Beberapa hari lalu saya mendapati sebuah kisah yang menarik dan
inspiratif tentang seorang tukang parkir di Monas. Beliau ini sudah
berusia sekitar 50 tahunan dan telah menekuni profesi sebagai tukang
parkir selama 15 tahunan (profesi sebelumnya adalah tukang ojek sepeda
dan kuli). Bapak ini pasca lulus SMP hijrah dari Jawa Tengah ke Ibukota
Jakarta karena (menurut pengakuannya) peluang di Jakarta (dianggap)
lebih menjanjikan. Hal yang cukup luar biasa (bagi saya) adalah
kenyataan bahwa dia mampu menghidupi istri dan 8 orang anaknya selama
belasan tahun walaupun ‘hanya’ berprofesi sebagai tukang parkir.
Setelah berdiskusi dengannya, saya mendapati tiga hal menarik yaitu : Pertama keunikan cara pandangnya, Kedua ampuhnya jaminan pendidikan dan kesehatan dari Pemerintah (bagi warga kurang mampu), dan Ketiga fenomena urbanisasi perkotaan yang sangat nyata.
Pertama : keunikan cara pandang
Banyak
hikmah yang bisa dipetik dari cara dia memandang sesuatu. Dia tidak
khawatir hijrah dari kampungnya di Jawa Tengah ke Jakarta walaupun tanpa
bekal pendidikan yang memadai (hanya lulusan SMP), karena dia yakin
pasti bisa mendapatkan pekerjaan. Cara berpikir “pasrah” membuat dia tidak khawatir akan masa depan. Mungkin karena dia merasa “pasrah” itulah sehingga Yang Di Atas memberikannya banyak “bantuan tidak terduga”.
Pelajaran
pertama (dalam konteks sudut pandang sebagai manusia), kita harus
meyakini bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita kekurangan,, kalau kita
selalu merasa kekurangan, itu karena kita tidak mensyukuri
pemberian-Nya. Kita harus yakin bahwa Dia akan memberikan yang kita
butuhkan. Bahwa “masa depan” seperti halnya “diri kita” adalah
milik-Nya, jadi pasrahkan saja pada-Nya selaku pemilik. Sekali lagi
tugas kita hanya harus yakin.
Kedua : ampuhnya jaminan Pemerintah kepada warga kurang mampu
Dia
mengaku lebih kerasan tinggal di Jakarta dibandingkan di kampung karena
biaya hidup di Jakarta (menurutnya) justru lebih murah (dibandingkan di
kampung). Di Jakarta biaya hidup untuk warga kurang mampu memang
sebagian ditanggung oleh Pemerintah. Misalnya di bidang kesehatan saat
ini ada Kartu Jakarta Sehat / KJS (dahulu kartu Gakin dan Jamkesda) dan
di bidang pendidikan saat ini ada Kartu Jakarta Pintar / KJP (dulu
mungkin BOS).
Warga kurang mampu memiliki pendapatan
yang kecil, sehingga pengeluarannya harus ditekan seminimal mungkin,
agar tidak besar pasak daripada tiang. Bagi beliau, dengan pendidikan
dan kesehatan dari 8 anaknya ditanggung Pemerintah, maka praktis
pengeluarannya hanya untuk makan dan tempat tinggal (sewa kos). Sebagai
catatan, dia tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk transportasi
karena dari rumahnya ke tempat kerja di Monas hanya naik bus kota
(sehari PP hanya Rp 5.000), dan anak-anaknya pun berjalan kaki ke
sekolah (dekat tempat tinggal).
Pelajaran kedua (dalam
konteks sebagai seorang birokrat) : Pemerintah harus membuat
pengeluaran untuk warga tidak mampu menjadi seminimal mungkin, baik
pengeluaran di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan
transportasi. Pemprov DKI Jakarta sudah mengeluarkan KJS (bidang
kesehatan) dan KJP (untuk bidang pendidikan) yang bagi saya cukup
berhasil menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kurang mampu.
Pekerjaan rumah ke depan bagi Pemprov DKI adalah memperbanyak rusun sewa
yang murah (untuk bidang perumahan) dan memperbaiki/mensubsidi
transportasi umum. Sekali lagi harus diingat bahwa kata kuncinya adalah “KEBERPIHAKAN”.
Ketiga : fenomena urbanisasi
Pelajaran
ketiga (dalam konteks sebagai seorang perencana) : apabila semakin
banyak penduduk yang mempunyai pola pikir seperti beliau (tukang parkir
ini), maka urbanisasi tentu semakin tak terelakkan, padahal suatu kota
mempunyai keterbatasan dalam hal daya dukung/tampung. Dengan demikian
tugas Pemerintah ada dua : 1) meningkatkan daya dukung/tampung kota-kota
eksisting, dan 2) menyebarkan kantung-kantung pertumbuhan ekonomi agar
tidak hanya terpusat di kota-kota besar saja. Sudah banyak kajian
tentang upaya peningkatan daya dukung/tampung kota, tapi bagaimana upaya
nyata Pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa kehidupan bisa
terjamin/sejahtera walaupun tidak tinggal di kota...????
Sunday, 2 June 2013
RDTR-PZ sebagai produk Konsensus Warga Kota
Tulisan ini terinspirasi dari paparan Tim Pakar Penyusun RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Mei 2013. Tulisan ini hanya membahas tentang filosofi “proses” penyusunan RDTR-PZ.
Sesuai UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang di tingkat provinsi terdiri dari Rencana Umum beserta Rencana Rincinya. Rencana umum di Provinsi DKI Jakarta adalah RTRW Provinsi DKI 2030 (yang di dalamnya memuat RTRW Kabupaten/Kota), sedangkan Rencana Rinci-nya adalah Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ).
RDTR mengatur tentang development right (peruntukan lahan) dan tidak mengatur tentang property right (kepemilikan lahan). RDTR-PZ juga terutama mengatur tentang kepentingan umum. Pada zaman dahulu, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) kurang partisipatif. Saat ini, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) lebih partisipatif (mungkin hal ini disesuaikan dengan konsep Gubernur baru yang sangat menekankan partisipasi warga). Partisipasi masyarakat terutama dalam hal menentukan kepentingan umum.
Sebagai informasi, terdapat tiga rezim hukum dalam memandang kepentingan publik. Rezim pertama adalah ketika kepentingan individu (property right) sangat diutamakan dan ditempatkan di atas segalanya. Rezim kedua adalah ketika kepentingan publik sangat diutamakan dan ditempatkan di atas kepentingan individu. Di Indonesia, penerapan rezim kedua ini tercermin dalam UU Pertanahan tahun 1960. Penerapan rezim kedua ini, apabila terdapat masyarakat pemilik tanah yang bidang tanahnya terkena kepentingan umum maka tanahnya harus diserahkan kepada Pemerintah. Rezim ketiga adalah penghormatan yang seimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, sehingga perlu ada konsensus terhadap kedua kepentingan tersebut.
Penyusunan RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta (yang mengatur kepentingan umum) kali ini mengacu pada rezim ketiga, sehingga RDTR-PZ adalah produk konsensus/kesepakatan. Jadi, development right (yang merupakan muatan dari RDTR-PZ) adalah produk konsensus warga kota.
Sepengamatan saya, proses menuju konsensus itu tidak semudah konsep-konsep yang tertulis di text book. Pada kenyataannya walaupun RDTR-PZ adalah produk konsensus, namun dipastikan tidak akan bisa memuaskan seluruh warga perkotaan. Sudah pasti ada warga yang tidak sepakat dan kecewa. Namun demikian warga kota seharusnya sepakat bahwa hasil RDTR-PZ akan menghasilkan nilai lahan yang paling optimum (optimum land value) bagi seluruh warga kota Jakarta.
Sesuai UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang di tingkat provinsi terdiri dari Rencana Umum beserta Rencana Rincinya. Rencana umum di Provinsi DKI Jakarta adalah RTRW Provinsi DKI 2030 (yang di dalamnya memuat RTRW Kabupaten/Kota), sedangkan Rencana Rinci-nya adalah Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ).
RDTR mengatur tentang development right (peruntukan lahan) dan tidak mengatur tentang property right (kepemilikan lahan). RDTR-PZ juga terutama mengatur tentang kepentingan umum. Pada zaman dahulu, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) kurang partisipatif. Saat ini, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) lebih partisipatif (mungkin hal ini disesuaikan dengan konsep Gubernur baru yang sangat menekankan partisipasi warga). Partisipasi masyarakat terutama dalam hal menentukan kepentingan umum.
Sebagai informasi, terdapat tiga rezim hukum dalam memandang kepentingan publik. Rezim pertama adalah ketika kepentingan individu (property right) sangat diutamakan dan ditempatkan di atas segalanya. Rezim kedua adalah ketika kepentingan publik sangat diutamakan dan ditempatkan di atas kepentingan individu. Di Indonesia, penerapan rezim kedua ini tercermin dalam UU Pertanahan tahun 1960. Penerapan rezim kedua ini, apabila terdapat masyarakat pemilik tanah yang bidang tanahnya terkena kepentingan umum maka tanahnya harus diserahkan kepada Pemerintah. Rezim ketiga adalah penghormatan yang seimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, sehingga perlu ada konsensus terhadap kedua kepentingan tersebut.
Penyusunan RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta (yang mengatur kepentingan umum) kali ini mengacu pada rezim ketiga, sehingga RDTR-PZ adalah produk konsensus/kesepakatan. Jadi, development right (yang merupakan muatan dari RDTR-PZ) adalah produk konsensus warga kota.
Sepengamatan saya, proses menuju konsensus itu tidak semudah konsep-konsep yang tertulis di text book. Pada kenyataannya walaupun RDTR-PZ adalah produk konsensus, namun dipastikan tidak akan bisa memuaskan seluruh warga perkotaan. Sudah pasti ada warga yang tidak sepakat dan kecewa. Namun demikian warga kota seharusnya sepakat bahwa hasil RDTR-PZ akan menghasilkan nilai lahan yang paling optimum (optimum land value) bagi seluruh warga kota Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)