Thursday, 6 November 2008

Find the sunny side of everything

Dari berbagai survey selama ini, ada beberapa survey yang sulit dilupakan, salah satunya yang paling “nggak normal” adalah survey ke Mamuju (Sulawesi Barat). Dari awal sebelum berangkat udah ada perasaan nggak enak dan nggak nyaman. Kenapa saya yang dikirim ke Mamuju (mungkin karena masih anak bawang kali ya hehe). Lagi pula kayaknya perjalanan kantor ini kurang dipersiapkan dengan matang, masak tiket pulangnya belum dibeliin. Ditambah dari awal pergi udah capek banget karena sehari sebelumnya mesti ke Bandung dan Garut setor muka di nikahan temen.

Pepatah “dunia semakin sempit” ternyata bener-bener berlaku mulai dari awal berangkat. Nyampe bandara Soekarno-Hatta di ruang boarding ternyata ketemu temen yang mau pergi juga ke Papua, satu pesawat pula,, buseettt. Jadi teringat sehari sebelumnya juga ketemu senior yang lama gak ketemu di dalam bus Jakarta-Bandung. Dan kalo dipikir-pikir kan ada banyak banget bus yang nongol, banyak banget rute pesawat,, tetep aja ketemu orang yang kita kenal hehe.

Masalah 1
Kembali ke topik Mamuju. Mamuju adalah ibukota provinsi Sulawesi Barat (baru terbentuk 2004 pasca pemekaran dari Sulsel). Kata petugas travelnya, tiket ke Jakarta-Mamuju hanya ada maskapai Merpati. Maklum, Merpati biasanya melayani rute-rute “kering” yang sepi penumpang (maskapai perintis). Petugas travel bilang bahwa pesawat ke Mamuju akan ditempuh dalam satu hari (transit beberapa jam di Makassar), tanpa bermalam.

Hari Senin pagi tiba di Makassar (Sulawesi Selatan), ternyata ada masalah besar. Penerbangan transit ke Mamuju ternyata hanya ada buat besoknya (Selasa) dan Kamis. Penumpang yang mau ke Mamuju beramai-ramai protes (beramai-ramai = 3 orang saja hehe). Jelas-jelas di tiket tertera bahwa transitnya gak sampai semalaman. Jadilah kami tiga ksatria transit yang terlantar. Akhirnya bandara kasih opsi tinggal semalem di hotel transit bandara Makassar atau duitnya dikembalikan. Akhirnya kita (berdua) milih nginep di hotel transit bandara, sedangkan seorang ksatria transit yang lain minta duitnya dikembalikan sambil ngomel-ngomel gak jelas.

Tapi lumayan, nginep gratis dibayarin bandara dan bisa jalan-jalan di Makassar. Pas city walking, image saya tentang Makassar ternyata mendapatkan pembenaran, bahwa di Makassar banyak tawuran (image = dari televisi). Mungkin orang Makassar hobi tawuran kali ya (maap kalo salah). Waktu saya lewat, di salah satu sudut kota ada banyak batu di tengah jalan dengan massa yang dalam posisi siap “tempur”. Untungnya pas kita lewat tawurannya udah selesai (atau istirahat sejenak??). Pas kita naek angkot pun sopirnya hampir diajak kelahi sama salah satu pengendara motor yang diserempetnya, benar-benar kota dengan tensi yang tinggi.

Jauh-jauh ke Sulawesi makin terasa bahwa dunia makin sempit karena ada temen yang tinggal di Makassar. Langsung aja aku hubungi dia, dan dikenai pajak traktir makan sop konroe di salah satu rumah makan konroe yang katanya paling mantap di Makassar,, hehe sunny side-nya adalah bisa makan gratis. Kalau diibaratkan, keidentikan rumah makan ini dengan Kota Makassar ibarat keterkenalan restoran rawon nguling di Pasuruan atau rumah makan nasi becek Yos Sudarso di Nganjuk.

Esok harinya waktu jalan-jalan pagi, mampir ke warung deket hotel. Ternyata pepatah “dunia semakin sempit” masih berlaku. Penjualnya ternyata adalah perantau dari negara dengan passpor yang sama yaitu negara NgaJOMBANGkarta. Dari satu kampung satu suku hihi,,

Masalah 2
Esok harinya hari Selasa, jam di handphone menunjukkan pukul 09.00, sementara pesawat kami take off dari Bandara Sultan Hasanudin jam 10.00. Akhirnya kami keliling bandara cari oleh-oleh biar gak bosen. Usai nyari oleh-oleh yang lama banget (yang ternyata dia maruk beli tiga biji sarung buat dirinya sendiri plus baju dan beberapa barang kerajinan tangan), aku nolak ajakannya buat nongkrong dulu di coffee shop. Lebih baek nunggu di waiting room dari pada nunggu di coffee shop bandara yang mahal hehe.

Kami yang lagi jalan-jalan di dalam bandara tiba-tiba diteriakin ama petugas bandara. Wajahku yang udah dihapal ama petugas bandara (sejak protes kemarin) tiba-tiba diteriakkin bahwa pesawatku udah boarding. Wah bodohnya saya yang lupa bahwa jam di handphone masih pake zona waktu di Jawa yang beda waktunya satu jam dengan di Sulawesi. Jadi jam 09.00 di handphone sama dengan jam 10.00 di bandara. Langsung kami lari-lari menuju ruang boarding dianterin salah satu petugasnya. Sumpah berasa kayak Dian Sastro lagi ngejar Nicholas Saputra di film AADC haha,, ”Rangga,, Rangga,, Rangga,,”. Kami sukses jadi center of attention dan membuat kegegeran di dalam bandara.


Ternyata tiket saya hilang waktu lari-lari karena panik tadi (mungkin jatuh). Untung boarding pass-nya gak ikut ilang. Akhirnya setelah nego dengan tampang imut memelas, kami dibolehin masuk pesawat dengan hanya nunjukkin boarding pass meskipun tiketnya ilang (padahal memang kalo di bandara Soetta cuman nunjukin boarding pass doang). Kami bener-bener jadi penumpang terakhir yang masuk pesawat, karena penumpang lain udah duduk manis dengan seat belt sudah terpasang rapi.

Sampai di dalam pesawat, gak seperti biasanya, udah injury time tapi kabinnya masih banyak yang kosong, hoho ada ”sunny side”-nya juga. Karena pesawat kecil dan penumpangnya gak terlalu banyak, gak ada orang-orang bego yang suka masukin koper-koper segede gaban ke dalam kabin atas. Tapi tetep aja serem naik pesawat kecil berbaling-baling.

Masalah 3
Nyampe di bandara Tampa Padang Mamuju ternyata ada selebaran yang menawarkan tiket pesawat Aviastar. Akhirnya ditelponlah si CP-nya. Malangnya tiket Aviastar Mamuju-Makassar udah fully booked. Kalau kata pegawai di Dinas PU Mamuju, ada menteri/dirjen yang booking pesawat itu. Mentang-mentang pejabat, seenaknya aja dia pesen pesawat orang. Awas aja kalo tar aku jadi pejabat, aku booking sebulan pesawatnya biar gak ada lalu lintas udara hehe,,

Mamuju bener-bener kota yang sepi. Jam 8 malem aja hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Padahal kami nginep di hotel yang terletak di jalan lintas provinsi. Mungkin kalo ada mahasiswa yang mau penelitian dengan metode traffic counting paling enak di sini nih. Bahkan saking sepinya, kalo kata temen saya (bukan kata saya), “di Makassar aja susah nyari cewek cantik, apalagi di sini”, wekeke cuma ungkapan yang hiperbolis, soalnya ada ibu-ibu PNS di Bappeda Mamuju yang lumayan cantik juga kok.

Yang lucu juga, karena saya dianggap dari pusat, waktu ketemu seorang kontraktor, diminta bantuin supaya dia dapet proyek. Intinya dia pengen menang tender lewat saya (dipikir makelar proyek apa saya,,). Hoho ada yang ngajakin kolusi. Padahal sudah saya bilang bahwa saya masih belum punya kekuasaan, bahkan berulang kali saya kasih penekanan bahwa saya masih kroco, eh dia tetap ngotot minta nomernya di-save, dia bilang siapa tahu kalau ke Sulawesi Barat lagi akan diantarnya jalan-jalan kemanapun. Sempat kepikiran buruk juga, orang kayak gini enaknya dikerjain aja wakaka,,

Masalah 4
Karena gak dapet pesawat, terpaksalah kami melakukan perjalanan darat ke Makassar. Sebenernya nggak terpaksa amat, karena jiwa petualang saya juga pengen ngerasain jalan lintas Sulawesi yang katanya cukup galak. Lagipula dari jaman SMP ampe sekarang saya cuman pernah naik bus dengan tiga rute doang (ceritanya pengen memperbanyak rute).

Parahnya, bus dari Mamuju ke Makassar hanya berangkat di atas jam 19.00, gak ada yang berangkat pagi atau siang. Naik bus bener-bener sama dengan menyakiti diri sendiri. Meskipun bus ber-AC, tetap aja beda banget sama bus Arga Mas (Jakarta-Bogor), karena rute yang ditempuh benar-benar berkelok-kelok, bukan mirip jalan tol Jakarta-Bogor yang jalannya lempeng dan mulus. Baru setengah jam naik bus, saya mulai muntah, mual, pusing, bener-bener lemes (naluri kampungan-nya keluar: muntah-muntah). Saking menderitanya, tiap detik istighfar, mohon ampun, apalagi keinget belum sholat Maghrib-Isya pula.

Selepas Majene, bus yang saya naiki tabrakan (serempetan doang sih sebenernya) dengan bus lain. Bus baret-baret di body dan kacanya. Body kanan bus saya menghantam body kiri bus yang berlawanan arah. Untung gak selip dan keguling. Kedua kru bus terlibat diskusi serius. Aku pikir kayaknya bakalan diselesaikan secara adat nih. Kalau ada tawuran aku udah siap banget. Bukan siap ikutan tawuran, tapi siap ngerekam duelnya trus dijual ke metro tv hehe.

Seperti pepatah Jawa : find the sunny side, selalu ada hal yang bisa kita syukuri dari setiap musibah. Walaupun serempetan dan hampir celaka, tampaknya Tuhan masih mengendaki kami tetap bernafas. Karena bus-nya berhenti, saya bisa menghirup udara segar untuk menghilangkan mual.

Masalah 5
Nyampe Bandara Sultan Hasanudin Makassar lagi, saya herannya kok ketemu si Rangga (petugas yang ikut lari-lari agar saya tidak ketinggalan pesawat kemaren2) di mana-mana. Saya bahkan ketemu dia dan saling nyapa sampai tiga kali, di ruang check in, di toilet, dan di coffee shop. Gila, kalau kita udah kenal sama orang, dunia menjadi terasa semakin sempit, berasa sering ketemu.

Terakhir yang paling lucu adalah ketika dalam pesawat Batavia Makassar-Jakarta. Ada yang kentut bau banget. Kayaknya dia makan bangkai celeng tuh. Tapi saya teringat bahwa semalem kan saya muntah pasti baunya membuat penumpang bus di sebelah saya juga ilfil. Mungkin inilah balasannya atas bau muntahku yang mengganggu. Akhirnya setelah saya sadari bahwa mungkin ini adalah karma, maka saya hirup kentut busuk itu dengan perasaan lapang dada. Kalo mengutip Tora Sudiro : enyak,, enyak,, enyak,,. Pada intinya, kita bisa berempati pada orang lain jika kita pernah merasakan berada pada posisi mereka, atau setidaknya kita mau berusaha memahami keadaan mereka. Tidak ada manusia yang sempurna, jadi kita harus berdamai dengan ketidaksempurnaan orang lain, terlebih karena kitapun bukanlah sosok yang sempurna.

Pelajaran yang bisa diambil
Apapun kejadiannya (mulai dari jadwal yang gak jelas, kecelakaan, dll), beruntung bisa tiba di Jakarta dengan selamat. Ini jadi pembelajaran buat di masa depan, persiapkan diri sematang-matangnya jika hendak pergi ke daerah yang sedikit terpencil. Kalau bikin jadwal, ingat bahwa beda waktu antara Sulawesi dan Jawa adalah satu jam. Air Mamuju akan selalu memanggil kita untuk kembali.

Selain itu ada dua hal yang tampaknya sudah jamak : ”dunia semakin sempit” dan selalu ”find the sunny side of everything”, hehe,,