Saturday, 28 May 2022

Nama Jalan

NAMA JALAN
 
Kevin Lynch dalam bukunya Image of The City, mengungkapkan bahwa ada 5 elemen pembentuk image kota secara fisik yaitu: path (jalur), edges (tepian), district (kawasan), nodes (simpul), dan landmark (penanda). Seiring berjalannya waktu, image dan identitas sebuah kota tidak hanya dilihat dari aspek fisik semata, tapi juga non-fisik.
 
Begitu pula dengan salah satu elemen pembentuk image kota versi Kevin Lynch di atas yaitu “Path (jalur)” juga tidak hanya dapat dilihat dari aspek fisik, namun juga non-fisik. Artinya keberadaan jalan (jalur/path) tidak sekedar berfungsi mendukung kegiatan ekonomi dan menghubungkan satu lokasi ke lokasi lainnya. Dilihat dari aspek non-fisik, elemen berupa ‘nama jalan’ yang dilekatkan pada fisik jalan tersebut ternyata tak hanya sekedar menunjukkan identitas lokasi semata, namun juga dapat berperan penting dalam mendukung fungsi sosial, budaya, dan sejarah (tidak hanya mendukung fungsi ekonomi saja).    
 
Kevin Lynch dalam Good City Form, mengungkapkan bahwa “Identity is the extent to which a person can recognize or recall a place as being distinct from other places as having vivid, or unique, or at least a particular, character of its own”. Dengan demikian, pemberian nama jalan juga dapat bertujuan agar masyarakat mampu mengenali atau mengingat suatu tempat yang memiliki karakter/keunikan khusus serta berbeda dengan tempat yang lain.
 
Ditjen BBM Kementerian PUPR menyatakan bahwa ketika sebuah jalan diberikan nama jalan yang memiliki makna sejarah (nama pahlawan nasional, kerajaan, peristiwa sejarah, dll), maka hal tersebut dapat berperan sebagai museum peradaban yang dapat dikenang dan dihargai secara langsung oleh lintas generasi ketika sedang berjalan kaki maupun berkendara melewati jalan tersebut.
 
Ditjen BBM Kementerian PUPR lebih lanjut menegaskan bahwa nama jalan dari sudut pandang sejarah dapat bermanfaat dalam menyebarkan wawasan sejarah secara luas (transfer of knowledge) secara berkesinambungan bagi masyarakat Indonesia lintas generasi dan lintas budaya. Nama jalan yang memiliki unsur sejarah dapat menjadi dokumentasi sejarah yang ditempatkan dalam ruang publik. Dengan demikian, fungsi jalan naik kelas menjadi ruang publik yang memiliki makna lebih besar dari semula.
 
Apabila diperhatikan, nama jalan dapat menjadi jembatan yang dapat meningkatkan rasa keterhubungan dan keterikatan antara masa lalu dengan masa kini, dapat meningkatkan kualitas hubungan bilateral antar negara/daerah, dapat meningkatkan rasa keterikatan dengan ketokohan seseorang yang dijadikan sebagai nama jalan, serta manfaat lainnya.
 
Pada skala internasional, Pemerintah Indonesia meresmikan nama jalan tol layang Jakarta-Cikampek menjadi Jalan Layang MBZ (Mohamed Bin Yazed) pada tahun 2021, sedangkan Pemerintah UEA meresmikan nama jalan Jokowi di Abu Dhabi pada tahun 2020. Pemberian nama jalan secara resiprositas ini menegaskan semakin eratnya hubungan antara Indonesia dan UEA.
 
Dalam skala antar provinsi di Indonesia, Gubernur Jawa Barat 2017-2022 Ridwan Kamil memberi nama jalan Hayam Wuruk dan Majapahit di Jawa Barat dan Gubernur DIY memberi nama Jalan Padjajaran. Nama jalan tersebut memberi pesan perdamaian serta mematahkan pertentangan psikologis yang selama ini dialami oleh masyarakat Sunda dan Jawa (mematahkan mitos Perang Bubat tahun 1357 yang dapat mengganggu hubungan emosional suku Jawa dan Sunda).
 
Pada skala lokal, Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2021 mengganti nama Jalan Sungai Kendal menjadi nama Jalan Sekda Saefullah dengan pertimbangan menghargai tokoh lokal yang berjasa membangun daerah tersebut. Pemberian nama ini juga bermanfaat untuk meningkatkan rasa keterikatan antara masyarakat dengan keteladanan tokoh lokal di daerah tersebut.
 
Nama jalan yang berasal dari nama pahlawan/tokoh nasional maupun tokoh lokal merupakan wujud apresiasi dan penghargaan sekaligus upaya memperkenalkan keteladanan tokoh tersebut kepada masyarakat luas. Walaupun demikian, nama jalan tidak terbatas hanya berupa nama pahlawan/tokoh saja, namun juga dapat berupa peristiwa sejarah ataupun nama lain yang memilki makna khusus.
 
Gubernur Jakarta 2017-2022 (Anies Baswedan) pernah mengatakan bahwa pemberian nama jalan juga dapat menjadi salah satu upaya “…bagaimana membuat Jakarta menjadi kota yang mencerminkan peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh penting yang ada di dalamnya. Sebuah kota bukan hanya berisi bangunan, sebuah kota itu berisi berisi deretan peristiwa bersejarah yang ada di kota ini dan kota menjadi seperti sekarang itu karena akumulasi pengalaman warganya dan pengalaman warga ini melewati lintas waktu dari mulai pengalaman dijajah, pengalaman membebaskan penjajahan, pengalaman mempertahankan kemerdekaan, sampai pengalaman untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.”
 
Mengutip kutipan di website PU, "Shakespeare pernah berkata, “What's in a name. A rose by any other name would smell as sweet” (apalah arti sebuah nama, sebuah mawar apabila diberi nama lain tetaplah harum)." Namun demikian ternyata "nama jalan" bagi bangsa Indonesia memiliki makna khusus. Nama jalan sejatinya dapat mempersatukan elemen masyarakat dan dapat pula memberikan edukasi sejarah bagi masyarakat, karena nama jalan dapat menjadi museum peradaban yang ditempatkan di ruang publik.

Referensi:
Kevin Lynch,
Kementerian PUPR https://binamarga.pu.go.id/index.php/article/mengingat-nama-pahlawan-melalui-nama-jalan
 


Monday, 7 January 2019

Korea 04 (1961-1980)


PERIODE 1961 - 1980
Pada tahun 1960-an, Korea Selatan (Korsel) termasuk sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Gross National Income (GNI) per kapita Korsel saat itu di bawah US $100. Adapun perekonomiannya ketika itu berbasis pertanian. Lebih dari 60% pekerja bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sedangkan pekerja di sektor pertambangan dan manufaktur hanya sekitar 10%.

Pada tahun 1961, rezim militer di bawah pimpinan Park Chung Hee mengambil alih kekuasaan. Park Chung Hee menjalankan roda pemerintahan secara otokratis dan represif. Namun demikian komitmennya terhadap pembangunan ekonomi Korsel di kemudian hari diakui dunia dan telah menghasilkan "Miracle of the Han River". Di bidang ekonomi, Park Chung Hee mengandalkan para ekonom dan perencana. Karena sangat memprioritaskan pertumbuhan ekonomi negara, sehingga dia membentuk Economic Planning Board (EPB).

Beberapa poin penting selama 1961-1980:

  • Perekonomian Korsel saat itu sangat tergantung pada bantuan AS. Namun pengurangan bantuan AS pada tahun 1960-an membuat kebijakan substitusi impor yang diterapkan Pemerintah Korsel menjadi tidak efektif. Selanjutnya, Korsel beralih ke strategi lain yaitu export-oriented strategy (pembangunan yang berorientasi pada ekspor).
  • Program industrialisasi (rapid industrialization based on exports) diluncurkan dan dicantumkan dalam Five-Year Economic Development Plans pertama (1962-1966), kedua (1967-1971), ketiga (1972-1976), dan keempat (1977-1981).
  • Program pembangunan (economic development plan) ini membutuhkan modal yang sangat besar, sehingga EPB mencari dana dari negara lain. Karena AS tidak mendukung rencana dan strategi ekonomi Korsel, pemerintah kemudian mencari modal dari Jerman Barat. Pada tahun 1964, Jerman Barat memberikan perpanjangan bantuan pemerintah dan kredit komersial. 
  • Normalisasi hubungan dengan Jepang pada tahun 1965 juga membuat dana Jepang mengalir ke Korsel. Diplomasi Korsel membuat Jepang bersedia memberikan pinjaman dan kompensasi atas penjajahan Jepang atas Korsel. 
  • Ketersediaan dana dari pinjaman/bantuan luar negeri, ditambah meningkatnya ekspor membuat peringkat kredit Seoul naik. Hal ini berdampak pada meningkatnya kemampuan Korsel mendapatkan lebih banyak pinjaman di pasar internasional.
  • Produksi meningkat berdampak pada meningkatnya ekspor Korsel. Peningkatan produksi dan ekspor ini (selain dipengaruhi meningkatnya pinjaman untuk produksi) juga sangat dipengaruhi adanya tenaga kerja terdidik dan pasar internasional yang menguntungkan.


First Five-Year Economic Development Plan (1962-1966):

  • Pemerintah memprioritaskan pembangunan ekonomi melalui export-driven industrialization policy (fokus pada light industry seperti tekstil, pakaian, dan alas kaki). Mereka sangat mengandalkan perencanaan negara dan mengoptimalkan keterlibatan swasta.
  • Outward-looking strategy pada awal tahun 1960-an menghasilkan industrialisasi yang masif. Strategi ini cocok diterapkan pada saat itu karena endowment sumber daya alam Korea Selatan tidak bagus, tingkat tabungan dalam negeri rendah, dan pasar domestik yang kecil.
  • Pemerintah mendorong ekspor manufaktur padat karya (pada sektor ini Korsel mengembangkan keunggulan kompetitif). Adapun keunggulan komparatif Korsel saat itu adalah  memiliki upah rendah.
  • Pemerintah sangat mendorong keterlibatan pengusaha swasta dalam pembangunan. Pihak swasta diberi insentif yang kuat untuk ekspor, termasuk perlakuan istimewa dalam memperoleh pinjaman bank berbunga rendah, hak khusus impor, izin untuk meminjam dari sumber asing, dan keringanan pajak. Sebagai catatan, beberapa swasta yang mendapatkan keuntungan ini kemudian menjadi chaebol (chaebol adalah konglomerat yang diuntungkan dari kebijakan saat itu dan dekat dengan pemerintah).
  • Ekspor juga didorong melalui subsidi langsung. Pajak dan pembatasan impor barang setengah jadi bahan ekspor dihapus. Kebijakan ini berdampak positif dalam waktu singkat.
  • Pada tahun 1961, nilai tukar mata uang didevaluasi. Adapun pada tahun 1964, kuota impor untuk bahan baku berkurang. Selanjutnya pemerintah menaikkan suku bunga guna meningkatkan tabungan masyarakat/swasta. Pemerintah dan swasta juga meminjam dana dari luar negeri.


Second Five-Year Economic Development Plan (1967 to 1971)

  • Pada akhir tahun 1960-an, ekonomi meningkat dan berdampak pada kenaikan upah. Kenaikan upah ditambah dengan meningkatnya permintaan untuk barang setengah jadi (mesin, dll), membuat investasi-investasi besar bergeser ke industri padat modal seperti baja, petrokimia, permesinan, motor, pembuatan kapal, dan elektronik.
  • Hal yang unik pada tahun 1970 adalah bahwa pemerintah mempromosikan Korean community movements. Padahal saat itu Korea hampir bangkrut, tetapi pemerintah masih tetap memberikan bantuan kepada rakyatnya.
  • Pada periode ini, Korea memulai pertumbuhannya yang luar biasa dengan menjadi negara yang terdepan dalam hal pengekspor tekstil dan wig.
  • Pada periode ini, Korea berencana untuk mengembangkan struktur ekonomi nasional dengan berpusat pada sektor manufaktur. Mereka mempromosikan industri baja (walaupun saat itu banyak negara lain yang ragu dengan kebijakan Korea Selatan ini).
  • Pada akhirnya, walaupun banyak keraguan dari negara lain, namun ternyata mereka berhasil membuat industri mereka berkembang pesat seperti industri mobil, mesin, elektronik, dll.


Third Five-Year Economic Development Plan (1972-1976)

  • Pada rencana pembangunan ekonomi ketiga (1972-1976), pemerintah Korsel membuat langkah berani dengan memperluas industri berat dan industri kimia. Pemerintah membuat Heavy and Chemical Industry Drive Committee dan lembaga ini mempresentasikan rencana mereka pada tahun 1973. Berdasarkan hasil evaluasinya, mereka memilih enam industri strategis yaitu baja, logam nonferrous, permesinan, pembuatan kapal, elektronik, dan teknik kimia.
  • Pemerintah memandang bahwa sektor-sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi industri modern, dan mengambil risiko dengan menyediakan investasi modal besar di industri-industri ini. Pemerintah benar-benar fokus mengembangkan industri ini.
  • Beberapa langkah utama dilaksanakan termasuk menyediakan kredit jangka panjang dengan suku bunga rendah dari National Investment Fund, memprioritaskan pembiayaan pemerintah untuk investasi infrastruktur, menghapuskan atau mengurangi kewajiban pajak, dan membebaskan pajak impor atas mesin dan bahan untuk industri baru atau industri yang sedang dikembangkan di Korea.
  • Pemerintah saat itu ternyata memberikan hambatan/barrier bagi negara lain yang ingin membangun industri baru di Korea ataupun industri yang dikhawatirkan menghambat industri lokal yang sedang berkembang di Korea (protective barriers untuk melindungi swasta lokal).
  • Pemerintah mendorong sekolah kejuruan dan pusat pelatihan untuk memasok tenaga terampil. Pemerintah juga menciptakan lembaga penelitian untuk melakukan kegiatan penelitian (R&D).
  • Seiring berjalannya waktu, kemampuan Korsel untuk memproduksi baja dan penyulingan minyak berkembang pesat.
  • Pada periode ini, pabrik pengolahan seng dan tembaga serta fasilitas pembuatan kapal modern dibangun. Mobil mulai diekspor ke beberapa negara lain. Hal ini menandai bahwa Korsel sudah mulai siap bersaing di pasar global.
  • Manufaktur Korsel berpindah ke baja, alat berat, kapal, dan petrokimia pada 1970-an, dan berpindah ke elektronik dan mobil pada 1980-an.
  • Peningkatan harga minyak dunia pada tahun 1973 sangat mengancam ekonomi Korsel, yang saat itu sangat bergantung pada minyak impor untuk produksi energi. Akan tetapi, pemasukan dari kontrak konstruksi di Timur Tengah membuat devisa negara terjaga sehingga dapat mencegah krisis neraca pembayaran. Negara ini tetap bisa melanjutkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada saat itu.


Fourth Five-Year Economic Development Plan 1978-1980

  • Strategi ekonomi yang berorientasi pada ekspor ternyata tidak hanya memiliki dampak positif, namun juga memiliki efek samping yang negatif. Meskipun pemerintah mampu mengelola efek negatif ini, namun situasinya mulai memburuk pada tahun 1978.
  • Ekspor membuat berkurangnya barang-barang konsumsi domestik. Hal ini diperparah dengan meningkatnya permintaan domestik yang disebabkan oleh kenaikan upah dan peningkatan standar hidup. Pada tahun 1978, Bank of Korea menginformasikan bahwa price consumer index naik 14,4%, namun sebagian besar pengamat saat itu setuju bahwa tingkat kenaikan aktual mendekati 30%. Artinya inflasi saat itu dianggap sangat mengkhawatirkan.
  • Tingginya tingkat inflasi berlanjut ke tahun 1979. Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Economic Planning Board pada bulan Agustus 1979, biaya hidup rata-rata rumah tangga telah naik 26,3 persen dari tahun sebelumnya. Meskipun upah juga telah meningkat pesat, namun dianggap tidak seimbang dengan inflasi.
  • Pembunuhan Presiden Park Chung Hee pada tahun 1979 memicu perubahan rezim. Pada tahun 1980-an, kepemimpinan yang baru mengubah kebijakan rezim sebelumnya. Hal yang utama yang dilakukan ada melakukan deregulasi perdagangan dan sektor finansial.

Wednesday, 5 September 2018

Korea 03 (1945-1960)


Pada tanggal 15 Agustus 1945, Korea memperoleh kemerdekaannya dari penjajah Jepang yang telah kalah perang dalam Perang Dunia II. PBB kemudian bermaksud membentuk pemerintahan baru yang diharapkan disepakati oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun pada kenyataannya, Uni Soviet menolak untuk bekerja sama dalam membentuk pemerintahan baru tersebut, sehingga Korea terbelah menjadi Korea Utara (berkiblat ke Uni Soviet) dan Korea Selatan (berkiblat ke Amerika Serikat).

Sejak 1945 hingga 1948, Korsel berada di bawah kendali Pemerintah Militer Amerika.

Pada tahun 1948, Korsel menyelenggarakan pemilihan demokratis pertamanya. Presiden pertama terpilih adalah Syngman Rhee dan dilantik pada tahun 1949. Sebagai presiden, Syngman Rhee menjadi diktator dan menjalankan kekuasaannya secara otoriter (dia terkenal tidak segan menyingkirkan/membunuh orang yang menentang programnya).

Di bidang perekonomian, Korea Selatan pada saat itu merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Perekonomiannya didominasi agriculture/pertanian. Adapun di bidang industri hanya ada light industry, karena heavy industry dan tenaga listrik ada di Korea Utara). Bahkan dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Korut mendapatkan 95% dari produksi kimia dasar, 99% pupuk kimia, 97% dari output baja, sisanya dimiliki Korsel.

Pemerintah Korsel selanjutnya melakukan reformasi agraria dan mendistribusikan tanah menjadi lebih egaliter. Di kemudian hari, reformasi agraria yang dilakukan pada awal 1950-an ditunjang dengan penyebaran pendidikan modern dan perluasan ekonomi menyebabkan hilangnya kelas Yangban yang dulu sangat diistimewakan. Pada saat yang bersamaan, muncul elit baru yang berasal dari rakyat jelata.

Pada masa perekonomian yang sangat buruk, pendidikan menjadi prioritas tertinggi negara (dedikasi dan investasi untuk pendidikan tersebut di kemudian hari menghasilkan tenaga kerja terlatih yang kemudian menjadi mesin penggerak perekonomian negara).

Di  bidang politik, Presiden Syngman Rhee selalu mendorong agar Korut dan Korsel disatukan dalam satu pemerintahan (saat itu terdapat semacam perang dingin antar kedua negara tersebut). Pada tahun 1953, Presiden Syngman Rhee melepaskan 25.000 tahanan antikomunis Korut (orang-orang ini dipulangkan ke Korut). Hal ini menimbulkan Korut murka hingga memutuskan menyerang Korsel pada 25 Juni 1950.

Korut saat itu yakin bahwa Amerika Serikat tidak akan membantu Korea Selatan. Pada Perang Korea 1950-1953 tersebut, sebagian besar infrastruktur yang dibangun selama pemerintahan Jepang hancur. Perang ini berhenti setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet ikut intervensi. Pasca Perang Korea, Korut tetap berada di bawah kekuasaan / perlindungan Uni Soviet dan Korsel di bawah perlindungan Amerika Serikat.

Pasca Perang Korea, Korea Selatan tetap menjadi salah satu negara termiskin di dunia selama lebih dari satu dekade. Pendapatan per kapita pada tahun 1950-1960 bahkan kurang dari USD 100 (termasuk dalam kategori negara-negara termiskin dunia). Korea Selatan selanjutnya sangat bergantung pada bantuan asing (lebih dari 90% dari anggaran berasal dari bantuan asing). Sebagai informasi tambahan, saat itu hanya sekitar 30% dari luas lahan Korsel yang bisa dibudidayakan.

Dari perspektif historis evolusi kebijakan, era Perang pasca-Korea dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase:
1) Fase Import Substitution / substitusi impor (1954-1960);
2) Fase Outward Orientation / orientasi luar (1961-1979);
3) Fase Balance and Stabilization (pasca-1980).

Kebijakan substitusi impor (1954-1960) masih belum menghasilkan kinerja pertumbuhan yang istimewa. Beberapa hal utama yang menonjol dalam kebijakan substitusi impor (1954-1960) adalah tarif tinggi untuk barang impor serta tingginya hambatan bagi para importir. Namun demikian, Pemerintah Korsel berhasil membangun kondisi yang kondusif untuk perluasan sektor substitusi impor misalnya produksi semen, kaca, pupuk kimia, kertas, serta industri ringan dan makanan.

Pada periode ini, Pemerintah juga tetap fokus pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia yang kelak bermanfaat sebagai dasar untuk pengembangan industri selanjutnya.

Pada pemilihan presiden tahun 1960, Pemerintah mengklaim bahwa Presiden Syngman Rhee memperoleh lebih dari 90% suara. Klaim ini memicu demonstrasi yang dipimpin mahasiswa guna menentang kecurangan pemilu dan menuntut Syngman Rhee mengundurkan diri. Tuntutan ini didukung oleh Majelis Nasional dan Pemerintah AS. Pada tahun itu juga Presiden Syngman Rhee mengundurkan diri.

Setelah pengunduran diri Presiden Syngman Rhee, Chang Myon terpilih sebagai presiden tetapi digulingkan pada tahun 1961 oleh kudeta militer yang dipimpin oleh Park Chung-hee.

Sebagai ringkasan, pada tahun 1953-1961, pemulihan ekonomi Korea Selatan sangat lambat walaupun menjadi negara penerima bantuan asing per kapita terbesar di dunia. Kurangnya perencanaan, misalokasi dana bantuan, korupsi, gejolak politik, dan ancaman perang dengan Korea Utara, semuanya membuat negara ini tidak menarik bagi investor domestik dan asing.

Namun demikian, dua reformasi besar yang dilaksanakan Presiden Syngman Rhee (1948-1961) membantu mempersiapkan jalan bagi industrialisasi besar-besaran pada masa berikutnya. Dua reformasi besar tersebut adalah reformasi pertanahan dan pengembangan pendidikan.

Korea 02 (1910-1945 Kolonialisme Jepang)


Penjajahan Jepang terhadap Korea ‘bermula’ ketika kedua negara menandatangani Japanese–Korea Treaty of Amity pada tanggal 27 Februari 1876. Perjanjian tersebut menandai terbukanya perdagangan Korea bagi Jepang. Korea dipaksa membuka tiga pelabuhan bagi perdagangan Jepang serta memberikan hak ekstrateritorial (hak khusus) kepada warga negara Jepang yang sedang berada di Korea. Perjanjian tersebut juga menjadi simbol bahwa Korea tidak lagi menjadi negara protektorat Cina.

Pada tahun 1910, Jepang secara resmi menjajah Korea melalui Japan-Korea Annexation Treaty. Korea mengklaim bahwa perjanjian itu tidak berlaku karena Kaisar Gojong tidak pernah memberikan segel kerajaan (segel kerajaan selama ini menjadi simbol keabsahan kerajaan/kekaisaran). Namun demikian Jepang tetap mengklaim bahwa perjanjian itu sah. Jepang secara de facto selanjutnya mengendalikan Korea.

Pada masa penjajahan, Jepang menguasai tenaga kerja dan tanah di Korea. Jepang memberlakukan pajak yang tinggi bagi warga Korea dan bahkan menyebabkan mereka kehilangan kepemilikan tanah di negaranya sendiri. Pada tahun 1932, kepemilikan tanah oleh Jepang di Korea mencapai 52,7% dari total tanah di Korea. Adapun tenant/penyewa tanahnya adalah orang Korea sendiri, dimana penyewa tersebut harus membayar separuh dari hasil panen mereka kepada Jepang sebagai 'sewa'. Karena biaya hidup yang mahal dan menderita, banyak orang Korea mengirimkan istri dan putrinya ke pabrik ataupun tempat prostitusi agar mereka dapat membayar pajak.

Di bidang agrikultur, Jepang memerintahkan penebangan berbagai tanaman dan memaksa penduduk untuk menanam tanaman yang berasal dari luar Korea. Kebijakan kolonial awal Jepang adalah meningkatkan produksi pertanian di Korea untuk memenuhi kebutuhan beras Jepang yang terus meningkat.

Di bidang industri, terjadi percepatan industrialisasi (guna menguntungkan Jepang). Pada akhir tahun 1920-an hingga 1930-an, Jepang mulai membangun basis industri di Korea (khususnya industri berat seperti pabrik kimia dan pabrik baja, dan produksi amunisi). Jepang merasa akan lebih baik untuk memiliki produksi lebih dekat ke sumber bahan baku yang diekspolitasi (yaitu Korea) sekaligus mempersiapkan perang dengan Cina di masa depan.

Pada 1937-1945 adalah tahun yang keras bagi warga Korea. Mereka dipaksa bekerja di pabrik-pabrik dan dikirim sebagai tentara di barisan depan. Jepang saat itu sangat rajin berperang karena ingin meluaskan jajahan dan pengaruhnya. Pada masa itu, puluhan ribu wanita muda Korea direkrut sebagai “wanita penghibur” untuk tentara Jepang.

Pada tahun 1939, orang Korea ditekan oleh penguasa kolonial untuk mengubah nama mereka menjadi nama-nama Jepang. Lebih dari 80% orang Korea mengubah namanya guna memudahkan permasalahan administrasi dan pelayanan negara.

Di bidang budaya, salah satu simbol kedaulatan dan kemerdekaan Korea yaitu Gyeongbok Palace dihancurkan hingga tinggal sepertiga dari bangunan dan strukturnya yang tersisa. Istana tersebut diubah menjadi tempat wisata bagi pengunjung Jepang.

Ringkasnya, eksploitasi penjajahan Jepang terhadap Korea menyebabkan terjadinya marginalisasi sejarah dan budaya Korea. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia juga dilaksanakan secara masif dan sangat kontroversial.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, penguasaan Jepang terhadap Korea resmi berakhir, karena Jepang menyerah kepada Pasukan Sekutu yang saat itu dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Uniknya, pada saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, Korea saat itu menjadi negara kedua yang paling maju industrinya (setelah Jepang sendiri) di Asia.