Pada tanggal 15
Agustus 1945, Korea memperoleh kemerdekaannya dari penjajah Jepang yang telah
kalah perang dalam Perang Dunia II. PBB kemudian bermaksud membentuk pemerintahan
baru yang diharapkan disepakati oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun pada
kenyataannya, Uni Soviet menolak untuk bekerja sama dalam membentuk
pemerintahan baru tersebut, sehingga Korea terbelah menjadi Korea Utara (berkiblat ke
Uni Soviet) dan Korea Selatan (berkiblat ke Amerika Serikat).
Sejak 1945 hingga
1948, Korsel berada di bawah kendali Pemerintah Militer Amerika.
Pada tahun 1948, Korsel menyelenggarakan pemilihan demokratis pertamanya. Presiden pertama terpilih adalah Syngman Rhee
dan dilantik pada tahun 1949. Sebagai presiden, Syngman Rhee
menjadi diktator dan menjalankan kekuasaannya secara otoriter (dia terkenal tidak segan menyingkirkan/membunuh orang yang
menentang programnya).
Di bidang
perekonomian, Korea Selatan pada saat itu merupakan salah satu negara termiskin
di dunia. Perekonomiannya didominasi agriculture/pertanian. Adapun di bidang
industri hanya ada light industry, karena heavy industry dan tenaga listrik ada
di Korea Utara). Bahkan dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Korut
mendapatkan 95% dari produksi kimia dasar, 99% pupuk kimia, 97% dari output
baja, sisanya dimiliki Korsel.
Pemerintah Korsel selanjutnya melakukan reformasi agraria dan mendistribusikan tanah menjadi
lebih egaliter. Di kemudian hari, reformasi agraria yang dilakukan pada awal
1950-an ditunjang dengan penyebaran pendidikan modern dan perluasan ekonomi
menyebabkan hilangnya kelas Yangban yang dulu sangat diistimewakan. Pada saat
yang bersamaan, muncul elit baru yang berasal dari rakyat jelata.
Pada masa perekonomian
yang sangat buruk, pendidikan menjadi prioritas tertinggi negara (dedikasi dan
investasi untuk pendidikan tersebut di kemudian hari menghasilkan tenaga kerja terlatih
yang kemudian menjadi mesin penggerak perekonomian negara).
Di bidang politik, Presiden Syngman Rhee selalu mendorong
agar Korut dan Korsel disatukan dalam satu pemerintahan (saat itu terdapat
semacam perang dingin antar kedua negara tersebut). Pada tahun 1953, Presiden
Syngman Rhee melepaskan 25.000 tahanan antikomunis Korut (orang-orang ini dipulangkan
ke Korut). Hal ini menimbulkan Korut murka hingga memutuskan menyerang Korsel pada 25 Juni 1950.
Korut saat itu yakin bahwa Amerika Serikat tidak akan membantu Korea Selatan. Pada Perang Korea 1950-1953 tersebut, sebagian
besar infrastruktur yang dibangun selama pemerintahan Jepang hancur. Perang ini berhenti setelah Amerika Serikat dan Uni
Soviet ikut intervensi. Pasca Perang Korea, Korut tetap berada di bawah
kekuasaan / perlindungan Uni Soviet dan Korsel di bawah perlindungan
Amerika Serikat.
Pasca Perang Korea,
Korea Selatan tetap menjadi salah satu negara termiskin di dunia selama lebih
dari satu dekade. Pendapatan per kapita pada tahun 1950-1960 bahkan kurang dari
USD 100 (termasuk dalam kategori negara-negara termiskin dunia). Korea Selatan selanjutnya
sangat bergantung pada bantuan asing (lebih dari 90% dari anggaran berasal dari
bantuan asing). Sebagai informasi tambahan, saat itu hanya sekitar 30% dari luas lahan Korsel yang
bisa dibudidayakan.
Dari perspektif
historis evolusi kebijakan, era Perang pasca-Korea dapat diklasifikasikan
menjadi tiga fase:
1) Fase Import
Substitution / substitusi impor (1954-1960);
2) Fase Outward
Orientation / orientasi luar (1961-1979);
3) Fase Balance and
Stabilization (pasca-1980).
Kebijakan substitusi
impor (1954-1960) masih belum menghasilkan kinerja pertumbuhan yang istimewa. Beberapa
hal utama yang menonjol dalam kebijakan substitusi impor (1954-1960) adalah
tarif tinggi untuk barang impor serta tingginya hambatan bagi para importir. Namun
demikian, Pemerintah Korsel berhasil membangun kondisi yang kondusif untuk
perluasan sektor substitusi impor misalnya produksi semen, kaca, pupuk kimia,
kertas, serta industri ringan dan makanan.
Pada periode ini,
Pemerintah juga tetap fokus pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia
yang kelak bermanfaat sebagai dasar untuk pengembangan industri selanjutnya.
Pada pemilihan
presiden tahun 1960, Pemerintah mengklaim bahwa Presiden Syngman Rhee memperoleh
lebih dari 90% suara. Klaim ini memicu demonstrasi yang dipimpin mahasiswa guna menentang
kecurangan pemilu dan menuntut Syngman Rhee mengundurkan diri. Tuntutan ini
didukung oleh Majelis Nasional dan Pemerintah AS. Pada tahun itu juga Presiden
Syngman Rhee mengundurkan diri.
Setelah pengunduran
diri Presiden Syngman Rhee, Chang Myon terpilih sebagai presiden tetapi
digulingkan pada tahun 1961 oleh kudeta militer yang dipimpin oleh Park
Chung-hee.
Sebagai ringkasan, pada
tahun 1953-1961, pemulihan ekonomi Korea Selatan sangat lambat walaupun menjadi
negara penerima bantuan asing per kapita terbesar di dunia. Kurangnya
perencanaan, misalokasi dana bantuan, korupsi, gejolak politik, dan ancaman
perang dengan Korea Utara, semuanya membuat negara ini tidak menarik bagi
investor domestik dan asing.
Namun demikian, dua
reformasi besar yang dilaksanakan Presiden Syngman Rhee (1948-1961) membantu
mempersiapkan jalan bagi industrialisasi besar-besaran pada masa berikutnya.
Dua reformasi besar tersebut adalah reformasi pertanahan dan pengembangan
pendidikan.
No comments:
Post a Comment