Monday, 24 August 2009

Indonesia pernah (masih) dijajah Jepang

Dari hasil iseng-iseng mengamati beberapa kali rapat dengan orang-orang Jepang, akhirnya saya sampai pada kesimpulan (lebih tepatnya hipotesis) bahwa Indonesia sedang dijajah Jepang (sekali lagi). Penjajahan dengan cara yang sangat halus dengan beberapa modus.

MODUS PERTAMA
Sebagai pendahuluan diingatkan bahwa karena APBN Indonesia selalu defisit, maka kekurangan anggaran (defisit) itu ditutup salah satunya melalui pos pinjaman/hibah luar negeri (grant/loan). Grant (bantuan) berarti Indonesia tidak memiliki kewajiban mengembalikan dana yang diberikan oleh donor. Sedangkan loan (pinjaman) berarti Indonesia memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunganya. Loan dan grant terutama digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Dalam proyek infrastruktur, sebelum pembangunan konstruksi, maka terlebih dahulu harus dibuat FS-nya (FS=Feasibility Study). FS ini mencakup kelayakan hukum, ekonomi, finansial, dan teknis. Nah masalahnya, negara donor (khususnya Jepang) menyediakan “grant” hanya untuk FS (bukan untuk konstruksinya). Ketika hasil FS menyatakan “layak”, maka Pemerintah direkomendasikan membangun konstruksinya. Selanjutnya Jepang memberikan “loan” untuk konstruksi.

Contoh kasusnya ketika JICA melakukan FS untuk proyek pembangunan kereta batu bara Kalteng dan hasilnya “layak dibangun”, maka Pemerintah berencana membangun konstruksinya. Namun karena dana Pemerintah terbatas, maka mereka meminjam dari luar negeri. Selanjutnya Jepang memberikan loan (*bukan grant*) untuk membangun konstruksinya. Pada akhir cerita, Indonesia berhutang kepada Jepang.

MODUS KEDUA
Perjanjian IJ-EPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) memang menguntungkan kedua belah pihak, tapi timpang. Jepang relatif jauh lebih diuntungkan dari Indonesia (baru hipotesis & belum terbukti secara akademis hehe).

Contohnya adalah, calon investor untuk rel kereta api batu bara di Kalteng adalah Jepang (bukan Indonesia). Selain itu batu bara Indonesia dikirim ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan energi Jepang, ironisnya Indonesia masih kekurangan listrik. Masalahnya adalah, kenapa batu bara Indonesia tidak disuplai ke PLTU yang ada di Indonesia? Karena PLTU Indonesia tidak mampu (tidak punya kapasitas mencukupi) untuk menyerap seluruh produksi batu bara dalam negeri. Dalam perspektif ekonomi perdagangan antar dua negara ini sangat wajar, karena Jepang memiliki demand batu bara yang tinggi, sementara Indonesia memiliki supply batu bara. Tapi di sini yang menarik adalah kecerdikan Pemerintah Jepang mengadakan kontrak suplai batu bara Indonesia-Jepang (nb: kontrak pertambangan/energi biasanya belasan tahun). Sebagai catatan, jika Indonesia melanggar kontrak, bisa terkena embargo internasional.

Satu contoh lagi adalah dalam rencana pembangunan MRT Jakarta Greater Area. Kontraktor yang terpilih dari tender nantinya akan bekerja sama dengan "main contractor" dari Jepang. Hal ini karena Jepang sebagai pemberi hutang mensyaratkan demikian. Jadi yang ingin dipertanyakan adalah "apakah Indonesia masih punya hak mengatur dirinya sendiri?"

MODUS KETIGA
Modus ketiga adalah penjajahan budaya yang berarti bahwa Indonesia disetir (trend setting) oleh Jepang. Meskipun saya cuma tau artis Jepang seperti Leah Dizon namun saya cukup yakin bahwa pengaruh budaya Jepang terhadap masyarakat Indonesia sangat besar. Buktinya adalah banjirnya produk otomotif dari Jepang seperti Toyota, manga dari Jepang, serial Jepang, FO yang memajang pernak-pernik Jepang, dll.

Yang paling menjengkelkan adalah orang Indonesia selalu menganggap bahwa orang Jepang lebih pinter. Padahal kalau di dalam rapat kayaknya sih apa yang dikerjakan oleh orang-orang Jepang itu juga bisa dikerjakan orang Indonesia (*sekedar pernyataan bodoh karena jengkel hehe*). Intinya adalah kenapa kita harus bayar mahal untuk engineer dari Jepang? Mengapa kita tidak mau menghargai engineer dari Indonesia sendiri?

TERAKHIR
Karena konteks tulisan ini adalah tentang hutang negara,, ditegaskan bahwa berhutang tidak selamanya salah. Toh masyarakat kita juga banyak yang berhutang untuk membeli rumah, mobil, dll. Kembali dalam konteks negara, bukan salah negara lain juga kalau mereka membuat Indonesia berhutang kepada mereka. Toh lembaga internasional seperti World Bank, ADB, JBIC, dll adalah bank biasa (dalam arti pasti berusaha memberikan kredit kepada nasabahnya dan cari untung). Yang membedakan bank tersebut dengan dengan bank biasa hanyalah bahwa nasabah mereka adalah negara (bukan orang atau korporasi). Namun demikian bukan berarti si pemberi hutang boleh menyetir. Jika kita sudah diatur, maka kita sudah dijajah.

Hal lain yang penting adalah terkait transparansi pos “hutang negara” dalam APBN. Dan agar hal ini terlaksana, jangan sampai APBN menjadi salah satu “Rahasia Negara” (berita di koran). APBN adalah uang rakyat, masak rakyat gak boleh tahu ke mana alur uang mereka. Jika APBN menjadi rahasia negara, akan melemahkan kontrol publik.

Yang paling utama adalah terkait penyerapan anggaran pinjaman tersebut. Jangan sampai birokrasi yang lemah menghambat penyerapan anggaran. Contohnya begini, kita berhutang kepada ADB dari tahun 2007-2012, tapi hingga 2009 pinjaman yang terserap untuk membangun berbagai infrastruktur barulah sekitar 7% dari total pinjaman. Hal ini tentunya membuat hutang menjadi tidak efektif, di samping memberatkan anggaran ketika jatuh tempo.

SIAPA YANG SALAH????
Sebaiknya Indonesia mulai mengurangi budaya mencari kambing hitam (harus ada yang disalahkan). Semua kejadian di atas sangat wajar apabila dilihat dari kaca mata ekonomi. Segala sesuatu berjalan menuju keseimbangan demand-supply, jadi ya gak ada yang salah. Tapi kalau tetap mau mencari siapa yang salah, ya pastilah orang iseng yang baca tulisan ini dari awal paragraf sampai akhir,, kayak gak ada kerjaan lain aja hehe,,,,,,,