Satu hal yang sangat
sulit diaplikasikan dalam pembangunan kota di Indonesia adalah mengintegrasikan
aspek ketataruangan dengan aspek pertanahan, padahal keduanya sangat saling
terkait. Itulah sebabnya saya tertarik untuk sedikit mengupas perbedaan kedua
aspek tersebut dan permasalahan yang ditimbulkan akibat perbedaan
tersebut.
Di dalam peraturan
bidang pertanahan yang mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 1960 diakui adanya property right yang menyatakan hak kepemilikan
atas suatu tanah. Sedangkan dalam peraturan bidang ketataruangan yang mengacu
pada UU 26 Tahun 2007 diakui adanya development
right yang menyatakan hak pemanfaatan atas suatu tanah sesuai rencana
kota.
Satu penekanan
penting di sini adalah bahwa development right
tidak sama dengan property right. Sekali
lagi ditegaskan bahwa development right
adalah hak untuk memanfaatkan tanah (membangun) di atas suatu tanah, dimana hak
tersebut dapat digunakan apabila tidak bertentangan dengan rencana kota.
Terminologi development right tersebut
tentu sangat berbeda dengan property right
yang menyatakan hak kepemilikan atas suatu tanah.
Pada kondisi praktis
di lapangan, ketika property right
sinkron dengan development right, maka
tidak menjadi masalah. Sebagai contoh terdapat seorang warga kota yang memiliki
tanah (property right) dan ingin
membangun suatu kantor (development right).
Apabila tanah yang dimilikinya tersebut dalam rencana kota memang diperuntukkan
sebagai perkantoran, maka orang tersebut dapat menggunakan development
right-nya untuk membangun kantor, sehingga Pemerintah dapat memberikan izin
padanya untuk membangun kantor.
Namun permasalahan
muncul ketika property right tidak
sinkron dengan development right,
misalnya seorang warga kota ingin membangun perkantoran di atas tanah miliknya.
Orang tersebut memang memiliki tanah tersebut secara sah (property right), namun dia tidak boleh
membangun perkantoran tersebut karena Pemerintah telah menetapkan bahwa tanah
miliknya diperuntukkan sebagai ruang hijau (peruntukan hijau).
Pemerintah hanya
boleh memberikan izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Apabila izin pemanfaatan ruang (namun tidak sesuai dengan rencana tata ruang)
telah diterbitkan, maka harus disesuaikan. Padahal biaya untuk menyesuaikan
pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan
ini sangat mahal.
Sebagai contoh untuk
menunjukkan betapa sulitnya mensinkronkan tata ruang dan tata pertanahan dari
sudut pandang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut. UU 26
Tahun 2007 mengamanatkan bahwa RTH perkotaan minimal 30 %. Dengan demikian, Provinsi
DKI dengan luas wilayah daratan 661,52
km2 (661.520.000 m2) pada tahun 2030 harus mampu menyediakan RTH minimal seluas
198.456.000 m2. Dengan asumsi harga tanah di Provinsi DKI Jakarta rata-rata Rp 3
juta per m2 pada tahun 2011, maka uang yang dibutuhkan untuk mewujudkan RTH 30%
wilayah kota adalah Rp 595.368.000.000.000, yang artinya kebutuhan dana
pembebasan tanah untuk RTH per tahun adalah Rp 29.700 miliar (dari 2011 - 2030).
*perhitungan
di atas terlalu disederhanakan karena menurut UU 26 Tahun 2007, RTH Publik yang
harus disediakan Pemerintah hanya 20 % dan 10% sisanya oleh swasta.
*penyederhanaan
yang lain terkait harga tanah rata-rata Rp 3 juta per meter persegi, padahal
kenyataannya pada beberapa wilayah Provinsi DKI terdapat tanah dengan harga Rp
20 juta per meter persegi.
*jumlah
tersebut cukup signifikan apabila dibandingkan dengan APBD DKI 2011 yang
mencapai Rp 27,95 triliun, sehingga APBD dialokasikan 'hanya' untuk
pembebasan tanahnya, belum termasuk pembangunan dan perawatan RTH tersebut.
*
perhitungan sederhana ini hanya menunjukkan betapa mahalnya biaya mensinkronkan
development right dan property right.
Solusi
Terdapat beberapa
solusi ketika property right tidak
sinkron dengan development right. Solusi
yang ada dapat melibatkan Pemerintah atau tanpa melibatkan Pemerintah. Solusi
sederhana tanpa melibatkan Pemerintah dari sisi masyarakat adalah pemilik property right menjual tanahnya kepada pihak
lain yang mau memanfaatkan tanah tersebut sesuai rencana kota. Misalnya pemilik
tanah (land owner) yang tanahnya
ditetapkan sebagai peruntukan perumahan, tentu tidak bisa membangun
perkantoran, sehingga dia sebaiknya menjual tanahnya kepada orang lain yang mau
membangun perumahan di tanah tersebut.
Solusi sederhana
dengan melibatkan Pemerintah misalnya terdapat pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang, maka Pemerintah dapat memberikan keringanan
berupa izin pemanfaatan ruang dengan jangka waktu tertentu, dan apabila batas
waktu terlampaui maka pemilik tanah harus menyesuaikan dengan rencana tata
ruang. Namun demikian solusi tersebut sebenarnya bersifat jangka pendek.
Solusi jangka
panjang dengan melibatkan Pemerintah membutuhkan pergeseran paradigma peran
Pemerintah. Pemerintah harus mampu memfasilitasi peralihan development right dari land owner yang tidak bisa membangun sesuai keinginannya kepada
pihak lain yang ingin membangun sesuai rencana kota. Terminologi memfasilitasi
di sini maksudnya adalah Pemerintah memberikan informasi siapa-siapa saja
pemilik property right yang development right-nya dibatasi oleh Rencana
Tata Ruang. Kemudian Pemerintah memfasilitasi peralihan property right kepada warga kota lain yang mau membangun sesuai
Rencana Tata Ruang. Sebagai contoh ketika Pemerintah melarang warga kota
membangun di kawasan lindung yang berada di hulu sungai guna melindungi sistem
tata air perkotaan, maka Pemerintah sekaligus dapat mengambil peran
menginformasikan pihak-pihak yang bersedia membangun di daerah tersebut sesuai
rencana kota.