Tulisan ini terinspirasi dari paparan Tim Pakar Penyusun RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Mei 2013. Tulisan ini hanya membahas tentang filosofi “proses” penyusunan RDTR-PZ.
Sesuai UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang di tingkat provinsi terdiri dari Rencana Umum beserta Rencana Rincinya. Rencana umum di Provinsi DKI Jakarta adalah RTRW Provinsi DKI 2030 (yang di dalamnya memuat RTRW Kabupaten/Kota), sedangkan Rencana Rinci-nya adalah Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ).
RDTR mengatur tentang development right (peruntukan lahan) dan tidak mengatur tentang property right (kepemilikan lahan). RDTR-PZ juga terutama mengatur tentang kepentingan umum. Pada zaman dahulu, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) kurang partisipatif. Saat ini, proses penyusunan rencana tata ruang (dianggap) lebih partisipatif (mungkin hal ini disesuaikan dengan konsep Gubernur baru yang sangat menekankan partisipasi warga). Partisipasi masyarakat terutama dalam hal menentukan kepentingan umum.
Sebagai informasi, terdapat tiga rezim hukum dalam memandang kepentingan publik. Rezim pertama adalah ketika kepentingan individu (property right) sangat diutamakan dan ditempatkan di atas segalanya. Rezim kedua adalah ketika kepentingan publik sangat diutamakan dan ditempatkan di atas kepentingan individu. Di Indonesia, penerapan rezim kedua ini tercermin dalam UU Pertanahan tahun 1960. Penerapan rezim kedua ini, apabila terdapat masyarakat pemilik tanah yang bidang tanahnya terkena kepentingan umum maka tanahnya harus diserahkan kepada Pemerintah. Rezim ketiga adalah penghormatan yang seimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, sehingga perlu ada konsensus terhadap kedua kepentingan tersebut.
Penyusunan RDTR-PZ Provinsi DKI Jakarta (yang mengatur kepentingan umum) kali ini mengacu pada rezim ketiga, sehingga RDTR-PZ adalah produk konsensus/kesepakatan. Jadi, development right (yang merupakan muatan dari RDTR-PZ) adalah produk konsensus warga kota.
Sepengamatan saya, proses menuju konsensus itu tidak semudah konsep-konsep yang tertulis di text book. Pada kenyataannya walaupun RDTR-PZ adalah produk konsensus, namun dipastikan tidak akan bisa memuaskan seluruh warga perkotaan. Sudah pasti ada warga yang tidak sepakat dan kecewa. Namun demikian warga kota seharusnya sepakat bahwa hasil RDTR-PZ akan menghasilkan nilai lahan yang paling optimum (optimum land value) bagi seluruh warga kota Jakarta.
No comments:
Post a Comment