Monday, 13 August 2018

BELAJAR DARI BELANDA (03) : REKLAMASI DI BELANDA


PENGERTIAN REKLAMASI & POLDER
Sebelum membahas tentang reklamasi di Belanda, ada baiknya untuk terlebih dahulu memahami kondisi topografis dan kondisi tanah di Belanda. Kondisi topografis daerah-daerah di Belanda mayoritas datar dan ± 26% wilayahnya terletak di bawah permukaan laut. Pengecualian atas kondisi topografi tersebut terdapat pada daerah-daerah di kaki-kaki bukit di sebelah timur-selatan dan beberapa perbukitan di bagian tengah.

Terdapat sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kondisi topografis Belanda yang rendah juga dipengaruhi jenis tanahnya yang didominasi oleh gambut (peatland). Ketika terjadi ekstraksi gambut secara besar-besaran, maka akan membuat permukaan daratan menjadi turun, sehingga banyak daerah yang berada di bawah permukaan laut. Ilustrasi sederhana tanah gambut ini, bayangkan sebuah spon basah (contohnya spon untuk mencuci piring) yang rongga-rongganya dipenuhi air. Ketika air di dalam rongga tersebut disedot / diekstraksi maka spon tersebut akan mudah dimampatkan dan ketika diberi beban di atasnya maka ketinggiannya pasti akan turun, seperti itulah tanah gambut.

Dilatarbelakangi kondisi topografis yang berada di bawah permukaan laut serta jenis tanah berupa gambut, Pemerintah Belanda melakukan berbagai intervensi secara artifisial untuk mencegah banjir khususnya pada kota-kota ber-rawa gambut ekstensif di muara laut atau tepi sungai. Pembangunan tanggul di sepanjang sungai dan laut adalah bentuk intervensi yang paling terkenal yang dilaksanakan oleh Belanda. Intervensi lain yang tidak kalah terkenal tentunya adalah reklamasi.

Mengacu pada beberapa literatur, reklamasi daratan di Belanda dimulai sejak akhir abad ke-16. Pada perkembangannya, reklamasi dilaksanakan pada daerah-daerah yang berada di bawah permukaan laut melalui pengeringan air laut, danau, dan rawa. Rekayasa teknis diterapkan terhadap sistem drainase di dalam daerah yang direklamasi tersebut. Biasanya pada wilayah yang direklamasi tersebut juga dilengkapi tanggul sebagai pembatas untuk mengisolir aliran air yang berasal dari luar wilayah tersebut (tanggul merupakan komponen utama dalam reklamasi). Wilayah hasil reklamasi ini di kemudian hari terkenal sebagai polder dan sistem drainase di dalamnya dikenal sebagai sistem polder.  

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pengertian reklamasi di Belanda agak berbeda dengan di Indonesia. Reklamasi di Belanda biasanya dilaksanakan melalui pengeringan air di dataran rendah, dataran gambut, danau, rawa, dan laut dangkal. Sedangkan reklamasi di Indonesia biasanya dilaksanakan melalui pengeringan air laut dangkal yang kemudian ditimbun/diurug dengan tanah. Sederhananya, reklamasi di Indonesia dilaksanakan di laut dan harus ada pengurugan tanah karena posisinya di laut dangkal, sementara reklamasi di Belanda dapat dilaksanakan di darat (danau, sungai, rawa) ataupun di laut. Selain itu pada reklamasi di Belanda, pengurugan pasir bukan faktor utama namun bukan pula menjadi hal yang tabu untuk diaplikasikan apabila memang diperlukan untuk pematangan lahan.

Kembali pada sistem polder yang dikembangkan oleh Belanda, tahap awal dalam mengembangkan sistem polder adalah dengan membangun tanggul di sepanjang area yang akan direklamasi. Tanggul ini pada tahap tertentu dapat memutus aliran hidrologis dari luar daerah reklamasi ke dalam daerah reklamasi. Setelah tanggul selesai dibangun, selanjutnya dilakukan pengeringan air di dalam area reklamasi. Pada jaman dahulu, pengeringan air dari dalam polder dibuang keluar polder dilakukan dengan menggunakan bantuan kincir angin (menggunakan sumber energi angin), namun sekarang fungsi kincir angin digantikan oleh mesin pompa dengan sumber energi listrik. Kincir angin pada masa sekarang lebih banyak digunakan sebagai sumber energi (walaupun kincir angin pada saat ini sudah jarang digunakan untuk mengeringkan air, namun Belanda hingga kini tetap identik sebagai negara kincir angin)

Sumber gambar: internet
Dengan melihat upaya-upaya Belanda melawan banjir yang kemudian melahirkan berbagai inovasi di bidang pengendalian banjir (termasuk reklamasi), maka tidak heran kalau seorang filusuf Prancis Rene Descartes pernah berkata : “God created the world, but the Dutch created Holland”.

CONTOH TANAH HASIL REKLAMASI
Tanah hasil reklamasi (polder) di Belanda digunakan untuk berbagai fungsi misalnya pertanian, hunian, dan pelabuhan. Di antara sekian banyak kawasan reklamasi di Belanda, terdapat beberapa lokasi yang sangat terkenal yaitu Haarlemmermeer, IJsselmeer Polders, dan tentunya Kawasan Pelabuhan Maasvlakte. Penjelasan singkat atas masing-masing lokasi tersebut dapat dibaca di bawah ini.

Haarlemmermeer
Haarlemmermeer sebelum tahun 1800-an adalah kawasan yang terdiri dari beberapa danau dan mulai direklamasi setelah terjadinya hurricane pada tahun 1836. Proses reklamasi diawali dengan pembangunan kanal di sekitar danau (Ringvaart atau Ring Canal) yang nantinya digunakan sebagai jalur mengalirkan air dalam danau keluar danau. Kanal sepanjang 61 km dan kedalaman 2,4 meter tersebut juga digunakan sebagai tempat lewat kapal yang sebelumnya melewati waduk tersebut. Proses selanjutnya adalah membangun tanggul sepanjang 30-50 meter mengitari danau yang mampu meng-cover area seluas 180 km2 dengan kedalaman danau sekitar 4 meter. Setelah kanal dan tanggul siap, maka proses selanjutnya adalah menyedot / memompa / mengalirkan air dari dalam danau keluar danau dengan menggunakan mesin uap (hal ini unik karena pemompaan air pada masa itu biasanya menggunakan kincir angin). Setelah direklamasi, dominasi penggunaan lahan di Haarlemmermeer adalah kawasan pertanian, namun kini penggunaan lahan di Haarlemmermeer didominasi oleh industri dan perkantoran. Bahkan bandara Schipol juga berada di area reklamasi ini dan menempati sekitar 15% dari area Haarlemmermeer (area ini dekat Amsterdam).

IJsselmeer Polders
IJsselmeer Polders yang terdiri dari 4 polder direklamasi dari danau Ijssel (IJsselmeer). Ijsselmeer sendiri adalah danau yang dahulu menyatu dengan Zuiderzee (teluk dangkal di Laut Utara) sebelum dipisahkan dengan bendungan Afsluitdijk. Wieringermeer Polder (193 km2) selesai dibangun pada tahun 1930. The Northeast (Noordoost) Polder (469 km2) selesai dibangun pada tahun 1942. The East (Oostelijk) Flevoland Polder (528 km2) selesai dibangun pada tahun 1957. The South (Zuidelijk) Flevoland Polder (430 km2) selesai dibangun pada tahun 1968. Keempat polder hasil reklamasi tersebut memberikan tambahan area daratan bagi Belanda hingga mencapai 1,620 km2. Pada awalnya polder-polder ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai daerah pertanian misalnya jagung, gandum, kentang, dll (saat itu hasil pertanian masih mahal). Namun demikian saat ini polder tersebut juga digunakan untuk kawasan industri, kawasan rekreasi, dan tentunya kawasan permukiman.
 
Kawasan Pelabuhan Maasvlakte
Kawasan Pelabuhan Maasvlakte merupakan relokasi dari Pelabuhan Rotterdam yang sudah penuh sesak sehingga memerlukan relokasi / perluasan. Kawasan Pelabuhan Maasvlakte dibangun dalam dua tahap yaitu Maasvlakte I dan Maasvlakte II. Pada pembangunan Maasvlakte I (1960an-1973), tanah yang digunakan untuk mengurug daerah reklamasi berasal dari Danau Oostvoorne (danau tersebut berasal dari penggalian tanah yang digunakan untuk mengurug Maasvlakte). Pada pembangunan Maasvlakte II (2010-rencana selesai 2030), tanah yang digunakan berasal dari sea bed di North Sea. Proyek Maasvlakte 2 diharapkan mampu menambah daratan baru seluas 5.000 hektar dan membuat Port of Rotterdam semakin kompetitif. Sebagai informasi, Pelabuhan Rotterdam merupakan pelabuhan terbesar di Eropa dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di dunia.

ASPEK LINGKUNGAN
Belanda telah banyak melaksanakan reklamasi sejak sebelum tahun 1900-an. Pada masa-masa awal reklamasi, aspek lingkungan tidak menjadi fokus utama. Hal ini disebabkan latar belakang reklamasi pada saat itu dilaksanakan untuk melindungi penduduk dari ancaman banjir (human protection oriented). Bahkan sampai dengan dilaksanakannya reklamasi untuk pembangunan pelabuhan Rotterdam / proyek Maasvlakte I pada tahun 1960an hingga 1973, aspek lingkungan belum menjadi aspek dominan dalam pelaksanaan reklamasi. Pada pembangunan proyek Maasvlakte I, aspek ekonomilah yang sangat dominan.

Namun sejak digulirkannya proyek Maasvlakte II (2010-2030), aspek lingkungan menjadi perhatian penting dan sejajar dengan aspek ekonomi. Pemerintah Belanda mulai memperhatikan ekosistem di daerah yang akan direklamasi maupun di daerah sumber pasir yang akan digunakan untuk pengurugan reklamasi. Pasir untuk pengurugan Maasvlakte II berasal dari laut lepas (12 km dari garis pantai ke arah luar). Bahkan metode pengerugan dari dasar laut pun diatur agar tidak merusak ekosistem laut tersebut. Di sisi lain, terdapat lokasi breeding dan resting sites untuk spesies langka (ikan dan burung) yang terkena dampak pembangunan Maasvlakte II, maka sebagai kompensasinya Pemerintah membangun semacam “rest area buatan ataupun bukit pasir buatan agar burung dan ikan yang termasuk dalam spesies langka memiliki lokasi untuk breeding dan beristirahat. Harapannya adalah sebisa mungkin jalur penerbangan burung langka di Eropa tidak terganggu. Inti yang ingin disampaikan adalah bahwa aspek lingkungan kini menjadi aspek yang dominan dalam pelaksanaan reklamasi di Belanda.

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PERAN SWASTA
Sebagaimana biasanya, pembangunan reklamasi dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Belanda. Konsekuensinya bahwa sumber pendanaan juga berasal dari Pemerintah Belanda. Adapun pihak swasta biasanya hanya berperan sebagai kontraktor ataupun pihak yang membantu studi kelayakan proyek reklamasi tersebut. Konsep di Belanda tersebut tentunya agak berbeda dengan reklamasi di Jakarta yang pendanaannya tidak hanya berasal dari Pemerintah saja, namun dapat juga berasal dari pihak swasta. Terkait skema pendanaan untuk reklamasi tersebut, bukan berarti Belanda lebih baik dibandingkan Indonesia (karena pemilihan skema pendanaan sangat kasuistis dan tergantung dengan kemampuan pendanaan masing-masing negara). Yang menjadi penekanan utama dalam pelaksanaan reklamasi seharusnya adalah bahwa tanggung jawab utama tetap ada di Pemerintah, bukan swasta. Konsekuensinya, walaupun sumber pendanaan berasal dari swasta (dengan skema Public-Private Partnership), bukan berarti dalam pelaksanaannya swasta bisa leluasa mengatur Pemerintah, namun sudah seharusnya bahwa Pemerintah yang mengarahkan swasta. 

Sunday, 12 August 2018

BELAJAR DARI BELANDA (02) : TATA KELOLA AIR DI BELANDA

PEMBAGIAN KEWENANGAN TATA KELOLA AIR DI BELANDA
Mengacu pada studi OECD, tata kelola air di Belanda terdiri dari pengelolaan beberapa fungsi penting antara lain :
  1. Flood defence (penanggulangan banjir).
  2. Water quantity and drainage (pengelolaan kuantitas air dan drainas).
  3. Water quality (pengelolaan kualitas air).
  4. Sewage management & wastewater treatment (pengelolaan limbah & pengolahan air limbah).
  5. Drinking water supply (penyediaan air minum).
Dari tabel di atas terlihat bahwa manajemen pengelolaan air di Belanda merupakan tanggung jawab otoritas publik dengan rincian sebagai berikut :

  •  Pemerintah Pusat (Ministry of Infrastructure and Environment) bertanggung jawab atas kebijakan air nasional

  • Rijkswaterstaat (National Water Authority), yang merupakan executing agency dari Kementerian (Ministry of Infrastructure and Environment) bertanggung jawab untuk desain, konstruksi, manajemen dan pemeliharaan fasilitas infrastruktur operasi dan main water system (North Sea, Wadden Sea, Lake IJsselmeer and the major rivers and channels).
  • Pemerintah Provinsi bertugas menyusun rencana air regional, melaksanakan supervisi atas primary flood defence structures, dan memberikan izin untuk ekstraksi air tanah (ground water extraction) skala besar.
  • Pemerintah Kota (Municipal) bertugas melaksanakan pengumpulan dan pengangkutan air limbah perkotaan dan menangani air hujan dan air tanah di daerah perkotaan. Mereka melaksanakan water assessment instrument, mengakomodasi water management dalam keputusan perencanaan tata ruang.
  • Water Board (Regional Water Authority) bertugas mempertahankan water level dan melindungi suatu region/daerah dari banjir. Apabila Rijkswaterstaat bertanggung jawab untuk pertahanan pesisir (menjaga garis pantai) dan main water system, maka Water Board bertanggung jawab mengelola tanggul utama (± 3.400 kilometer) dan tanggul lainnya (± 14.000 kilometer).
  • Perusahaan swasta berperan dalam berbagai kegiatan seperti pengerukan dan pembangunan tanggul, stasiun pompa, dan instalasi pengolahan air limbah.

KELEMBAGAAN DALAM PENANGGULANGAN BANJIR (FLOOD DEFENCE)
Penanggulangan banjir utama yang berkaitan dengan main water system (yang terkait dengan perlindungan terhadap North Sea, Wadden Sea, Lake IJsselmeer and the major rivers and channels) merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun demikian, dalam konteks pengendalian banjir perkotaan, tanggung jawab penanggulangan banjir selanjutnya didesentralisasikan secara teritorial maupun fungsional. Dalam desentralisasi teritorial, penanggulangan banjir menjadi tanggung jawab Provinsi dan Municipal. Dalam desentralisasi fungsional, penanggulangan banjir menjadi tanggung jawab Water Board.

Konsekuensi pembagian kewenangan sebagaimana disebutkan di atas adalah Pemerintah Pusat membangun dan mengelola sendiri primary flood defence structures. Adapun secondary flood defence structures (khususnya di perkotaan) menjadi tanggung jawab Water Board. Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Pusat memberikan subsidi kepada Water Board untuk mengelola sebagian primary flood defence structures. Pada perkembangan lebih lanjut, dengan adanya Administrative Agreement on Water Affairs tahun 2011, kembali terjadi perubahan signifikan. Apabila sebelumnya pemerintah pusat memberikan subsidi 100% kepada Water Board untuk pembiayaan primary flood defence structures, diubah menjadi transfer 50% dan sisanya menjadi tanggung jawab Water Board. Peran Pemerintah Provinsi adalah melakukan pengawasan atas semua primary flood defence structures (sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat).

Walaupun tanggung jawab utama pengendalian banjir berada di tangan Pemerintah Pusat dan Water Board, namun Municipal juga dapat berpartisipasi dalam pengendalian banjir di perkotaan melalui pembangunan water plaza, green roofs, multifunctional carparks, dll. 

KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN AIR PERKOTAAN
Suatu kota dengan berbagai aktivitas penduduk dan beragam kegiatan di dalamnya pasti menghasilkan waste water (air limbah). Secara ringkas air limbah perkotaan dapat berasal dari berbagai sumber :
  1. Air limbah rumah tangga (air bekas cucian, air bekas memasak, air bekas mandi, dll);
  2. Air limbah perkantoran, perdagangan, dll;
  3. Air limbah industri (pabrik, dll).

Municipal (Pemerintah Kota) di Belanda bertanggung jawab dalam pembangunan jaringan yang dapat mengangkut transportasi air limbah perkotaan dari sumbernya (rumah tangga, perkantoran, industri) menuju Water Treatment Plant (WTP). Dalam pelaksanaan tugasnya, Municipal memungut regional tax sebagai sumber pembiayaan untuk membangun jaringan perpipaan air limbah. Jaringan perpipaan tersebutlah yang menyalurkan air limbah dari sumbernya dan diangkut ke WTP.

Setelah air limbah sampai di WTP, maka selanjutnya Water Board yang bertanggung jawab atas pengolahan air limbah di WTP tersebut. Adapun WTP secara ringkas dapat digambarkan sebagai sebuah alat yang dirancang untuk mengolah waste water dengan cara memisahkan limbah biologis/kimiawi dari air. Hasil pengolahan WTP adalah air yang dapat digunakan untuk aktivitas sehari-hari misalnya minum, irigasi, mandi, dll. Dalam mengelola WTP tersebut, Water Board memungut regional tax dari masyarakat. Air bersih hasil pengolahan WTP memiliki standard kualitas siap minum.

Water Company selanjutnya mendistribusikan air bersih hasil pengolahan di WTP ke rumah tangga, perkantoran, industry, dll. Water Company harus memastikan bahwa air bersih pasca pengolahan WTP ketika distribusikan kepada konsumen melalui jaringan perpipaan masih tetap memiliki standard kualitas siap minum (air untuk keperluan sehari-hari misalnya untuk mandi dan mencuci bisa diminum). Sebagai contoh air yang dialirkan di wastafel bisa langsung diminum tanpa perlu direbus terlebih dahulu, hal itulah yang membuat orang Belanda biasanya minum langsung dari wastafel (yang bagi orang Indonesia terasa agak janggal).  

Hal yang sangat istimewa adalah jaringan perpipaan untuk pendistribusian air bersih di Belanda sangat bisa diandalkan. Bahkan seorang pegawai Gementee Rotterdam mengklaim bahwa jaringan perpipaan air bersih meng-cover 100% wilayah/konsumen di Rotterdam. Hal itulah yang menyebabkan Pemerintah membatasi secara ketat ekstraksi air bawah tanah. Pembatasan ekstraksi air bawah tanah secara ketat juga untuk menghindari penurunan muka air tanah. Sebagai informasi, penurunan air tanah adalah hal yang sangat dihindari oleh Pemerintah Belanda karena sebagian wilayahnya sudah berada di bawah muka laut dan terancam terkena banjir. Bahkan untuk menjaga kuantitas air bawah tanah, Pemerintah menggunakan teknologi untuk meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah misalnya water box.

Sebagai kesimpulan, tulisan ini sebenarnya ingin menyampaikan bahwa tata kelola air di Belanda pada dasarnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari Pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Municipal, Water Board), kecuali Water Company yang merupakan satu-satunya organisasi non-pemerintah yang diberikan tanggung jawab utama dalam tahapan tata kelola air (drinking water supply). Namun demikian sejatinya water company ini tidak sepenuhnya dimiliki swasta, karena pemerintah memiliki saham mayoritas pada perusahaan tersebut (semacam BUMN/BUMD).

Walaupun demikian, kondisi di Belanda sudah pasti tidak bisa dibandingkan sepenuhnya dengan Indonesia karena Pemerintah Belanda memiliki kekuatan finansial yang memadai dan bisa membangun sendiri semua infrastruktur, berbeda dengan Pemerintah Pusat/Daerah di Indonesia yang memiliki kendala finansial sehingga seringkali meminta bantuan swasta dalam pembangunan infrastrukturnya. Namun demikian hal yang perlu diperhatikan dan perlu ditekankan kembali adalah bahwa tanggung jawab utama tetap di tangan Pemerintah. Apabila Pemerintah meminta bantuan swasta (khususnya dalam hal pendanaan) maka supervisi Pemerintah adalah mutlak.

Friday, 10 August 2018

BELAJAR DARI BELANDA (01) : PENGENDALIAN BANJIR DI BELANDA


A. BELANDA MERUPAKAN NEGARA YANG RAWAN BANJIR
Belanda merupakan salah satu negara yang sangat concern pada upaya pengendalian banjir. Hal tersebut dilatarbelakangi kondisi geografi dan topografinya yang rawan banjir. Dari sisi geografi, Belanda berada di daerah delta dan menjadi muara dari tiga sungai besar lintas-negara yaitu sungai Rhine/Rijn (hulunya di Swiss), sungai Meuse/Maas (hulunya di Prancis) dan sungai Scheldt/Schelde. Adapun dari sisi topografi, ± 26% wilayah negara Belanda berada di bawah permukaan laut dan dihuni oleh sekitar ± 21% total penduduk Belanda. Namun demikian, wilayah yang berada di bawah permukaan laut tersebut menjadi lokasi aktivitas ekonomi penting baik dalam skala domestik, regional, maupun global. Bahkan sebuah data menyebutkan bahwa 75% dari GNP Belanda dihasilkan dari wilayah-wilayah yang berada di bawah permukaan laut tersebut.

Kondisi geografis dan topografis Belanda yang rawan banjir tersebut diperparah dengan adanya perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca semakin tidak menentu dan intensitas hujan menjadi tidak normal. Curah hujan menjadi lebih besar daripada biasanya dan berdampak pada meluapnya sungai-sungai di Belanda, padahal sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Ancaman terhadap banjir tersebut membuat Belanda selanjutnya menjadi negara yang sangat aktif mempersiapkan diri menghadapi perubahan iklim karena dampaknya sangat terasa.

Merujuk pada catatan sejarah, Belanda telah berkali-kali mengalami kejadian banjir baik dalam skala besar hingga ringan. Salah satu banjir terbesar terjadi pada tahun 1212 dimana terdapat hampir 50.000 orang tewas dalam banjir Noord Holland. Selanjutnya pada tahun 1219, sekitar 36.000 orang meninggal oleh banjir St. Marcellus. Pada tahun 1287, lebih dari 60.000 orang tewas akibat banjir St. Lucia (hampir 10% dari seluruh penduduk pada saat itu). Sepanjang abad 12 hingga 19 juga terdapat berbagai kejadian banjir di Belanda. Pada tahun 1900-an ditandai banjir besar pada tahun 1916 di sekitar Zuiderzee yaitu di wilayah barat-utara Belanda yang berbatasan dengan laut lepas. Pada tahun 1953 dan 1955, terjadi North Sea flood yang membuat beberapa tanggul di selatan-barat Belanda runtuh, dengan lebih dari 1.800 orang tenggelam dalam banjir. Pada tahun 1993 dan 1995, sungai-sungai di Delta Rhine mengalami banjir tahunan disebabkan luapan air sungai-sungai. Pada saat banjir tahunan tahun 1995, terdapat 250.000 orang yang harus diungsikan.

B. UPAYA PENGENDALIAN BANJIR DI BELANDA
Upaya pengendalian banjir di Belanda dapat dibagi ke dalam beberapa timeline :
1) masa awal settlement,
2) awal 1900-an yang fokus pada pendekatan struktural,
3) pendekatan Room for The River Program, dan
4) era modern yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan teknologi oleh Pemerintah Kota dalam rangka mengatasi banjir perkotaan.   

B.1 Pengendalian banjir pada masa awal settlement
Mengacu pada sejarah, pengendalian banjir di Belanda sangat terkait erat dengan respon mereka atas peristiwa banjir yang terjadi pada masa itu. Pada abad pertama, ketika banjir kerap kali melanda Belanda, penduduk pada masa itu merespon dengan membangun bukit buatan (disebut terps) agar daerahnya lebih tinggi dari sekitarnya. Selanjutnya mereka membangun desa-desa dan kota-kota mereka di atas terps tersebut. Diantara terps tersebut kemudian dibangun semacam penghubung yang juga berfungsi sebagai tanggul penahan air (dianggap sebagai cikal bakal konsep tanggul pada era modern). Ketika banjir datang, rumah penduduk relatif lebih aman karena berada di atas terps.

Pada abad ke-13, Belanda mulai membangun tanggul dan menggunakan kincir angin untuk memompa air keluar dari daerah-daerah yang berada di bawah permukaan laut. Kincir angin tersebut mengalirkan air ke danau atau saluran di luar area yang telah dibatasi dengan tanggul. Area yang telah dibatasi tanggul dan airnya dipompa keluar ini selanjutnya disebut polder. Adapun polder secara sederhana adalah saluran dataran rendah yang tertutup oleh tanggul dan membentuk entitas hidrologi buatan (terdapat saluran yang mengalirkan air ke luar area tersebut) yang tidak memiliki hubungan dengan air luar selain melalui perangkat yang dioperasikan secara manual. Terkadang ada yang menyamakan polder dengan reklamasi.

Minimal terdapat tiga jenis polder di Belanda (mengacu pada asal terjadinya) :
1. Polder berupa tanah reklamasi yang berasal dari pengeringan danau atau laut (suatu daerah ditanggul dan kemudian air danau atau air laut dibuang ke luar daerah tersebut hingga daerah tersebut menjadi kering). Contohnya pada Ijsselmeer Polders.
2. Polder berupa dataran rawan banjir (flood plain) yang selanjutnya dipagari dengan tanggul agar terpisah dari laut atau sungai. Contohnya pada daerah di sekitar Haarlemmermeer.
3. Polder yang berasal dari rawa (tanah bergambut) yang dipisahkan dari air sekitarnya dan dipagari/dilindungi dengan tanggul. Air yang ada pada daerah gambut tersebut kemudian diekstraksi, dan selanjutnya daerah tersebut dikeringkan dan ditimbun atau diurug hingga menjadi dataran yang siap bangun.

B.2 Pengendalian banjir menggunakan pendekatan struktural
Upaya penanganan banjir pada masa lalu sangat didominasi oleh pendekatan struktural. Pemerintah Belanda membangun tanggul di sepanjang pinggir sungai dan pinggir laut agar air tidak masuk ke daerah permukiman. Di kemudian hari, terdapat dua megastruktur yang telah dibuat oleh Pemerintah Belanda dan sangat terkenal di dunia yaitu tanggul multifungsi Afsluitdijk dan tanggul Maeslantkering.

Zuiderzee Project & Afsluitdijk
Proyek ini dilatarbelakangi banyaknya banjir yang terjadi di Belanda khususnya pada lokasi di teluk Ijssel yang tersambung dengan Zuiderzee (teluk dangkal di Laut Utara), sehingga pada awal 1900-an terdapat wacana untuk membangun bendungan raksasa yang akan memisahkan Ijssel dari Zuiderzee (di kemudian hari bendungan ini dinamakan Afsluitdijk). Namun demikian wacana ini banyak mendapatkan tentangan karena kekhawatiran bahwa proyek tersebut akan membuat kenaikan muka air yang lebih tinggi di tempat lain. Nelayan di sepanjang Zuiderzee juga ikut menentang keras karena khawatir bahwa mereka akan kehilangan mata pencaharian akibat penutupan Ijssel. Proyek ini tidak diimplementasikan karena Pemerintah menganggap nilai proyek yang terlalu besar dianggap tidak sebanding dengan hasil yang didapat.

Namun demikian setelah terjadi banjir besar pada tahun 1916 di sekitar Zuiderzee dan juga akibat kekurangan pangan, terdapat perubahan pandangan dari seluruh elemen di Belanda, baik Pemerintah maupun masyarakat. Proyek pembangunan bendungan raksasa di Ijssel mendapatkan persetujuan politik dari Parlemen. Bendungan raksasa yang dikenal sebagai Afsluitdijk (bagian dari proyek Zuiderzeewerken) ini menjadi megastruktur pertama yang dibangun oleh Pemerintah Belanda untuk menanggulangi banjir di wilayah barat-selatan Belanda.

Secara keseluruhan, Zuiderzeewerken (Zuiderzee Project) yang dilaksanakan pada tahun 1918-1967 telah menciptakan empat polder sebesar ± 2,318 km2 (referensi lain menyebutkan ± 2.500 km2) yang merupakan area reklamasi untuk melindungi penduduk di sepanjang Ijssel. Adapun khusus bendungan/tanggul Afsluitdijk (yang merupakan bagian dari Zuiderzee Project) sepanjang ± 32 km dibangun pada tahun 1927-1932. Afsluitdijk memisahkan Zuiderzee dengan Ijssel dan menciptakan IJsselmeer (danau IJssel). Zuiderzee yang menelan biaya ± USD 710 juta (literatur lain menyebutkan ± USD 1,5 miliar) telah mengubah sebuah teluk air asin menjadi danau air tawar dan kemudian disebut danau Ijssel (Ijsselmeer).

Bahan material utama untuk tanggul Afsluitdijk adalah pasir, tanah liat, batu dan beberapa willow. Saat ini, Afsluitdijk digunakan dengan tujuan multifungsi tidak hanya sebagai tanggul penahan air laut. Afsluitdijk juga digunakan sebagai jalan tol, bahkan di kemudian hari juga menjadi lokasi penggunaan energi biru yang sumber energinya berasal dari angin, gelombang laut, dan campuran air garam (Laut Utara) dan air tawar (IJSselmmeeir Lake).

Delta Works & Maeslantkering
Jika pada tahun 1916 banjir terjadi di wilayah barat-utara Belanda yang berbatasan dengan laut lepas, maka pada tahun 1953 dan 1955 terjadi banjir di sisi barat-selatan Belanda. Berbeda dengan sisi barat-utara Belanda yang sudah aman dari ancaman laut karena sudah dibangun Afsluitdijk, sisi barat-selatan masih terbuka dari ancaman laut lepas. Pasca North Sea flood yang terjadi pada tahun 1953 dan 1955, Pemerintah Belanda merespon bencana ini dengan menjalankan proyek Delta Works (1958-1997) yaitu serangkaian proyek konstruksi untuk melindungi area di sekitar delta Rhine-Meuse-Scheldt dari ancaman laut lepas. Delta Works meliputi peningkatan 3.000 km outer sea dijk; peningkatan 10.000 km inner dijk, pembangunan kanal, pembangunan tanggul sungai, serta yang utama adalah menutup muara laut di provinsi Zeeland dan salah satu yang terbesar adalah tanggul Maeslantkering.

Pada dasarnya, tujuan utama dari Delta Works ini adalah untuk memperpendek garis pantai Belanda, sehingga mengurangi jumlah tanggul yang harus dibangun. Mulut sungai-sungai besar ditutup dan garis pantai sekitar 500 km dapat diperpendek. Khusus pembangunan tanggul raksasa Maeslantkering juga ditujukan untuk meningkatkan keamanan pelabuhan Rotterdam, kota-kota sekitarnya, dan daerah pertanian dari ancaman banjir.

B.3 Pengendalian banjir menggunakan pendekatan Room for The River Program
Walaupun pembangunan megastruktur Afsluitdijk dan Maeslantkering telah membuat Belanda aman dari ancaman laut lepas, namun bukan berarti Belanda telah aman sepenuhnya dari banjir. Pada tahun 1993 dan 1995, sungai-sungai di Delta Rhine masih mengalami banjir tahunan. Banjir kali ini bukan disebabkan laut lepas, melainkan disebabkan luapan air sungai-sungai (yang letaknya di tengah-tengah Belanda). Dengan kata lain, sungai-sungai di Belanda tidak mampu menampung kapasitas air yang harus diangkut dari hulu sampai hilir.

Banjir yang ekstrim pada tahun 1995 memicu perdebatan tentang cara Belanda mengelola sungai. Pemerintah Belanda menyadari bahwa pendekatan mereka selama ini yaitu meningkatkan tanggul di sepanjang sungai sudah tidak lagi memadai. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ketinggan tanggul setinggi 1,5 meter akan meningkatkan potensi kerusakan material/struktur sebesar 60%. Hal inilah yang menjadi titik tolak perubahan kebijakan pengendalian banjir di Belanda. Daripada menaikkan ketinggian tanggul, lebih baik memberikan ruang ekstra untuk sungai agar mampu menampung debit air terutama saat hujan. Konsep ini selanjutnya dikenal sebagai Room for The River Program.

Room for The River Program dikembangkan dengan konsep dasar bahwa tujuan utama program ini tidak hanya untuk mencegah banjir tetapi juga sekaligus untuk meningkatkan 'kualitas ruang' perkotaan. Room for The River Program tidak berarti meninggalkan pendekatan struktural, melainkan mengkombinasikan pendekatan struktural dengan penataan ruang. Room for The River Program sangat memperhatikan spatial quality issues dan tidak ada solusi tunggal untuk semua daerah, melainkan tailored-fit-solution. Konsep Room for The River Program sepintas terlihat sangat sederhana, namun demikian harus dipahami bahwa konsep pengendalian banjir memang sederhana yaitu agar air hujan bisa meresap ke dalam tanah, menggenang di penampungan air (misalnya waduk), dan mengalir dengan baik di sungai atau saluran.    

Dalam Room for The River Program, terdapat 9 model yang dapat diterapkan untuk memberikan ruang ekstra untuk sungai (peningkatan kapasitas sungai), misalnya memperluas daerah rawan banjir (floodplain excavation) di sekitar sungai, depoldering agar daerah untuk air menjadi lebih luas, memperlebar sungai dan memundurkan tanggul (relocation of dykes), memperdalam sungai (riverbed excavation), membangun storage agar bisa menampung air lebih banyak pada saat hujan dan mengurangi beban sungai, membangun channel/aliran sungai yang baru, dll. Solusi di setiap lokasi dapat berbeda-beda atau bahkan merupakan kombinasi solusi yang diterapkan disesuaikan dengan karakteristik pada daerah tersebut. Detail masing-masing konsep selanjutnya diimplementasikan dengan teknologi yang tinggi, misalnya menyangkut desain dan material waduk. 

Room for The River Program ini dimulai dari tahun 2007 dan selesai pada tahun 2015/2016 dengan estimasi biaya total 2,2 miliar euro. Room for The River Program dilaksanakan pada 39 titik proyek di sepanjang sungai Sheine, Meuse, dan Scheld. Salah satu hal faktor kunci kesuksesan adalah kolaborasi yang baik antara Rijkswaterstaad (Pemerintah Pusat), Water Boards, Pemerintah Provinsi dan Municipal (Pemerintah Kota). Ministrial of Instrastructure and Environment bertanggung jawab terhadap proyek secara keseluruhan, sementara Municipal bertanggung jawab terhadap desain, implementasi, dan feed back untuk Pemerintah Pusat.

Faktor kunci lain dari kesuksesan Room for The River Program adalah dukungan seluruh pihak khususnya masyarakat, termasuk pihak yang terdampak dari proyek ini. Program ini berdampak pada relokasi 150 rumah (sumber lain menyebutkan 125 tempat tinggal) dan 40 bisnis (sumber lain menyebutkan 50 bisnis) untuk digunakan sebagai ruang ekstra untuk sungai. Pemilik properti yang yang terdampak proyek diberi kesempatan untuk menjual dengan kompensasi penuh. Semua pihak memahami bahwa proyek ini sangat penting untuk menanggulangi banjir, sehingga mau memberikan dukungan kepada Pemerintah. Konsep Room for The River Program ini selanjutnya banyak mendapatkan penghargaan dari dunia internasional.

B.4 Upaya mengurangi tekanan pada sungai
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengendalian banjir di Belanda sangat mengandalkan pada kemampuan dan kapasitas tanggul dan sungai. Terlebih sejak diluncurkannya Room for The River Program, sungai semakin menjadi ujung tombak utama dalam pengendalian banjir di perkotaan. Di kemudian hari terdapat berbagai ide baru untuk mengurangi tekanan pada sungai. Di samping mengandalkan drainase dan saluran perkotaan, terdapat beberapa konsep kreatif yang dilakukan oleh Municipal untuk mengurangi tekanan pada sungai. Municipal Rotterdam misalnya membangun water plaza, green roofs, dan multifunctional carparks.

Water Plaza
Water plaza ini bersifat multifungsi. Apabila tidak ada hujan, plaza beroperasi seperti public square lainnya, yaitu tempat bagi publik untuk bertemu dan berkumpul dilengkapi tempat duduk dan ruang untuk pertunjukan publik, olahraga. Plaza ditempatkan di tempat-tempat strategis di sekitar kota dengan bentuk yang berbeda-beda. Plaza dirancang bertingkat dan dilengkapi saluran, sehingga pada saat curah hujan tinggi maka air hujan dapat diarahkan ke lokasi tersebut untuk ditampung sementara. Keberadaan Water Plaza pada musim penghujan sangat ampuh mengurangi volume air agar tidak langsung mengalir/melimpas ke sungai.
  
Green Roofs
Pada saat hujan deras, green roofs menyimpan air untuk sementara waktu, menyerap curah hujan, mengurangi kecepatan air hujan run-off. Dampaknya, tekanan pada saat hujan deras pada sistem drainase dan sungai berkurang. Rotterdam mempromosikan green roofs dalam berbagai cara, termasuk memberikan insentif kepada pemilik bangunan yang menerapkan konsep ini.

Multifunctional Car Parks
Penyimpanan air lain di Rotterdam yang sangat terkenal adalah multifunctional car parks, misalnya yang dekat Museumpark yang merupakan tempat parkir dilengkapi fasilitas penyimpanan air bawah tanah (disebut-sebut menjadi fasilitas penyimpanan air terbesar di Belanda). Penyimpanan air bawah tanah di lokasi ini dibangun untuk pembuangan air, dengan kapasitas tambahan 10.000 m3. Setiap kali hujan lebat, dalam waktu tiga puluh menit, 10 juta liter air hujan akan mengalir ke penyimpanan air. Ketika hujan berakhir, air hujan akan dipompa ke dalam selokan dan dibuang dengan cara biasa ke sungai.

C. KUNCI SUKSES PENGENDALIAN BANJIR DI BELANDA
Terdapat berbagai faktor pendukung keberhasilan pengendalian banjir di Belanda baik disebabkan faktor alam maupun faktor artificial/buatan. Detail atas faktor-faktor yang disebutkan di bawah ini mungkin akan bersifat subjektif dan agak makro.

Faktor alamiah yang utama adalah curah hujan yang rendah. Kalau tidak salah, dua hari hujan paling lebat tanpa henti di Jakarta sama dengan curah hujan setahun di Rotterdam. Walaupun pernyataan ini belum dicek keakuratannya, namun sudah cukup menggambarkan timpangnya curah hujan di Jakarta dan Rotterdam. Ringkasnya, curah hujan yang rendah di Belanda khususnya Rotterdam tentunya menyebabkan kinerja sungai maupun drainase perkotaan tidak terlalu berat.

Jumlah penduduk Belanda juga tidak terlalu besar dan masih manage-able (dalam konteks pengelolaan kota). Sebagai perbandingan, pada tahun 2014, Rotterdam dengan luas ± 325,79 km2 dihuni hanya ± 1 juta jiwa, sedangkan Jakarta dengan luas ± 650 km2 dihuni oleh sekitar ± 9,7 juta jiwa (belum termasuk penduduk Bodetabek). Karena jumlah penduduk di Rotterdam tidak terlalu besar, sehingga kompetisi memperebutkan ruang-ruang perkotaan juga tidak terlalu berat. Sangat berbeda dengan perebutan ruang-ruang perkotaan di Jakarta yang memaksa masyarakat yang termarginalkan terpaksa tinggal di daerah resapan air ataupun di bantaran sungai.

Dari sisi administrasi pemerintahan, di Belanda terdapat kejelasan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Municipal, serta lembaga fungsional seperti Water Board. Pembagian kewenangan ini didukung dengan pendanaan yang baik, misalnya tax/retribusi untuk pengendalian banjir benar-benar digunakan untuk program-program pengendalian banjir. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem pengelolaan keuangan di Indonesia yang bersifat melting pot dimana semua penerimaan (termasuk penerimaan dari sektor air) masuk dalam satu pot besar bernama APBN/APBD dan baru kemudian dibagi-bagi ke masing-masing sektor (termasuk di dalamnya pengendalian banjir).

Faktor pendukung keberhasilan pengendalian banjir lainnya adalah ketersediaan data dan teknologi. Konsep pengendalian banjir di Belanda pada dasarnya sangat sederhana dan mendasar, yaitu mengandalkan tanggul, sungai, dan drainase perkotaan yang memadai. Namun demikian, konsep sederhana tersebut diimplementasikan dengan didukung ketersediaan data dan teknologi yang memadai, sehingga menghasilkan dampak yang lebih baik. Kuncinya adalah konsep pengendalian banjir yang sederhana namun dibalut dengan teknologi tinggi.  

Pada saat Pemerintah akan melaksanakan relokasi untuk kepentingan pengendalian banjir (misalnya relokasi warga pinggir sungai), pelaksanaannya lebih mudah karena tingginya dukungan masyarakat. Adapun tingginya dukungan masyarakat disebabkan pemahaman bahwa program tersebut memang bermanfaat untuk mereka. Selain itu, masyarakat yang terkena dampak dan akan direlokasi juga bersedia menerima program tersebut karena mendapatkan kompensasi dalam jumlah cukup dan manusiawi. Pemerintah Belanda sangat menekankan proses negosiasi dan diskusi dalam proses relokasi. Hal yang memudahkan lainnya adalah jumlah penduduk yang akan direlokasi biasanya tidak banyak karena ruang perkotaan lain sebagai alternatif mereka untuk pindah juga masih banyak.