Tulisan ini bukan tentang politik, tapi terinspirasi dari dialog
politik yang ditayangkan oleh TVRI beberapa minggu yang lalu
(saya lupa judul acaranya).
Dialog tersebut membahas tentang sikap PKS yang dianggap bermuka dua
(versi moderator) karena pada satu sisi menentang kenaikan harga BBM
yang akan segera ditetapkan Pemerintah, di sisi lain dia adalah partai
koalisi yang menempatkan beberapa menterinya di Kabinet/Pemerintah.
Kondisi tersebut memunculkan wacana agar Presiden SBY segera mencopot
Menteri PKS dari Kabinet. Hal yang menarik adalah, Presiden SBY tampaknya
ragu mencopot Menteri PKS tersebut (mungkin sedang menganalisis dampak
politiknya). Jika Menteri PKS dicopot Presiden, maka dikhawatirkan
menimbulkan kesan "teraniaya", sehingga menguntungkan PKS. Adapun Partai
Demokrat meminta agar PKS sadar diri dan menarik menterinya dari
Kabinet.
Menyikapi hal tersebut, seorang narasumber ahli hukum tata negara
mengatakan hal yang (menurut saya) menarik untuk dicermati : "Sesuai
konstitusi, pemecatan Menteri adalah hak prerogatif Presiden, jadi kalau
memang Presiden ingin memecat Menteri, tidak perlu menunggu PKS untuk
menarik Menteri-nya dari Kabinet". Intinya pakar hukum tersebut sangat
ngotot bahwa apabila Presiden ingin mengganti menteri, itu sudah "sesuai
aturan" yang berlaku.
Hal yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya adalah :
Apakah apabila Presiden bertindak "sesuai aturan" maka akan selalu aman
(bagi dirinya sendiri)?
Dan apabila kita refleksi pada diri sendiri, timbul pertanyaan, apakah
apabila masyarakat bertindak "sesuai aturan" maka akan selalu aman (bagi
dirinya sendiri)?
Apabila dianalogikan dengan seorang pejalan kaki yang akan menyeberang
di jalanan Jakarta. Ketika lampu lalu lintas untuk pejalan kaki menyala
merah (sedangkan lampu untuk pemotor menyala hijau) dan si pejalan kaki
menyeberang jalan, apabila dia secara tidak sengaja tertabrak, maka itu
adalah kesalahannya sendiri. Tetapi ketika lampu lalu lintas untuk
pejalan kaki menyala hijau (sedangkan lampu untuk pemotor menyala merah)
dan dia menyeberang, apakah sudah pasti pejalan kaki itu tidak akan
tertabrak oleh pemotor? Itulah pertanyaan terbesarnya.
Ketika pejalan kaki menyeberang saat lampu untuk pejalan kaki menyala
hijau (lampu lalin untuk pemotor menyala merah), dia melakukan "sesuai
aturan", tapi belum tentu tidak celaka, karena para pemotor (pihak lain)
belum tentu bertindak sesuai aturan. Banyak pemotor di Jakarta yang
tidak peduli aturan dan menerobos lampu merah. Jadi sebagai pejalan
kaki, "bertindak sesuai aturan" itu tidak cukup. Selain harus berjalan
ketika lampu pejalan kaki berwarna hijau, dia juga tetap harus "tengok
kanan-kiri" agar tidak tertabrak pemotor-pemotor (pihak lain) yang suka
melanggar aturan.
Sekali lagi, tulisan ini bukan tentang politik, tapi terinspirasi dari
peristiwa politik. Hal ini menjadi pengingat/introspeksi bagi kita
sendiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari, "bertindak sesuai aturan"
semata itu tidak cukup,, jangan lupa "tengok kanan-kiri", hehe...
No comments:
Post a Comment