Monday, 13 August 2018

BELAJAR DARI BELANDA (03) : REKLAMASI DI BELANDA


PENGERTIAN REKLAMASI & POLDER
Sebelum membahas tentang reklamasi di Belanda, ada baiknya untuk terlebih dahulu memahami kondisi topografis dan kondisi tanah di Belanda. Kondisi topografis daerah-daerah di Belanda mayoritas datar dan ± 26% wilayahnya terletak di bawah permukaan laut. Pengecualian atas kondisi topografi tersebut terdapat pada daerah-daerah di kaki-kaki bukit di sebelah timur-selatan dan beberapa perbukitan di bagian tengah.

Terdapat sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kondisi topografis Belanda yang rendah juga dipengaruhi jenis tanahnya yang didominasi oleh gambut (peatland). Ketika terjadi ekstraksi gambut secara besar-besaran, maka akan membuat permukaan daratan menjadi turun, sehingga banyak daerah yang berada di bawah permukaan laut. Ilustrasi sederhana tanah gambut ini, bayangkan sebuah spon basah (contohnya spon untuk mencuci piring) yang rongga-rongganya dipenuhi air. Ketika air di dalam rongga tersebut disedot / diekstraksi maka spon tersebut akan mudah dimampatkan dan ketika diberi beban di atasnya maka ketinggiannya pasti akan turun, seperti itulah tanah gambut.

Dilatarbelakangi kondisi topografis yang berada di bawah permukaan laut serta jenis tanah berupa gambut, Pemerintah Belanda melakukan berbagai intervensi secara artifisial untuk mencegah banjir khususnya pada kota-kota ber-rawa gambut ekstensif di muara laut atau tepi sungai. Pembangunan tanggul di sepanjang sungai dan laut adalah bentuk intervensi yang paling terkenal yang dilaksanakan oleh Belanda. Intervensi lain yang tidak kalah terkenal tentunya adalah reklamasi.

Mengacu pada beberapa literatur, reklamasi daratan di Belanda dimulai sejak akhir abad ke-16. Pada perkembangannya, reklamasi dilaksanakan pada daerah-daerah yang berada di bawah permukaan laut melalui pengeringan air laut, danau, dan rawa. Rekayasa teknis diterapkan terhadap sistem drainase di dalam daerah yang direklamasi tersebut. Biasanya pada wilayah yang direklamasi tersebut juga dilengkapi tanggul sebagai pembatas untuk mengisolir aliran air yang berasal dari luar wilayah tersebut (tanggul merupakan komponen utama dalam reklamasi). Wilayah hasil reklamasi ini di kemudian hari terkenal sebagai polder dan sistem drainase di dalamnya dikenal sebagai sistem polder.  

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pengertian reklamasi di Belanda agak berbeda dengan di Indonesia. Reklamasi di Belanda biasanya dilaksanakan melalui pengeringan air di dataran rendah, dataran gambut, danau, rawa, dan laut dangkal. Sedangkan reklamasi di Indonesia biasanya dilaksanakan melalui pengeringan air laut dangkal yang kemudian ditimbun/diurug dengan tanah. Sederhananya, reklamasi di Indonesia dilaksanakan di laut dan harus ada pengurugan tanah karena posisinya di laut dangkal, sementara reklamasi di Belanda dapat dilaksanakan di darat (danau, sungai, rawa) ataupun di laut. Selain itu pada reklamasi di Belanda, pengurugan pasir bukan faktor utama namun bukan pula menjadi hal yang tabu untuk diaplikasikan apabila memang diperlukan untuk pematangan lahan.

Kembali pada sistem polder yang dikembangkan oleh Belanda, tahap awal dalam mengembangkan sistem polder adalah dengan membangun tanggul di sepanjang area yang akan direklamasi. Tanggul ini pada tahap tertentu dapat memutus aliran hidrologis dari luar daerah reklamasi ke dalam daerah reklamasi. Setelah tanggul selesai dibangun, selanjutnya dilakukan pengeringan air di dalam area reklamasi. Pada jaman dahulu, pengeringan air dari dalam polder dibuang keluar polder dilakukan dengan menggunakan bantuan kincir angin (menggunakan sumber energi angin), namun sekarang fungsi kincir angin digantikan oleh mesin pompa dengan sumber energi listrik. Kincir angin pada masa sekarang lebih banyak digunakan sebagai sumber energi (walaupun kincir angin pada saat ini sudah jarang digunakan untuk mengeringkan air, namun Belanda hingga kini tetap identik sebagai negara kincir angin)

Sumber gambar: internet
Dengan melihat upaya-upaya Belanda melawan banjir yang kemudian melahirkan berbagai inovasi di bidang pengendalian banjir (termasuk reklamasi), maka tidak heran kalau seorang filusuf Prancis Rene Descartes pernah berkata : “God created the world, but the Dutch created Holland”.

CONTOH TANAH HASIL REKLAMASI
Tanah hasil reklamasi (polder) di Belanda digunakan untuk berbagai fungsi misalnya pertanian, hunian, dan pelabuhan. Di antara sekian banyak kawasan reklamasi di Belanda, terdapat beberapa lokasi yang sangat terkenal yaitu Haarlemmermeer, IJsselmeer Polders, dan tentunya Kawasan Pelabuhan Maasvlakte. Penjelasan singkat atas masing-masing lokasi tersebut dapat dibaca di bawah ini.

Haarlemmermeer
Haarlemmermeer sebelum tahun 1800-an adalah kawasan yang terdiri dari beberapa danau dan mulai direklamasi setelah terjadinya hurricane pada tahun 1836. Proses reklamasi diawali dengan pembangunan kanal di sekitar danau (Ringvaart atau Ring Canal) yang nantinya digunakan sebagai jalur mengalirkan air dalam danau keluar danau. Kanal sepanjang 61 km dan kedalaman 2,4 meter tersebut juga digunakan sebagai tempat lewat kapal yang sebelumnya melewati waduk tersebut. Proses selanjutnya adalah membangun tanggul sepanjang 30-50 meter mengitari danau yang mampu meng-cover area seluas 180 km2 dengan kedalaman danau sekitar 4 meter. Setelah kanal dan tanggul siap, maka proses selanjutnya adalah menyedot / memompa / mengalirkan air dari dalam danau keluar danau dengan menggunakan mesin uap (hal ini unik karena pemompaan air pada masa itu biasanya menggunakan kincir angin). Setelah direklamasi, dominasi penggunaan lahan di Haarlemmermeer adalah kawasan pertanian, namun kini penggunaan lahan di Haarlemmermeer didominasi oleh industri dan perkantoran. Bahkan bandara Schipol juga berada di area reklamasi ini dan menempati sekitar 15% dari area Haarlemmermeer (area ini dekat Amsterdam).

IJsselmeer Polders
IJsselmeer Polders yang terdiri dari 4 polder direklamasi dari danau Ijssel (IJsselmeer). Ijsselmeer sendiri adalah danau yang dahulu menyatu dengan Zuiderzee (teluk dangkal di Laut Utara) sebelum dipisahkan dengan bendungan Afsluitdijk. Wieringermeer Polder (193 km2) selesai dibangun pada tahun 1930. The Northeast (Noordoost) Polder (469 km2) selesai dibangun pada tahun 1942. The East (Oostelijk) Flevoland Polder (528 km2) selesai dibangun pada tahun 1957. The South (Zuidelijk) Flevoland Polder (430 km2) selesai dibangun pada tahun 1968. Keempat polder hasil reklamasi tersebut memberikan tambahan area daratan bagi Belanda hingga mencapai 1,620 km2. Pada awalnya polder-polder ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai daerah pertanian misalnya jagung, gandum, kentang, dll (saat itu hasil pertanian masih mahal). Namun demikian saat ini polder tersebut juga digunakan untuk kawasan industri, kawasan rekreasi, dan tentunya kawasan permukiman.
 
Kawasan Pelabuhan Maasvlakte
Kawasan Pelabuhan Maasvlakte merupakan relokasi dari Pelabuhan Rotterdam yang sudah penuh sesak sehingga memerlukan relokasi / perluasan. Kawasan Pelabuhan Maasvlakte dibangun dalam dua tahap yaitu Maasvlakte I dan Maasvlakte II. Pada pembangunan Maasvlakte I (1960an-1973), tanah yang digunakan untuk mengurug daerah reklamasi berasal dari Danau Oostvoorne (danau tersebut berasal dari penggalian tanah yang digunakan untuk mengurug Maasvlakte). Pada pembangunan Maasvlakte II (2010-rencana selesai 2030), tanah yang digunakan berasal dari sea bed di North Sea. Proyek Maasvlakte 2 diharapkan mampu menambah daratan baru seluas 5.000 hektar dan membuat Port of Rotterdam semakin kompetitif. Sebagai informasi, Pelabuhan Rotterdam merupakan pelabuhan terbesar di Eropa dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di dunia.

ASPEK LINGKUNGAN
Belanda telah banyak melaksanakan reklamasi sejak sebelum tahun 1900-an. Pada masa-masa awal reklamasi, aspek lingkungan tidak menjadi fokus utama. Hal ini disebabkan latar belakang reklamasi pada saat itu dilaksanakan untuk melindungi penduduk dari ancaman banjir (human protection oriented). Bahkan sampai dengan dilaksanakannya reklamasi untuk pembangunan pelabuhan Rotterdam / proyek Maasvlakte I pada tahun 1960an hingga 1973, aspek lingkungan belum menjadi aspek dominan dalam pelaksanaan reklamasi. Pada pembangunan proyek Maasvlakte I, aspek ekonomilah yang sangat dominan.

Namun sejak digulirkannya proyek Maasvlakte II (2010-2030), aspek lingkungan menjadi perhatian penting dan sejajar dengan aspek ekonomi. Pemerintah Belanda mulai memperhatikan ekosistem di daerah yang akan direklamasi maupun di daerah sumber pasir yang akan digunakan untuk pengurugan reklamasi. Pasir untuk pengurugan Maasvlakte II berasal dari laut lepas (12 km dari garis pantai ke arah luar). Bahkan metode pengerugan dari dasar laut pun diatur agar tidak merusak ekosistem laut tersebut. Di sisi lain, terdapat lokasi breeding dan resting sites untuk spesies langka (ikan dan burung) yang terkena dampak pembangunan Maasvlakte II, maka sebagai kompensasinya Pemerintah membangun semacam “rest area buatan ataupun bukit pasir buatan agar burung dan ikan yang termasuk dalam spesies langka memiliki lokasi untuk breeding dan beristirahat. Harapannya adalah sebisa mungkin jalur penerbangan burung langka di Eropa tidak terganggu. Inti yang ingin disampaikan adalah bahwa aspek lingkungan kini menjadi aspek yang dominan dalam pelaksanaan reklamasi di Belanda.

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PERAN SWASTA
Sebagaimana biasanya, pembangunan reklamasi dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Belanda. Konsekuensinya bahwa sumber pendanaan juga berasal dari Pemerintah Belanda. Adapun pihak swasta biasanya hanya berperan sebagai kontraktor ataupun pihak yang membantu studi kelayakan proyek reklamasi tersebut. Konsep di Belanda tersebut tentunya agak berbeda dengan reklamasi di Jakarta yang pendanaannya tidak hanya berasal dari Pemerintah saja, namun dapat juga berasal dari pihak swasta. Terkait skema pendanaan untuk reklamasi tersebut, bukan berarti Belanda lebih baik dibandingkan Indonesia (karena pemilihan skema pendanaan sangat kasuistis dan tergantung dengan kemampuan pendanaan masing-masing negara). Yang menjadi penekanan utama dalam pelaksanaan reklamasi seharusnya adalah bahwa tanggung jawab utama tetap ada di Pemerintah, bukan swasta. Konsekuensinya, walaupun sumber pendanaan berasal dari swasta (dengan skema Public-Private Partnership), bukan berarti dalam pelaksanaannya swasta bisa leluasa mengatur Pemerintah, namun sudah seharusnya bahwa Pemerintah yang mengarahkan swasta. 

No comments: