Sunday, 1 June 2008

Susahnya ber-emphaty

Dalam kehidupan sehari-hari ada begitu banyak kejadian sederhana yang mengingatkan kembali pada arti penting “empati”. Di bawah ini hanya segelintir contohnya,,

Kejadian pertama pas di deket kosan. Ada seorang penghuni kosan (sebut aja namanya si A) yang nyetel musik sampai dinding & kaca kosan bergetar (beneran bergetar, bukan hiperbola hehe). Saking kerasnya si A nyetel musik hingga tetangga kamarnya (si B) merasa terganggu. Alhasil pecahlah perang mulut di antara keduanya yg dibumbui acara tangis-tangisan (khas pertengkaran cewek). Setelah ditelusuri, ternyata akar masalahnya adalah masalah laten yang “sepele”. Si A bilang bahwa seharusnya B yang introspeksi karena justru dia yang setiap hari nyetel musik dengan suara keras, eh sekarang giliran si A nyetel musik dengan keras, si B gak terima. Kesimpulan dari masalah ini adalah adanya dua perspektif (sudut pandang si A dan si B) yang sama-sama punya argumen rasional untuk membenarkan tindakan masing-masing.

Kejadian kedua pas lagi ada di sebuah kios. Ada cewek yg telepon di wartel hingga tarifnya nyampe 11 ribu. Pas mau bayar, si cewek ini bilang bahwa dia sedang gak bawa duit, dan pengen bayar lain hari alias ngutang. Si penjaga wartel minta barang jaminan dari si cewek ini. Entah merasa terhina karena harus menyerahkan jaminan (mungkin disuruh nyerahin jaminan merupakan pertanda ketidakpercayaan), cewek itu mengumpat “anxxng” dan melengos pergi. Si penjaga kios yang marah langsung balik ngumpat dan nyambit si cewek itu pake duit koinan. Sehabis itu si penjaga kios yang masih diliputi amarah mengungkapkan berbagai alasan sebagai pembenaran atas amarahnya, mulai dari yang logis seperti ‘wajarlah kalo ngutang ngasih barang jaminan’, ‘udah ngutang gak bayar lagi’, dll. Sekali lagi kesimpulannya adalah bahwa masing-masing punya argumen rasional sebagai pembenaran atas tindakan mereka.

Kejadian ketiga ini paling sering terjadi pas di lampu merah. Lampu lalu lintas udah nunjukkin warna hijau, tapi banyak metro mini yang justru memperlambat laju kendaraan. Akhirnya mobil yang berada di belakang metro mini tersebut kesel dan meng-klakson tanpa henti. Udah berasa malam taun baru aja semua kendaraan lomba bunyiin klakson mereka. Dilihat dari sudut pandang sopir metro mini, dia mencari penumpang, dan semakin lama dia ngetem, terutama di perempatan lampu merah, kemungkinan mendapatkan penumpang semakin besar. Inget, dia rakyat kecil yang cari duit buat keluarganya. Tapi dilihat dari sudut pandang pengguna kendaraan pribadi, kalo metro mini di depannya memperlambat laju busnya, tentunya dia gak bisa maju dan akhirnya akan kena lampu merah lagi, akhirnya bisa saja mereka terlambat masuk kantor. Sekali lagi kita harus melihat dari kedua perspektif yang sama-sama punya pembenaran yang logis.

Kejadian lain yang banyak kita baca di koran. Jika kita membaca berita tentang pencuri yang tertangkap basah, pemerkosa, pembunuh, dll,, maka kita biasanya langsung men-judge bahwa kelakuan mereka itu biadab dan mereka harus dihukum seberat-beratnya atas perbuatan mereka itu, bahkan kalau perlu sang pencuri itu dirajam dan pemerkosanya dipotong anu-nya biar mereka kapok sekapok-kapoknya. Tapi bagaimana jika kita melihat dari sudut pandang para kriminalist tersebut tentang alasan mereka melakukan kegiatan kriminal tersebut. Apakah benar dia mencuri karena hobi,, apa benar mereka memerkosa karena doyan,, kalo emang alasannya demikian, maka mereka memang pantas dihukum seberat-beratnya. Tapi bagaimana jika ternyata mereka mencuri demi memberi makan anaknya yang masih balita? Bagaimana jika ternyata mereka memperkosa karena memang sang korban pemerkosaan memang mengiming-imingi dengan bahasa tubuh nakal ditambah pakaian seronok? Bagaimana jika mereka membunuh untuk mempertahankan diri karena justru terancam dibunuh?????

Moral cerita
Semua orang merasa benar ketika mereka melihat dengan sudut pandang mereka. Permasalahannya adalah ketika mereka tidak mau melihat dari sudut pandang orang lain, maka tidak akan ada individu yang mau mengalah.

Jadi intinya bukan hanya melihat permasalahan secara rasional, tapi dengan bijaksana. Menggunakan kebijaksanaan bukan berarti meniadakan rasio dalam melihat suatu permasalahan. Jika kita melihat dengan bijaksana, maka kita akan menyadari bahwa orang lain pun memiliki rasio/kebenaran versi mereka sendiri. Kebijaksanaan bukanlah berarti memaksakan rasio/kebenaran kita kepada orang lain, namun menghargai kebenaran versi mereka. Hal ini sama halnya dengan menghargai agama yang dianut orang lain tanpa harus memaksakan agama kita, walaupun kita yakin setengah mati bahwa agama kitalah yang paling benar.

Steven Covey memberi petuah, agar kita bisa berempati, maka lihatlah dari sudut pandang orang lain. Cara sederhananya adalah dengan bertanya pada diri sendiri, “mengapa dia harus atau ingin melakukan itu”. Jadi, salah satu langkah untuk berempati adalah dengan berusaha melihat dari sudut pandang orang lain. Setelah kita memahami sudut pandang mereka, selanjutnya kita harus mencoba berdamai dengan sudut pandang mereka tersebut. Bukan berarti dengan empati semua masalah/konflik bisa terselesaikan. Tapi dengan empati setidaknya kita tahu, kenapa sopir metromini sangat menjengkelkan, kenapa bos kita selalu marah-marah mulu, kenapa ada yg sebel ama kita, dll.

Hehe sekali lagi postingan yg gak penting,,,

2 comments:

Anonymous said...

cepot : 'Satuju teu saderek sadayana??'
warga tumaritis : 'Satujuuuuuuuu'

Dimas said...

agree