Sunday, 29 July 2012

"Rencana Tata Ruang" Sebagai Public Goods

Sebelum membahas mengenai "Rencana Tata Ruang" sebagai public goods, ada baiknya terlebih dahulu sedikit dibahas mengenai eksternalitas negatif di suatu perkotaan. Eksternalitas adalah dampak yang dirasakan oleh orang lain yang tidak terlibat dalam suatu transaksi (Pyndick Rubenfield). Eksternalitas bisa berupa eksternalitas positif ataupun negatif. Dalam suatu perkotaan, pemanfaatan ruang kota untuk perumahan dapat menyebabkan gangguan pada sistem tata air perkotaan yang berdampak pada terjadinya banjir (banjir tentu merupakan eksternalitas negatif). Dengan kata lain, terdapat pihak-pihak lain yang tidak terlibat dalam transaksi perumahan, namun terkena eksternalitas negatif berupa banjir.

Pemerintah sebenarnya memiliki pilihan untuk membiarkan pemanfaatan ruang perkotaan berjalan sebagaimana adanya tanpa sama sekali campur tangan Pemerintah (paham free market yang dipopulerkan Adam Smith) atau pilihan yang lain adalah ikut campur tangan dan melakukan market intervention. Pada pilihan pertama, konsekuensi apabila pasar dibiarkan sebagaimana adanya tanpa campur tangan Pemerintah adalah tingginya dampak eksternalitas (khususnya eksternalitas negatif) serta ancaman terjadinya market failure. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia lebih menyukai pilihan kedua yaitu menerapkan market intervention (namun bukan market intervention murni) guna mengantisipasi terjadinya kegagalan pasar dan eksternalitas negatif pemanfaatan ruang kota.  

Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota merupakan bentuk intervensi Pemerintah guna meminimalkan eksternalitas negatif akibat pemanfaatan ruang perkotaan secara berlebihan. Pemerintah berasumsi bahwa apabila Rencana Tata Ruang dipatuhi, maka dapat meminimalkan eksternalitas negatif seperti banjir, kemacetan, dll. Dengan demikian Rencana Tata Ruang seharusnya dianggap sebagai public goods yang dibutuhkan oleh semua warga perkotaan dalam rangka meminimalisir eksternalitas negatif akibat transaksi pemanfaatan ruang perkotaan oleh berbagai pihak. Sebagai public goods, Rencana Tata Ruang seharusnya memiliki sifat non-excludable dan non-rivalry dalam arti semua warga kota seharusnya dapat secara bebas mengakses rencana tata ruang tersebut. Aksesibilitas terhadap public goods ini menjadi penting karena masyarakat harus memahami bahwa development right yang dimilikinya dibatasi oleh Rencana Tata Ruang. Masyarakat harus menyadari bahwa pembatasan ini bertujuan menjamin bahwa pemanfaatan development right oleh seseorang tidak memberikan eksternalitas negatif secara berlebihan pada warga perkotaan yang lain.

Dalam memandang suatu Rencana Tata Ruang Kota, harus diingat bahwa optimum land value tanah perkotaan secara keseluruhan tidak sama dengan optimum land value tanah per persil. Optimum land value tanah perkotaan secara sederhana didapatkan ketika penjumlahan eksternalitas negatif akibat pemanfaatan seluruh lahan per persil memberikan nilai paling kecil. Jadi harus disadari bahwa optimum land value per persil tidak sama dengan highest value of the land per persil. Dengan demikian Pemerintah dapat mengatur bahwa seorang tidak bisa memanfaatkan tanahnya sesuai highest value tanah tersebut dengan pertimbangan kepentingan masyarakat yang lebih luas (walaupun justifikasi atas hal ini perlu pembahasan yang lebih detail). Sebagai contoh, seseorang yang memiliki tanah yang 'kebetulan' berada di kawasan lindung tentu tidak bisa memanfaatkan tanahnya sesuai potensi ekonomi maksimal tanah tersebut, misalnya tidak bisa digunakan untuk membangun bangunan kantor, karena dapat merusak sistem tata air kawasan perkotaan. Namun demikian pembatasan pemanfaatan tanah bagi orang tersebut ternyata bermanfaat bagi masyarakat perkotaan secara luas karena dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya banjir. Secara sederhana, poin yang ingin disampaikan adalah bahwa yang terbaik untuk seorang warga kota belum tentu yang terbaik bagi seluruh warga kota, sehingga diperlukan Rencana Tata Ruang Kota (sebagai public goods) yang mampu mengakomodir kepentingan warga kota secara luas.

Walaupun Rencana Tata Ruang Kota sebagai public goods sangat dibutuhkan, namun bukan berarti Rencana Tata Ruang tersebut pasti sempurna. Setiap produk buatan manusia sebagus apapun tujuan pembuatannya pasti memiliki kelemahan. Terdapat beberapa kelemahan Rencana Tata Ruang Kota sebagai public goods yang perlu dipahami oleh banyak pihak dan akan disebutkan secara ringkas dibawah ini.

Kelemahan pertama menyangkut pertanyaaan mendasar bahwa apakah Rencana Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan merupakan suatu produk yang paling ideal? Jawabannya singkat, Rencana Tata Ruang Kota bukanlah suatu produk yang ideal karena belum mempertimbangkan kepemilikan tanah (land ownership) sebagai konsideran utama penyusunannya. Dalam kenyataan praktis di lapangan akan sering dijumpai pertentangan antara development right dengan property right. Hak masyarakat untuk membangun (development right) dapat digunakan selama tidak bertentangan dengan RTRW. Namun apabila development right bertentangan dengan Rencana Tata Ruang, maka development right tersebut tidak dapat digunakan, sekalipun memiliki property right.

Kelemahan kedua sekaligus kekuatannya adalah tidak boleh ada perubahan peruntukan. Dengan adanya UU Nomor 26 Tahun 2007, Rencana Tata Ruang Kota (nama lengkapnya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Perkotaan) menjadi sangat penting karena setiap rencana pembangunan perkotaan harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Kota. Apabila suatu rencana pembangunan baik yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, swasta, ataupun masyarakat tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota, maka rencana pembangunan tersebut tidak boleh dilaksanakan. Hal ini mengandung makna bahwa setiap pemanfaatan ruang harus sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Kota. Hal ini bagus dalam rangka mengendalikan pertumbuhan kota sekaligus membatasi eksternalitas negatif pemanfaatan ruang kota secara berlebihan. Namun di sisi lain ketentuan ini menjadi terlalu mengekang apabila dikaitkan dengan perubahan peruntukan dari intensitas tinggi menjadi rendah, sebagai contoh peruntukan perkantoran akan kesulitan untuk diubah menjadi peruntukan ruang terbuka hijau mengingat peraturan yang ada tidak memperbolehkan adanya perubahan peruntukan.

Kelemahan ketiga adalah bahwa Rencana Tata Ruang Kota belum mempertimbangkan implikasi penerapannya di lapangan. Dalam kenyataannya, penetapan Rencana Tata Ruang Kota memerlukan berbagai penyesuaian (adjusment) yang seharusnya disesuaikan dengan karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal tersebut. Hal ini bukan semata kesalahan RTRW karena memang kelengkapan untuk mengoperasionalkan Rencana Tata Ruang Kota memang perlu dibuat secara khusus.

Sebagai penutup, walaupun banyak kelemahan dari Rencana Tata Ruang Kota(baik yang sudah ditulis maupun yang belum ditulis di sini), setiap orang seharusnya sepakat bahwa Rencana Tata Ruang Kota merupakan public goods dan menjadi panduan utama dalam pembangunan perkotaan. Setiap orang harus sepakat bahwa Rencana Tata Ruang Kota bermanfaat meminimalisir eksternalitas negatif pemanfaatan ruang kota. Mengingat Rencana Tata Ruang Kota merupakan public goods, maka warga kota seharusnya bebas mengakses informasi terkait Rencana Tata Ruang Kota. Dengan kemudahan akses terhadap Rencana Tata Ruang Kota, maka ketika terdapat kekeliruan dalam penerapan Rencana Tata Ruang Kota, maka Pemerintah dan warga perkotaan dapat saling mengingatkan sehingga segalanya berjalan pada koridor yang benar.

No comments: