own. But not quite,, there’s a hundred, maybe more, aggressive, annoying, persistent hawkers, guides, and peddlers waiting to attack. And they do, ignoring protests, refusals, threats, and curses. For most visitors, their trip is already over, their joy replaced by anger, the thrill of discovery replaced by frustration. No information, no films, no brocuhures, no peace”.
Gila,, persepsi terhadap obyek wisata Indonesia udah sedemikian jeleknya. Untung majalah itu saya “amankan” dan saya bawa pulang hihi (bukan nyolong lho hehe),, kalo nggak diamankan kan bisa dibaca sama wisatawan mancanegara yang kebetulan naik pesawat itu. Gimana kalo mereka jadi skeptis melancong ke Indonesia coba,,
Apa yang perlu diperbaiki dari pariwisata Indonesia ke depannya????
1) Yang pertama menata ulang hubungan pemerintah – swasta
Kalau saya sih sangat setuju menyerahkan pengelolaan obyek-obyek wisata kepada swasta, bahkan Borobudur sekalipun (yang notabene di RTRWN ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional). Memang sih kalau disebutkan dalam RTRWN berarti pengelolaannya menjadi tanggung jawab pusat, tapi kan tetap bisa dialihkan ke pihak lain juga, selama fungsinya tidak berubah. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (mewakili pusat) sebaiknya cuman melakukan pembinaan dan pengawasan apakah swasta mampu menerapkan standar minimal pelayanan atau tidak. Lagian kan pengelolaan oleh swasta terkenal efisien dan bagus,, karena mereka mengutamakan pelayanan pada customer agar bisnisnya tetap bisa berjalan.
Dengan melepas pengelolaan berbagai obyek wisata ke swasta, jangan takut bahwa Depbudpar bakalan gak ada kerjaan atau gak ada proyek. Kan PNS di Depbudpar bisa banyakin perjalanan dinas ke berbagai obyek wisata di Indonesia dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Semakin banyak perjalanan dinas makin banyak uang saku yang masuk kantong juga kan (penyerapan anggaran). Atau bahkan Depbudpar bisa melakukan studi banding ke obyek-obyek wisata menarik di luar negeri. Gak masalah kalo emang Depbudpar mau hamburin duit negara cuman buat melancong asal pengetahuan mereka bisa bertambah. Dasar pemikirannya adalah : lebih baik mereka mendapatkan banyak duit dengan cara jelas sekaligus bisa bersenang-senang dari pada mereka melakukan korupsi yang tidak terdeteksi.
2) Yang kedua kelengkapan informasi
Yang disebut informasi ini bisa berupa papan pengumuman, brosur, peta lokasi (site map), dan lain-lain informasi yang berguna bagi para wisatawan.
Selain itu sebaiknya Depbudpar mendata informasi semua obyek wisata di Indonesia dan kalau perlu dirangking, mana obyek wisata yang paling layak dikunjungi, moderate ataupun yang biasa aja. Sehingga ketika calon wisatawan pengen berwisata ke Indonesia, mereka tau obyek mana aja yg paling layak dikunjungi dan sesuai dengan karakteristik wisata si turis itu sendiri. Selanjutnya Depbudpar bisa melanjutkan "Visit Indonesia Year" pada tahun berikutnya, mengikuti exhibition di luar negeri, dll.
3) Yang ketiga perlu ada legenda, mitos, dongeng, atau kalau perlu bualan
Contoh legenda, mitos :
1) Di Situ Patengan ada mitos batu cinta yang menyatakan bahwa di lokasi batu tersebut dahulu pernah ada dua insan yang saling mencintai dan kembali bertemu setelah sekian lama berpisah. Jadi selain karena pemandangan alamnya, mitos ini membuat banyak muda-mudi yang kasmaran (ya ampun bahasanya,,) mendatangi lokasi ini karena berharap hubungan mereka bakal langgeng sebagaimana mitos tersebut.
2) Di Jombang, rumah Ryan the serial killer yang homo udah jadi obyek wisata kriminal. Banyak orang yang penasaran dengan rumah Ryan dan sekedar poto-poto dengan pose dipenggal. Akhirnya karena didatangi banyak orang, penduduk di sekitar rumah Ryan kecipratan rezeki dari para wisatawan dengan cara berdagang, dll.
3) Karena kisahnya yang melegenda, makam para tokoh wali songo banyak didatangi manusia Jawa yang pengen mendapatkan berkah sebagaimana para wali tersebut. Pada akhirnya banyak rombongan yang pergi ziarah ke wali songo, bahkan ada yang menargetkan bahwa mereka harus berkunjung minimal beberapa kali dalam setahun. Akhirnya masyarakat lokal di sekitar makam mendapat mata pencaharian seperti berdagang, buka restoran, buka penginapan, dll.
4) Bahkan makam Raja Sidabutar-butar di tengah Danau Toba juga memiliki legenda yang unik dan membuat pengunjung penasaran. Pada akhirnya mereka naek perahu menyebrangi danau toba untuk sekedar menginjakkan kaki di Pulau Samosir.
Intinya untuk berbagai obyek wisata perlu ada mitos, legenda, dongeng, kibulan, bualan, atau apapun yang membuat masyarakat asing mau datang ke tempat tersebut. Apalagi masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat klenik dan bermulut besar,, hoho. Masih banyak mitos, kisah, legenda yang perlu di blow up dan dijadikan sebagai bumbu penyedap dalam menjual obyek wisata. (Saya sebut bumbu penyedap karena memang bukan hidangan utama, tapi sekedar garam pelengkap).
4) Yang keempat dan paling penting adalah peran masyarakat lokal
Masyarakat harus mendukung pariwisata. Contoh kasusnya di Bali orang benar-benar ramah, memegang adat, dan menjaga berbagai obyek wisata. Kenapa mereka bisa begitu? Karena mereka mendapatkan manfaat apabila mereka menjaga tradisi, mereka mendapat manfaat atas keramahan mereka, dan mereka tahu bahwa menjaga (tidak merusak) obyek wisata sama artinya dengan menstabilkan pendapatan mereka. Jika para turis bertanya tentang lokasi wisata dan tradisi, maka kebanyakan masyarakat lokal di Bali tahu bagaimana menjawabnya dan hal ini membuat wisatawan jadi puas.
Kondisi di Bali sangat berbeda dengan di Bromo. Salah satu contohnya masyarakat lokal lebih senang menipu para wisatawan (maaf mungkin gak semuanya). Meskipun masyarakat lokal mendapatkan pemasukan besar pada saat tersebut (ketika mereka menipu wisatawan), namun untuk jangka panjang para wisatawan yang pernah ke Bromo tidak ingin kembali lagi ke sana karena masyarakat lokalnya kurang ramah. Terlebih apabila dibandingkan dengan konsep pengelolaan wisata di Bali. Para wisatawan yang pernah berkunjung ke Bali pasti selalu ingin kembali ke Bali (bukan sekedar “pernah” ke sana doang).
Jadi yang paling penting adalah kesadaran masyarakat bahwa keberadaan obyek wisata di tempat mereka bisa menimbulkan multiplier effect yang pada akhirnya membuka lapangan kerja bagi mereka sendiri dan menyejahterakan. Jika mereka sadar, maka mereka pasti akan menjaga keberadaan obyek wisata tersebut.
We are Indonesian. Our culture and our nature bring dollars to Indonesia. In addition to that, Indonesian hospitality, make this country more beautiful,, Semoga Indonesia bisa berbenah. Mari kita dukung kemajuan pariwisata nasional.