Penjajahan Jepang terhadap
Korea ‘bermula’ ketika kedua negara menandatangani Japanese–Korea Treaty of
Amity pada tanggal 27 Februari 1876. Perjanjian tersebut menandai terbukanya perdagangan
Korea bagi Jepang. Korea dipaksa membuka tiga pelabuhan bagi perdagangan Jepang
serta memberikan hak ekstrateritorial (hak khusus) kepada warga negara Jepang yang sedang berada di Korea. Perjanjian tersebut
juga menjadi simbol bahwa Korea tidak lagi menjadi negara protektorat Cina.
Pada tahun 1910,
Jepang secara resmi menjajah Korea melalui Japan-Korea Annexation Treaty. Korea mengklaim bahwa perjanjian
itu tidak berlaku karena Kaisar Gojong tidak pernah memberikan segel kerajaan (segel
kerajaan selama ini menjadi simbol keabsahan kerajaan/kekaisaran). Namun
demikian Jepang tetap mengklaim bahwa perjanjian itu sah. Jepang secara de
facto selanjutnya mengendalikan Korea.
Pada masa penjajahan,
Jepang menguasai tenaga kerja dan tanah di Korea. Jepang memberlakukan pajak yang
tinggi bagi warga Korea dan bahkan menyebabkan mereka kehilangan kepemilikan
tanah di negaranya sendiri. Pada tahun 1932, kepemilikan tanah oleh Jepang di Korea mencapai
52,7% dari total tanah di Korea. Adapun tenant/penyewa tanahnya adalah orang Korea
sendiri, dimana penyewa tersebut harus membayar separuh dari hasil panen mereka
kepada Jepang sebagai 'sewa'. Karena biaya hidup yang mahal dan menderita, banyak orang Korea mengirimkan
istri dan putrinya ke pabrik ataupun tempat prostitusi agar mereka dapat
membayar pajak.
Di bidang
agrikultur, Jepang memerintahkan penebangan berbagai tanaman dan memaksa
penduduk untuk menanam tanaman yang berasal dari luar Korea. Kebijakan kolonial awal Jepang
adalah meningkatkan produksi pertanian di Korea untuk memenuhi kebutuhan beras Jepang
yang terus meningkat.
Di bidang industri, terjadi percepatan industrialisasi (guna menguntungkan
Jepang). Pada akhir tahun 1920-an hingga 1930-an, Jepang mulai membangun basis
industri di Korea (khususnya industri berat seperti pabrik kimia dan pabrik
baja, dan produksi amunisi). Jepang merasa akan lebih baik untuk memiliki
produksi lebih dekat ke sumber bahan baku yang diekspolitasi (yaitu Korea) sekaligus mempersiapkan perang dengan Cina
di masa depan.
Pada 1937-1945 adalah
tahun yang keras bagi warga Korea. Mereka dipaksa bekerja di pabrik-pabrik dan
dikirim sebagai tentara di barisan depan. Jepang saat itu sangat rajin berperang karena ingin meluaskan jajahan dan pengaruhnya. Pada masa itu, puluhan ribu wanita muda Korea
direkrut sebagai “wanita penghibur” untuk tentara Jepang.
Pada tahun 1939,
orang Korea ditekan oleh penguasa kolonial untuk mengubah nama mereka menjadi
nama-nama Jepang. Lebih dari 80% orang Korea mengubah namanya guna memudahkan
permasalahan administrasi dan pelayanan negara.
Di bidang budaya, salah
satu simbol kedaulatan dan kemerdekaan Korea yaitu Gyeongbok Palace dihancurkan
hingga tinggal sepertiga dari bangunan dan strukturnya yang tersisa. Istana tersebut
diubah menjadi tempat wisata bagi pengunjung Jepang.
Ringkasnya,
eksploitasi penjajahan Jepang terhadap Korea menyebabkan terjadinya
marginalisasi sejarah dan budaya Korea. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia juga
dilaksanakan secara masif dan sangat kontroversial.
Pada tanggal 15
Agustus 1945, penguasaan Jepang terhadap Korea resmi berakhir, karena Jepang
menyerah kepada Pasukan Sekutu yang saat itu dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Uniknya, pada saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, Korea saat itu menjadi negara kedua yang paling maju industrinya (setelah Jepang sendiri) di
Asia.
No comments:
Post a Comment