Wednesday, 5 September 2018

Korea 03 (1945-1960)


Pada tanggal 15 Agustus 1945, Korea memperoleh kemerdekaannya dari penjajah Jepang yang telah kalah perang dalam Perang Dunia II. PBB kemudian bermaksud membentuk pemerintahan baru yang diharapkan disepakati oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun pada kenyataannya, Uni Soviet menolak untuk bekerja sama dalam membentuk pemerintahan baru tersebut, sehingga Korea terbelah menjadi Korea Utara (berkiblat ke Uni Soviet) dan Korea Selatan (berkiblat ke Amerika Serikat).

Sejak 1945 hingga 1948, Korsel berada di bawah kendali Pemerintah Militer Amerika.

Pada tahun 1948, Korsel menyelenggarakan pemilihan demokratis pertamanya. Presiden pertama terpilih adalah Syngman Rhee dan dilantik pada tahun 1949. Sebagai presiden, Syngman Rhee menjadi diktator dan menjalankan kekuasaannya secara otoriter (dia terkenal tidak segan menyingkirkan/membunuh orang yang menentang programnya).

Di bidang perekonomian, Korea Selatan pada saat itu merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Perekonomiannya didominasi agriculture/pertanian. Adapun di bidang industri hanya ada light industry, karena heavy industry dan tenaga listrik ada di Korea Utara). Bahkan dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Korut mendapatkan 95% dari produksi kimia dasar, 99% pupuk kimia, 97% dari output baja, sisanya dimiliki Korsel.

Pemerintah Korsel selanjutnya melakukan reformasi agraria dan mendistribusikan tanah menjadi lebih egaliter. Di kemudian hari, reformasi agraria yang dilakukan pada awal 1950-an ditunjang dengan penyebaran pendidikan modern dan perluasan ekonomi menyebabkan hilangnya kelas Yangban yang dulu sangat diistimewakan. Pada saat yang bersamaan, muncul elit baru yang berasal dari rakyat jelata.

Pada masa perekonomian yang sangat buruk, pendidikan menjadi prioritas tertinggi negara (dedikasi dan investasi untuk pendidikan tersebut di kemudian hari menghasilkan tenaga kerja terlatih yang kemudian menjadi mesin penggerak perekonomian negara).

Di  bidang politik, Presiden Syngman Rhee selalu mendorong agar Korut dan Korsel disatukan dalam satu pemerintahan (saat itu terdapat semacam perang dingin antar kedua negara tersebut). Pada tahun 1953, Presiden Syngman Rhee melepaskan 25.000 tahanan antikomunis Korut (orang-orang ini dipulangkan ke Korut). Hal ini menimbulkan Korut murka hingga memutuskan menyerang Korsel pada 25 Juni 1950.

Korut saat itu yakin bahwa Amerika Serikat tidak akan membantu Korea Selatan. Pada Perang Korea 1950-1953 tersebut, sebagian besar infrastruktur yang dibangun selama pemerintahan Jepang hancur. Perang ini berhenti setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet ikut intervensi. Pasca Perang Korea, Korut tetap berada di bawah kekuasaan / perlindungan Uni Soviet dan Korsel di bawah perlindungan Amerika Serikat.

Pasca Perang Korea, Korea Selatan tetap menjadi salah satu negara termiskin di dunia selama lebih dari satu dekade. Pendapatan per kapita pada tahun 1950-1960 bahkan kurang dari USD 100 (termasuk dalam kategori negara-negara termiskin dunia). Korea Selatan selanjutnya sangat bergantung pada bantuan asing (lebih dari 90% dari anggaran berasal dari bantuan asing). Sebagai informasi tambahan, saat itu hanya sekitar 30% dari luas lahan Korsel yang bisa dibudidayakan.

Dari perspektif historis evolusi kebijakan, era Perang pasca-Korea dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase:
1) Fase Import Substitution / substitusi impor (1954-1960);
2) Fase Outward Orientation / orientasi luar (1961-1979);
3) Fase Balance and Stabilization (pasca-1980).

Kebijakan substitusi impor (1954-1960) masih belum menghasilkan kinerja pertumbuhan yang istimewa. Beberapa hal utama yang menonjol dalam kebijakan substitusi impor (1954-1960) adalah tarif tinggi untuk barang impor serta tingginya hambatan bagi para importir. Namun demikian, Pemerintah Korsel berhasil membangun kondisi yang kondusif untuk perluasan sektor substitusi impor misalnya produksi semen, kaca, pupuk kimia, kertas, serta industri ringan dan makanan.

Pada periode ini, Pemerintah juga tetap fokus pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia yang kelak bermanfaat sebagai dasar untuk pengembangan industri selanjutnya.

Pada pemilihan presiden tahun 1960, Pemerintah mengklaim bahwa Presiden Syngman Rhee memperoleh lebih dari 90% suara. Klaim ini memicu demonstrasi yang dipimpin mahasiswa guna menentang kecurangan pemilu dan menuntut Syngman Rhee mengundurkan diri. Tuntutan ini didukung oleh Majelis Nasional dan Pemerintah AS. Pada tahun itu juga Presiden Syngman Rhee mengundurkan diri.

Setelah pengunduran diri Presiden Syngman Rhee, Chang Myon terpilih sebagai presiden tetapi digulingkan pada tahun 1961 oleh kudeta militer yang dipimpin oleh Park Chung-hee.

Sebagai ringkasan, pada tahun 1953-1961, pemulihan ekonomi Korea Selatan sangat lambat walaupun menjadi negara penerima bantuan asing per kapita terbesar di dunia. Kurangnya perencanaan, misalokasi dana bantuan, korupsi, gejolak politik, dan ancaman perang dengan Korea Utara, semuanya membuat negara ini tidak menarik bagi investor domestik dan asing.

Namun demikian, dua reformasi besar yang dilaksanakan Presiden Syngman Rhee (1948-1961) membantu mempersiapkan jalan bagi industrialisasi besar-besaran pada masa berikutnya. Dua reformasi besar tersebut adalah reformasi pertanahan dan pengembangan pendidikan.

Korea 02 (1910-1945 Kolonialisme Jepang)


Penjajahan Jepang terhadap Korea ‘bermula’ ketika kedua negara menandatangani Japanese–Korea Treaty of Amity pada tanggal 27 Februari 1876. Perjanjian tersebut menandai terbukanya perdagangan Korea bagi Jepang. Korea dipaksa membuka tiga pelabuhan bagi perdagangan Jepang serta memberikan hak ekstrateritorial (hak khusus) kepada warga negara Jepang yang sedang berada di Korea. Perjanjian tersebut juga menjadi simbol bahwa Korea tidak lagi menjadi negara protektorat Cina.

Pada tahun 1910, Jepang secara resmi menjajah Korea melalui Japan-Korea Annexation Treaty. Korea mengklaim bahwa perjanjian itu tidak berlaku karena Kaisar Gojong tidak pernah memberikan segel kerajaan (segel kerajaan selama ini menjadi simbol keabsahan kerajaan/kekaisaran). Namun demikian Jepang tetap mengklaim bahwa perjanjian itu sah. Jepang secara de facto selanjutnya mengendalikan Korea.

Pada masa penjajahan, Jepang menguasai tenaga kerja dan tanah di Korea. Jepang memberlakukan pajak yang tinggi bagi warga Korea dan bahkan menyebabkan mereka kehilangan kepemilikan tanah di negaranya sendiri. Pada tahun 1932, kepemilikan tanah oleh Jepang di Korea mencapai 52,7% dari total tanah di Korea. Adapun tenant/penyewa tanahnya adalah orang Korea sendiri, dimana penyewa tersebut harus membayar separuh dari hasil panen mereka kepada Jepang sebagai 'sewa'. Karena biaya hidup yang mahal dan menderita, banyak orang Korea mengirimkan istri dan putrinya ke pabrik ataupun tempat prostitusi agar mereka dapat membayar pajak.

Di bidang agrikultur, Jepang memerintahkan penebangan berbagai tanaman dan memaksa penduduk untuk menanam tanaman yang berasal dari luar Korea. Kebijakan kolonial awal Jepang adalah meningkatkan produksi pertanian di Korea untuk memenuhi kebutuhan beras Jepang yang terus meningkat.

Di bidang industri, terjadi percepatan industrialisasi (guna menguntungkan Jepang). Pada akhir tahun 1920-an hingga 1930-an, Jepang mulai membangun basis industri di Korea (khususnya industri berat seperti pabrik kimia dan pabrik baja, dan produksi amunisi). Jepang merasa akan lebih baik untuk memiliki produksi lebih dekat ke sumber bahan baku yang diekspolitasi (yaitu Korea) sekaligus mempersiapkan perang dengan Cina di masa depan.

Pada 1937-1945 adalah tahun yang keras bagi warga Korea. Mereka dipaksa bekerja di pabrik-pabrik dan dikirim sebagai tentara di barisan depan. Jepang saat itu sangat rajin berperang karena ingin meluaskan jajahan dan pengaruhnya. Pada masa itu, puluhan ribu wanita muda Korea direkrut sebagai “wanita penghibur” untuk tentara Jepang.

Pada tahun 1939, orang Korea ditekan oleh penguasa kolonial untuk mengubah nama mereka menjadi nama-nama Jepang. Lebih dari 80% orang Korea mengubah namanya guna memudahkan permasalahan administrasi dan pelayanan negara.

Di bidang budaya, salah satu simbol kedaulatan dan kemerdekaan Korea yaitu Gyeongbok Palace dihancurkan hingga tinggal sepertiga dari bangunan dan strukturnya yang tersisa. Istana tersebut diubah menjadi tempat wisata bagi pengunjung Jepang.

Ringkasnya, eksploitasi penjajahan Jepang terhadap Korea menyebabkan terjadinya marginalisasi sejarah dan budaya Korea. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia juga dilaksanakan secara masif dan sangat kontroversial.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, penguasaan Jepang terhadap Korea resmi berakhir, karena Jepang menyerah kepada Pasukan Sekutu yang saat itu dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Uniknya, pada saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, Korea saat itu menjadi negara kedua yang paling maju industrinya (setelah Jepang sendiri) di Asia.

Monday, 3 September 2018

Korea 01 (Tahun 1392-1910 - Dinasti Joseon)


Korea pada tahun 1392 s.d. 1910 diperintah oleh Dinasti Joseon. Dinasti Joseon ini didirikan pada tahun 1392 oleh seorang jenderal dari Kerajaan Goryeo (kerajaan yang memerintah Korea pada saat itu). Jenderal itu bernama Yi Seong-gye (kelak bergelar sebagai King Taejo). Pada saat itu, (sekitar tahun 1390-an), Kerajaan Goryeo yang telah memerintah Korea selama 400 tahun mengalami kemunduran akibat perebutan kekuasaan internal dan intervensi dari Kekaisaran Mongolia.

Pada saat yang bersamaan itu pula, terdapat intervensi dari dinasti Ming di China yang kekuasaan wilayahnya semakin besar hingga berdampak ke Kerajaan Goryeo. Di dalam istana Goryeo sendiri, para pembesar kerajaan terbagi menjadi dua faksi yang saling bertentangan. Satu faksi yang dipimpin oleh Jenderal Yi Seong-gye mendukung dinasti Ming, sedangkan faksi yang lain dipimpin oleh Jenderal Choe mendukung dinasti Yuan.

Pada tahun 1388, ketika seorang utusan dinasti Ming datang ke Goryeo untuk menuntut agar wilayah utara Goguryeo diserahkan kepada Ming China, sebagian besar pembesar kerajaan Goryeo sepakat untuk menolak permintaan tersebut dan memilih menyerang dinasti Ming. Kerajaan Goryeo mengirimkan Jenderal Yi Seong-gye untuk memimpin pasukan menyerang Semenanjung Liaodong guna melawan dinasti Ming. Namun pada kenyataannya, Jenderal Yi Seong-gye bukannya menyerang Semenanjung Liaodong namun berbalik arah ke ibukota untuk melakukan pemberontakan dan kudeta. Setelah menggulingkan Raja U, Jendral Yi Seong-gye tidak segera mengambil alih kekuasaan, namun menjadikan putra mahkota Chang (yang berusia sekitar 8 tahun) sebagai raja boneka. Dia memerintah sebagai penguasa di balik layar pada tahun 1389-1392.

Pada tahun 1392, Jenderal Yi Seong-gye kemudian mengeksekusi mati Raja Chang dan Raja U. Ia mendeklarasikan dirinya sebagai King Taejo. Dia menamakan kerajaan baru yang dibentuknya tersebut sebagai Dinasti Joseon untuk menghormati kerajaan Joseon sebelumnya [kerajaan Gojoseon adalah kerajaan sebelum kerajaan Goryeo). Dinasti Joseon ini kemudian memerintah seluruh semenanjung Korea dan menjadi dinasti yang paling lama eksis di Asia Timur selama milenium terakhir.

Selama menjadi raja, King Taejo melaksanakan berbagai hal berikut:
  • Memindahkan ibukota ke Hanseong (sebelumnya bernama Hanyang dan kelak menjadi Seoul) dan membangun berbagai bangunan yang memiliki arsitektur indah termasuk Istana Gyeongbok (selesai dibangun pada tahun 1395) dan Istana Changdeok (selesai dibangun pada tahun 1405). 
 Gyeongbokgung

Changdeokgung 

  • Bekerja sama dengan para sarjana Konfusian yang berpikiran reformis untuk mereorganisasi masyarakat Korea menggunakan ajaran Konfusius. Pada tahun 1394, King Taejo menjadikan Neo-Konfusianisme sebagai agama resmi negara, yang mengakibatkan hilangnya banyak kekuasaan dan kekayaan oleh umat Buddha.Apabila pada dinasti-dinasti sebelumnya, kepemilikan tanah terkonsentrasi di tangan beberapa birokrat tingkat tinggi, tetapi King Taejo dan para penerusnya meredistribusi tanah di seluruh berbagai tingkat pemerintahan, menciptakan aristokrasi baru pejabat-sarjana yang disebut “Yangban” (Yangban berarti "dua perintah") mengacu pada cabang-cabang pemerintahan sipil dan militer.

Pada masa King Taejo, terdapat banyak intrik politik terutama yang terkenal dengan sebutan "Strife of the Princes" di mana putra-putra King Taejo berjuang memperebutkan tahta kerajaan. King Taejo galau dalam memutuskan siapa putranya yang akan menjadi raja selanjutnya. Yi Bangwon (putra kelima King Taejo dengan Ratu Sineui) memiliki kontribusi paling besar dalam membantu menjadikan ayahnya sebagai raja, namun Perdana Menteri Jeong Do-jeon mempengaruhi Raja Taejo untuk menjadikan putra kedelapannya (putra kedua dari Ratu Sindeok) yaitu Grand Prince Uian (Yi Bangseok) sebagai putra mahkota. Konflik ini muncul terutama disebabkan Perdana Menteri Jeong Dojeon, yang paling berjasa dalam membentuk dan meletakkan landasan ideologis, institusional, dan hukum Kerajaan Joseon, menganggap bahwa kerajaan Joseon merupakan kerajaan yang dipimpin oleh menteri yang ditunjuk oleh raja. Namun sebaliknya, Yi Bangwon ingin mendirikan monarki absolut dimana kerajaan diperintah langsung oleh raja.

Dengan dukungan King Taejo, Perdana Menteri Jeong Dojeon terus membatasi kekuatan keluarga kerajaan dengan melarang keterlibatan politik pangeran dan mencoba untuk menghapus pasukan pribadi mereka. Setelah kematian mendadak Ratu Sindeok, Pangeran Yi Bangwon memutuskan untuk menyerang dan merampok istana serta membunuh Perdana Menteri Jeong Dojeon dan pendukungnya serta dua putra Ratu Sindeok (saudara tirinya) termasuk putra mahkota pada 1398. Kejadian ini dikenal sebagai “First Strife of Princes”.

Kecewa dan marah oleh tindakan Pangeran Yi Bangwon dan sekutunya, King Taejo turun tahta pada 1398. Ia menunjuk putra keduanya, Pangeran Yi Banggwa (Pangeran Yeongan) sebagai penggantinya. Yi Banggwa kemudian bergelar sebagai Raja Jeongjong.

Pada tahun 1400, ketegangan antara faksi Pangeran Yi Bangwon dan faksi Pangeran Yi Banggan (Pangeran Yi Banggan sendiri adalah kakak laki-laki Pangeran Yi Bangwon) meningkat menjadi konflik besar yang kemudian dikenal sebagai “Second Strife of Princes”. Pangeran Yi Bangwon menang dan terbukti memiliki kekuatan yang sangat nyata dan besar di kerajaan Joseon.

Karena mendapatkan intimidasi dari Pangeran Yi Bangwon, King Jeongjong segera turun tahta dan menjadikan Pangeran Yi Bangwon sebagai pewaris. Pada tahun yang sama yaitu tahun 1400, Pangeran Yi Bangwon menduduki tahta dan bergelar sebagai King Taejong (dia menjadi raja ketiga Kerajaan Joseon).

Beberapa hal yang dilaksanakan oleh King Taejong adalah berikut:
  • Kebijakan pertamanya sebagai raja adalah melarang anggota keluarga kerajaan ataupun pembesar kerajaan memiliki pasukan keamanan bersenjata sendiri. Dia membangun monarki absolut dimana semua militer dan kebijakan di bawah kendali raja. 
  • Tindakan King Taejong selanjutnya adalah merevisi undang-undang yang ada mengenai pajak kepemilikan tanah dan pencatatan keadaan subjek. Dengan ditemukannya tanah tersembunyi, pendapatan nasional meningkat dua kali lipat.  
  • Dia memberikan kesempatan kepada rakyat biasa, ketika mereka punya masalah, bisa datang ke istana dan berkonsultasi dengan King Taejong. Dia mendirikan Kantor Sinmun untuk mendengar kasus-kasus orang yang merasa dirugikan atau diperlakukan secara tidak adil oleh pejabat pemerintah atau bangsawan.  
  • Untuk mendukung kekuasaannya, King Taejong mengeksekusi atau mengasingkan banyak pendukungnya yang membantunya naik tahta untuk memperkuat otoritas kerajaan. Bahkan ia juga membunuh keempat saudara laki-lakinya dan ayah mertuanya. Ia menjadi tokoh kontroversial yang membunuh banyak saingan dan kerabatnya untuk mendapatkan kekuasaan.
  • Apapun yang dilaksanakan, baik ataupun buruk, ia telah meletakkan dasar yang kuat untuk pemerintahan penerusnya yaitu King Sejong the Great.

Selama masa pemerintahan King Taejong, Kerajaan Ming China mengakui status kerajaan Joseon (realitanya adalah Joseon secara tidak langsung menjadi sekutu dan dilindungi oleh Kerajaan Ming).

Pada tahun 1418, setelah pengunduran diri King Taejong, putra ketiganya yaitu Sejong The Great naik tahta. Sejong menjadi raja karena putra pertama King Taejong yaitu Pangeran Yangnyeong lebih suka berburu di alam bebas (walupun ada yang mengatakan bahwa dia turun tahta demi adiknya bisa naik tahta), adapun putra kedua King Taejong, Pangeran Hyoryeong, memilih menjadi biksu.

 
Patung King Sejong di depan Gwanghwamun Gate, Gyeongbok Palace

 
Patung King Sejong di Yeouido Park

Dinasti Joseon mencapai puncak kejayaan di bawah kepemimpinan King Sejong The Great (1418-1450). Ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan berkembang pesat pada masa pemerintahan King Sejong. Berikut adalah pencapaian dan beberapa hal yang dilakukan oleh King Sejong:

  • King Sejong merevolusi pertanian dan mensponsori penemuan alat pengukur hujan dan jam matahari. 
  • King Sejong merevolusi pemerintahan dengan mengangkat orang dari berbagai kelas sosial sebagai pegawai negeri.
  • King Sejong melaksanakan acara resmi pemerintah menurut Konfusianisme, dan dia mendorong orang untuk berperilaku sesuai dengan Konfusianisme. Konfusianisme menjadi norma sosial.  
  • Pada masa kekeringan dan banjir, King Sejong menyediakan makanan dan tempat tinggal. Bagi para petani yang mengalami gagal panen, ia menerapkan sistem pinjaman di mana surplus gandum yang disimpan pemerintah dipinjamkan kepada mereka untuk dibayar kembali dengan bunga. 
  • Untuk mendorong para sarjana muda untuk belajar, ia memberikan banyak hibah dan berbagai dukungan pemerintah lainnya. 
  • Dalam hal hubungan dengan Kerajaan Ming Cina, ia membuat beberapa perjanjian yang menguntungkan Korea, termasuk memasang pos militer di bagian utara Semenanjung Korea. Dia juga mempertahankan hubungan baik dengan Jepang dengan membuka tiga pelabuhan untuk berdagang dengan Jepang. Ia juga menghentikan pembajakan di Laut Selatan (Laut Cina Timur) karena pulau Tsushima adalah basis bagi perompak Jepang.
  • Yang paling terkenal hingga sekarang adalah King Sejong dikenal sebagai penggagas yang menciptakan aksara Korea bernama Hangul. Aksara tersebut jauh lebih mudah dipelajari daripada huruf Cina (ia menugaskan tim ilmuwan untuk menciptakan Hangul pada 1443). 


Seiring berjalannya waktu, Kerajaan Joseon mengalami gejolak pada tahun 1590-an. Pada tahun 1592 dan 1597, Jepang di bawah Toyotomi Hideyoshi menggunakan pasukan samurai mereka untuk menyerang Kerajaan Joseon (tujuan utamanya sebenarnya adalah untuk menaklukkan Kerajaan Ming China). Kapal Jepang menaklukkan Pyongyang dan Hanseong (Seoul). Pasukan Jepang yang menang perang memotong telinga dan hidung lebih dari 38.000 orang Korea. Kondisi ekonomi kerajaan dan rakyat menderita setelah invasi Jepang. Hal ini diperparah dengan adanya korupsi internal, penyuapan, dan pajak berat.

Rakyat Korea selanjutnya bangkit melawan tuan mereka untuk bergabung dengan penjajah. Rakyat membakar Istana Gyeongbok. Namun demikian, Kerajaan Joseon diselamatkan oleh Laksamana Yi Sun-sin, yang memerintahkan pembangunan "kapal-kapal penyu", kapal besi pertama di dunia. Kapal ini membawa Kemenangan Laksamana Yi Sun-sin pada Pertempuran Hansan-do dan memaksa mundur pasukan Jepang.

Patung Laksamana Yi Sun-sin di depan Gwanghwamun Gate, Gyeongbok Palace

Di sisi lain, dinasti Ming di Cina (yang didukung oleh Kerajaan Joseon) semakin melemah dan kemudian jatuh ke Manchuria, yang selanjutnya mendirikan Dinasti Qing. Kerajaan Joseon yang memang mendukung Kerajaan Ming sejak lama kemudian memilih untuk tidak menghormati dinasti Manchuria yang baru. Pada 1627 dan 1637, Dinasti Manchuria menyerang Korea dan memaksa Kerajaan Joseon tunduk pada Dinasti Qing Cina. Sejak itu Kerajaan Joseon dipaksa menghormati Dinasti Qing Cina.

Pada tahun 1863 King Gojong naik takhta sebagai raja yang ke 26 dari Dinasti Joseon (Gojong menjadi raja karena adanya intrik di dalam keluarga kerajaan). Karena saat itu King Gojong masih berumur sekitar 11 tahun, sehingga ayahnya yaitu Bupati Heungseon menjadi Daewongun untuknya (Daewongun adalah semacam pelaksana tugas raja). Heungseon Daewongun memerintah sampai Gojong mencapai usia dewasa.

Heungseon Daewongun adalah pendukung utama isolasionisme dan mendukung penganiayaan terhadap umat Katolik (kebijakan yang kemudian membuat Prancis berkampanye melawan Korea pada tahun 1866). Heungseon Daewongun merupakan penganut paham Konfusianisme yang taat. Ia merupakan seorang tokoh bijak dan cermat. Ia menghapuskan peraturan-peraturan lama yang tidak lagi berguna dan dimanfaatkan oleh segelintir penguasa. Ia juga merevisi undang-undang dan peraturan rumah tangga kerajaan serta tatacara upacara ritual kerajaan. Ia juga mereformasi militer kerajaan.
Replika Heungseon Daewongun di Istana Unhyeongung Palace

Ketika King Gojong memerintah, terjadi gejolak yang diakibatkan negara lain. Pada tahun 1894-1895, terjadi perang antara kekaisaran Jepang dengan Dinasti Qing China (pertempuran dilaksanakan di Korea). Hasil pertempuran adalah kekalahan untuk dinasti Qing. Selanjutnya Jepang mengambil alih tanah dan sumber daya alam Korea yang saat itu diperintah oleh Kerajaan Joseon. Kemenangan Jepang sekaligus menandai berakhirnya hegemoni Cina atas Korea.

Pada tahun 1897, King Gojong memproklamirkan berdirinya Kekaisaran Han Raya (Han / Daehan Empire). Pembentukan kekaisaran baru ini dilaksanakan karena Pemerintah Jepang mendesak King Gojong untuk mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar untuk menandai kemerdekaan Korea dari China. Pada tahun tersebut, King Gojong pindah ke Istana Gyeongungung. Kekaisaran berlangsung hanya selama 13 tahun dan berada di bawah bayang-bayang kendali Jepang.

Pada tahun 1905, Korea dan Jepang menandatangani Perjanjian Protektorat. Dengan perjanjian tersebut, Korea dilucuti haknya sebagai bangsa merdeka. Seiring berjalannya waktu, Jepang semakin memperbesar wilayah kekuasaannya. Beberapa tahun setelah mengalahkan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1904-05), Jepang secara resmi menduduki Semenanjung Korea pada tahun 1910.