PENGERTIAN REKLAMASI & POLDER
Sebelum
membahas tentang reklamasi di Belanda, ada baiknya untuk terlebih dahulu memahami
kondisi topografis dan kondisi tanah di Belanda. Kondisi topografis daerah-daerah
di Belanda mayoritas datar dan ± 26% wilayahnya terletak di bawah permukaan
laut. Pengecualian atas kondisi topografi tersebut terdapat pada daerah-daerah di
kaki-kaki bukit di sebelah timur-selatan dan beberapa perbukitan di bagian
tengah.
Terdapat
sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kondisi topografis Belanda yang rendah
juga dipengaruhi jenis tanahnya yang didominasi oleh gambut (peatland). Ketika terjadi ekstraksi
gambut secara besar-besaran, maka akan membuat permukaan daratan menjadi turun,
sehingga banyak daerah yang berada di bawah permukaan laut. Ilustrasi sederhana
tanah gambut ini, bayangkan sebuah spon basah (contohnya spon untuk mencuci piring) yang rongga-rongganya
dipenuhi air. Ketika air di dalam rongga tersebut disedot / diekstraksi maka spon
tersebut akan mudah dimampatkan dan ketika diberi beban di atasnya maka
ketinggiannya pasti akan turun, seperti itulah tanah gambut.
Dilatarbelakangi
kondisi topografis yang berada di bawah permukaan laut serta jenis tanah berupa
gambut, Pemerintah Belanda melakukan berbagai intervensi secara artifisial
untuk mencegah banjir khususnya pada kota-kota ber-rawa gambut ekstensif di
muara laut atau tepi sungai. Pembangunan tanggul di sepanjang sungai dan laut
adalah bentuk intervensi yang paling terkenal yang dilaksanakan oleh Belanda.
Intervensi lain yang tidak kalah terkenal tentunya adalah reklamasi.
Mengacu
pada beberapa literatur, reklamasi daratan di Belanda dimulai sejak akhir abad
ke-16. Pada perkembangannya, reklamasi dilaksanakan pada daerah-daerah yang
berada di bawah permukaan laut melalui pengeringan air laut, danau, dan rawa. Rekayasa teknis diterapkan
terhadap sistem drainase di dalam daerah yang direklamasi tersebut. Biasanya pada
wilayah yang direklamasi tersebut juga dilengkapi tanggul sebagai pembatas untuk
mengisolir aliran air yang berasal dari luar wilayah tersebut (tanggul
merupakan komponen utama dalam reklamasi). Wilayah hasil reklamasi ini di kemudian hari terkenal sebagai polder
dan sistem drainase di dalamnya dikenal sebagai sistem polder.
Dari
penjelasan di atas terlihat bahwa pengertian reklamasi di Belanda agak berbeda
dengan di Indonesia. Reklamasi di Belanda biasanya dilaksanakan melalui
pengeringan air di dataran rendah, dataran gambut, danau, rawa, dan laut
dangkal. Sedangkan reklamasi di Indonesia biasanya dilaksanakan melalui
pengeringan air laut dangkal yang kemudian ditimbun/diurug dengan tanah. Sederhananya,
reklamasi di Indonesia dilaksanakan di laut dan harus ada pengurugan tanah karena
posisinya di laut dangkal, sementara reklamasi di Belanda dapat dilaksanakan di
darat (danau, sungai, rawa) ataupun di laut. Selain itu pada reklamasi di
Belanda, pengurugan pasir bukan faktor utama namun bukan pula menjadi hal yang
tabu untuk diaplikasikan apabila memang diperlukan untuk pematangan lahan.
Kembali
pada sistem polder yang dikembangkan oleh Belanda, tahap awal dalam
mengembangkan sistem polder adalah dengan membangun tanggul di sepanjang area
yang akan direklamasi. Tanggul ini pada tahap tertentu dapat memutus aliran
hidrologis dari luar daerah reklamasi ke dalam daerah reklamasi. Setelah
tanggul selesai dibangun, selanjutnya dilakukan pengeringan air di dalam area
reklamasi. Pada jaman dahulu, pengeringan air dari dalam polder dibuang keluar
polder dilakukan dengan menggunakan bantuan kincir angin (menggunakan sumber
energi angin), namun sekarang fungsi kincir angin digantikan oleh mesin pompa dengan
sumber energi listrik. Kincir angin pada masa sekarang lebih banyak digunakan
sebagai sumber energi (walaupun kincir
angin pada saat ini sudah jarang digunakan untuk mengeringkan air, namun
Belanda hingga kini tetap identik sebagai negara kincir angin).
Sumber gambar: internet |
Dengan
melihat upaya-upaya Belanda melawan banjir yang kemudian melahirkan berbagai inovasi
di bidang pengendalian banjir (termasuk reklamasi), maka tidak heran kalau seorang
filusuf Prancis Rene
Descartes
pernah berkata : “God created the world, but the Dutch created Holland”.
CONTOH TANAH HASIL REKLAMASI
Tanah
hasil reklamasi (polder) di Belanda digunakan untuk berbagai fungsi misalnya pertanian,
hunian, dan pelabuhan. Di antara sekian banyak kawasan reklamasi di Belanda,
terdapat beberapa lokasi yang sangat terkenal yaitu Haarlemmermeer, IJsselmeer Polders, dan tentunya Kawasan Pelabuhan Maasvlakte. Penjelasan singkat atas
masing-masing lokasi tersebut dapat dibaca di bawah ini.
Haarlemmermeer
Haarlemmermeer sebelum tahun 1800-an
adalah kawasan yang terdiri dari beberapa danau dan mulai direklamasi setelah
terjadinya hurricane pada tahun 1836.
Proses reklamasi diawali dengan pembangunan kanal di sekitar danau (Ringvaart atau Ring Canal) yang nantinya digunakan
sebagai jalur mengalirkan air dalam danau keluar danau. Kanal sepanjang 61 km
dan kedalaman 2,4 meter tersebut juga digunakan sebagai tempat lewat kapal yang
sebelumnya melewati waduk tersebut. Proses selanjutnya adalah membangun tanggul
sepanjang 30-50 meter mengitari danau yang mampu meng-cover area seluas 180 km2
dengan kedalaman danau sekitar 4 meter. Setelah kanal dan tanggul siap, maka
proses selanjutnya adalah menyedot / memompa / mengalirkan air dari dalam danau
keluar danau dengan menggunakan mesin uap (hal ini unik karena pemompaan air pada
masa itu biasanya menggunakan kincir angin). Setelah direklamasi, dominasi
penggunaan lahan di Haarlemmermeer adalah kawasan
pertanian, namun kini penggunaan lahan di Haarlemmermeer didominasi oleh industri
dan perkantoran. Bahkan bandara Schipol juga berada di area reklamasi ini dan
menempati sekitar 15% dari area Haarlemmermeer (area ini dekat Amsterdam).
IJsselmeer Polders
IJsselmeer
Polders
yang terdiri dari 4 polder direklamasi dari danau Ijssel (IJsselmeer). Ijsselmeer sendiri adalah danau
yang dahulu menyatu dengan Zuiderzee (teluk dangkal di Laut Utara) sebelum dipisahkan dengan bendungan
Afsluitdijk. Wieringermeer
Polder (193 km2) selesai dibangun pada
tahun 1930. The Northeast (Noordoost) Polder
(469 km2) selesai dibangun pada
tahun 1942. The East (Oostelijk) Flevoland
Polder (528 km2) selesai dibangun pada
tahun 1957. The South
(Zuidelijk) Flevoland Polder (430 km2) selesai
dibangun pada tahun 1968.
Keempat polder hasil reklamasi tersebut
memberikan tambahan area daratan bagi Belanda hingga mencapai 1,620 km2. Pada awalnya polder-polder ini dimaksudkan untuk digunakan
sebagai daerah pertanian misalnya jagung, gandum, kentang, dll (saat itu hasil pertanian masih mahal).
Namun demikian saat ini polder tersebut juga digunakan untuk kawasan industri, kawasan rekreasi, dan
tentunya kawasan permukiman.
Kawasan Pelabuhan
Maasvlakte
Kawasan
Pelabuhan Maasvlakte merupakan relokasi dari Pelabuhan Rotterdam yang sudah
penuh sesak sehingga memerlukan relokasi / perluasan. Kawasan Pelabuhan
Maasvlakte dibangun dalam dua tahap yaitu Maasvlakte I dan Maasvlakte II. Pada
pembangunan Maasvlakte I (1960an-1973), tanah yang digunakan untuk mengurug
daerah reklamasi berasal dari Danau Oostvoorne (danau tersebut berasal dari
penggalian tanah yang digunakan untuk mengurug Maasvlakte). Pada pembangunan Maasvlakte
II (2010-rencana selesai 2030), tanah yang digunakan berasal dari sea bed di North Sea. Proyek Maasvlakte 2 diharapkan mampu
menambah daratan baru seluas 5.000 hektar dan membuat Port of Rotterdam semakin
kompetitif. Sebagai informasi, Pelabuhan Rotterdam merupakan pelabuhan terbesar
di Eropa dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di dunia.
ASPEK LINGKUNGAN
Belanda
telah banyak melaksanakan reklamasi sejak sebelum tahun 1900-an. Pada masa-masa
awal reklamasi, aspek lingkungan tidak menjadi fokus utama. Hal ini disebabkan
latar belakang reklamasi pada saat itu dilaksanakan untuk melindungi penduduk
dari ancaman banjir (human protection
oriented). Bahkan sampai dengan dilaksanakannya reklamasi untuk pembangunan
pelabuhan Rotterdam / proyek Maasvlakte I pada tahun 1960an hingga 1973, aspek
lingkungan belum menjadi aspek dominan dalam pelaksanaan reklamasi. Pada
pembangunan proyek Maasvlakte I, aspek ekonomilah yang sangat dominan.
Namun
sejak digulirkannya proyek Maasvlakte II (2010-2030), aspek lingkungan menjadi
perhatian penting dan sejajar dengan aspek ekonomi. Pemerintah Belanda mulai
memperhatikan ekosistem di daerah yang akan direklamasi maupun di daerah sumber
pasir yang akan digunakan untuk pengurugan reklamasi. Pasir untuk pengurugan Maasvlakte
II berasal dari laut lepas (12 km dari garis pantai ke arah luar). Bahkan
metode pengerugan dari dasar laut pun diatur agar tidak merusak ekosistem laut
tersebut. Di sisi lain, terdapat lokasi breeding
dan resting sites untuk spesies
langka (ikan dan burung) yang terkena dampak pembangunan Maasvlakte II, maka
sebagai kompensasinya Pemerintah membangun semacam “rest area” buatan ataupun bukit
pasir buatan agar burung dan ikan yang termasuk dalam spesies langka memiliki
lokasi untuk breeding dan
beristirahat. Harapannya adalah sebisa mungkin jalur penerbangan burung langka
di Eropa tidak terganggu. Inti yang ingin disampaikan adalah bahwa aspek
lingkungan kini menjadi aspek yang dominan dalam pelaksanaan reklamasi di
Belanda.
TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH DAN PERAN SWASTA
Sebagaimana biasanya, pembangunan
reklamasi dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab Pemerintah
Belanda. Konsekuensinya bahwa sumber pendanaan juga berasal dari Pemerintah
Belanda. Adapun pihak swasta biasanya hanya berperan sebagai kontraktor ataupun
pihak yang membantu studi kelayakan proyek reklamasi tersebut. Konsep di
Belanda tersebut tentunya agak berbeda dengan reklamasi di Jakarta yang
pendanaannya tidak hanya berasal dari Pemerintah saja, namun dapat juga berasal
dari pihak swasta. Terkait skema pendanaan untuk reklamasi tersebut, bukan
berarti Belanda lebih baik dibandingkan Indonesia (karena pemilihan skema
pendanaan sangat kasuistis dan tergantung dengan kemampuan pendanaan
masing-masing negara). Yang menjadi penekanan utama dalam pelaksanaan reklamasi
seharusnya adalah bahwa tanggung jawab utama tetap ada di Pemerintah, bukan
swasta. Konsekuensinya, walaupun sumber pendanaan berasal dari swasta (dengan skema
Public-Private Partnership), bukan berarti dalam pelaksanaannya swasta bisa leluasa
mengatur Pemerintah, namun sudah seharusnya bahwa Pemerintah yang mengarahkan
swasta.