Friday, 10 August 2018

BELAJAR DARI BELANDA (01) : PENGENDALIAN BANJIR DI BELANDA


A. BELANDA MERUPAKAN NEGARA YANG RAWAN BANJIR
Belanda merupakan salah satu negara yang sangat concern pada upaya pengendalian banjir. Hal tersebut dilatarbelakangi kondisi geografi dan topografinya yang rawan banjir. Dari sisi geografi, Belanda berada di daerah delta dan menjadi muara dari tiga sungai besar lintas-negara yaitu sungai Rhine/Rijn (hulunya di Swiss), sungai Meuse/Maas (hulunya di Prancis) dan sungai Scheldt/Schelde. Adapun dari sisi topografi, ± 26% wilayah negara Belanda berada di bawah permukaan laut dan dihuni oleh sekitar ± 21% total penduduk Belanda. Namun demikian, wilayah yang berada di bawah permukaan laut tersebut menjadi lokasi aktivitas ekonomi penting baik dalam skala domestik, regional, maupun global. Bahkan sebuah data menyebutkan bahwa 75% dari GNP Belanda dihasilkan dari wilayah-wilayah yang berada di bawah permukaan laut tersebut.

Kondisi geografis dan topografis Belanda yang rawan banjir tersebut diperparah dengan adanya perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca semakin tidak menentu dan intensitas hujan menjadi tidak normal. Curah hujan menjadi lebih besar daripada biasanya dan berdampak pada meluapnya sungai-sungai di Belanda, padahal sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Ancaman terhadap banjir tersebut membuat Belanda selanjutnya menjadi negara yang sangat aktif mempersiapkan diri menghadapi perubahan iklim karena dampaknya sangat terasa.

Merujuk pada catatan sejarah, Belanda telah berkali-kali mengalami kejadian banjir baik dalam skala besar hingga ringan. Salah satu banjir terbesar terjadi pada tahun 1212 dimana terdapat hampir 50.000 orang tewas dalam banjir Noord Holland. Selanjutnya pada tahun 1219, sekitar 36.000 orang meninggal oleh banjir St. Marcellus. Pada tahun 1287, lebih dari 60.000 orang tewas akibat banjir St. Lucia (hampir 10% dari seluruh penduduk pada saat itu). Sepanjang abad 12 hingga 19 juga terdapat berbagai kejadian banjir di Belanda. Pada tahun 1900-an ditandai banjir besar pada tahun 1916 di sekitar Zuiderzee yaitu di wilayah barat-utara Belanda yang berbatasan dengan laut lepas. Pada tahun 1953 dan 1955, terjadi North Sea flood yang membuat beberapa tanggul di selatan-barat Belanda runtuh, dengan lebih dari 1.800 orang tenggelam dalam banjir. Pada tahun 1993 dan 1995, sungai-sungai di Delta Rhine mengalami banjir tahunan disebabkan luapan air sungai-sungai. Pada saat banjir tahunan tahun 1995, terdapat 250.000 orang yang harus diungsikan.

B. UPAYA PENGENDALIAN BANJIR DI BELANDA
Upaya pengendalian banjir di Belanda dapat dibagi ke dalam beberapa timeline :
1) masa awal settlement,
2) awal 1900-an yang fokus pada pendekatan struktural,
3) pendekatan Room for The River Program, dan
4) era modern yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan teknologi oleh Pemerintah Kota dalam rangka mengatasi banjir perkotaan.   

B.1 Pengendalian banjir pada masa awal settlement
Mengacu pada sejarah, pengendalian banjir di Belanda sangat terkait erat dengan respon mereka atas peristiwa banjir yang terjadi pada masa itu. Pada abad pertama, ketika banjir kerap kali melanda Belanda, penduduk pada masa itu merespon dengan membangun bukit buatan (disebut terps) agar daerahnya lebih tinggi dari sekitarnya. Selanjutnya mereka membangun desa-desa dan kota-kota mereka di atas terps tersebut. Diantara terps tersebut kemudian dibangun semacam penghubung yang juga berfungsi sebagai tanggul penahan air (dianggap sebagai cikal bakal konsep tanggul pada era modern). Ketika banjir datang, rumah penduduk relatif lebih aman karena berada di atas terps.

Pada abad ke-13, Belanda mulai membangun tanggul dan menggunakan kincir angin untuk memompa air keluar dari daerah-daerah yang berada di bawah permukaan laut. Kincir angin tersebut mengalirkan air ke danau atau saluran di luar area yang telah dibatasi dengan tanggul. Area yang telah dibatasi tanggul dan airnya dipompa keluar ini selanjutnya disebut polder. Adapun polder secara sederhana adalah saluran dataran rendah yang tertutup oleh tanggul dan membentuk entitas hidrologi buatan (terdapat saluran yang mengalirkan air ke luar area tersebut) yang tidak memiliki hubungan dengan air luar selain melalui perangkat yang dioperasikan secara manual. Terkadang ada yang menyamakan polder dengan reklamasi.

Minimal terdapat tiga jenis polder di Belanda (mengacu pada asal terjadinya) :
1. Polder berupa tanah reklamasi yang berasal dari pengeringan danau atau laut (suatu daerah ditanggul dan kemudian air danau atau air laut dibuang ke luar daerah tersebut hingga daerah tersebut menjadi kering). Contohnya pada Ijsselmeer Polders.
2. Polder berupa dataran rawan banjir (flood plain) yang selanjutnya dipagari dengan tanggul agar terpisah dari laut atau sungai. Contohnya pada daerah di sekitar Haarlemmermeer.
3. Polder yang berasal dari rawa (tanah bergambut) yang dipisahkan dari air sekitarnya dan dipagari/dilindungi dengan tanggul. Air yang ada pada daerah gambut tersebut kemudian diekstraksi, dan selanjutnya daerah tersebut dikeringkan dan ditimbun atau diurug hingga menjadi dataran yang siap bangun.

B.2 Pengendalian banjir menggunakan pendekatan struktural
Upaya penanganan banjir pada masa lalu sangat didominasi oleh pendekatan struktural. Pemerintah Belanda membangun tanggul di sepanjang pinggir sungai dan pinggir laut agar air tidak masuk ke daerah permukiman. Di kemudian hari, terdapat dua megastruktur yang telah dibuat oleh Pemerintah Belanda dan sangat terkenal di dunia yaitu tanggul multifungsi Afsluitdijk dan tanggul Maeslantkering.

Zuiderzee Project & Afsluitdijk
Proyek ini dilatarbelakangi banyaknya banjir yang terjadi di Belanda khususnya pada lokasi di teluk Ijssel yang tersambung dengan Zuiderzee (teluk dangkal di Laut Utara), sehingga pada awal 1900-an terdapat wacana untuk membangun bendungan raksasa yang akan memisahkan Ijssel dari Zuiderzee (di kemudian hari bendungan ini dinamakan Afsluitdijk). Namun demikian wacana ini banyak mendapatkan tentangan karena kekhawatiran bahwa proyek tersebut akan membuat kenaikan muka air yang lebih tinggi di tempat lain. Nelayan di sepanjang Zuiderzee juga ikut menentang keras karena khawatir bahwa mereka akan kehilangan mata pencaharian akibat penutupan Ijssel. Proyek ini tidak diimplementasikan karena Pemerintah menganggap nilai proyek yang terlalu besar dianggap tidak sebanding dengan hasil yang didapat.

Namun demikian setelah terjadi banjir besar pada tahun 1916 di sekitar Zuiderzee dan juga akibat kekurangan pangan, terdapat perubahan pandangan dari seluruh elemen di Belanda, baik Pemerintah maupun masyarakat. Proyek pembangunan bendungan raksasa di Ijssel mendapatkan persetujuan politik dari Parlemen. Bendungan raksasa yang dikenal sebagai Afsluitdijk (bagian dari proyek Zuiderzeewerken) ini menjadi megastruktur pertama yang dibangun oleh Pemerintah Belanda untuk menanggulangi banjir di wilayah barat-selatan Belanda.

Secara keseluruhan, Zuiderzeewerken (Zuiderzee Project) yang dilaksanakan pada tahun 1918-1967 telah menciptakan empat polder sebesar ± 2,318 km2 (referensi lain menyebutkan ± 2.500 km2) yang merupakan area reklamasi untuk melindungi penduduk di sepanjang Ijssel. Adapun khusus bendungan/tanggul Afsluitdijk (yang merupakan bagian dari Zuiderzee Project) sepanjang ± 32 km dibangun pada tahun 1927-1932. Afsluitdijk memisahkan Zuiderzee dengan Ijssel dan menciptakan IJsselmeer (danau IJssel). Zuiderzee yang menelan biaya ± USD 710 juta (literatur lain menyebutkan ± USD 1,5 miliar) telah mengubah sebuah teluk air asin menjadi danau air tawar dan kemudian disebut danau Ijssel (Ijsselmeer).

Bahan material utama untuk tanggul Afsluitdijk adalah pasir, tanah liat, batu dan beberapa willow. Saat ini, Afsluitdijk digunakan dengan tujuan multifungsi tidak hanya sebagai tanggul penahan air laut. Afsluitdijk juga digunakan sebagai jalan tol, bahkan di kemudian hari juga menjadi lokasi penggunaan energi biru yang sumber energinya berasal dari angin, gelombang laut, dan campuran air garam (Laut Utara) dan air tawar (IJSselmmeeir Lake).

Delta Works & Maeslantkering
Jika pada tahun 1916 banjir terjadi di wilayah barat-utara Belanda yang berbatasan dengan laut lepas, maka pada tahun 1953 dan 1955 terjadi banjir di sisi barat-selatan Belanda. Berbeda dengan sisi barat-utara Belanda yang sudah aman dari ancaman laut karena sudah dibangun Afsluitdijk, sisi barat-selatan masih terbuka dari ancaman laut lepas. Pasca North Sea flood yang terjadi pada tahun 1953 dan 1955, Pemerintah Belanda merespon bencana ini dengan menjalankan proyek Delta Works (1958-1997) yaitu serangkaian proyek konstruksi untuk melindungi area di sekitar delta Rhine-Meuse-Scheldt dari ancaman laut lepas. Delta Works meliputi peningkatan 3.000 km outer sea dijk; peningkatan 10.000 km inner dijk, pembangunan kanal, pembangunan tanggul sungai, serta yang utama adalah menutup muara laut di provinsi Zeeland dan salah satu yang terbesar adalah tanggul Maeslantkering.

Pada dasarnya, tujuan utama dari Delta Works ini adalah untuk memperpendek garis pantai Belanda, sehingga mengurangi jumlah tanggul yang harus dibangun. Mulut sungai-sungai besar ditutup dan garis pantai sekitar 500 km dapat diperpendek. Khusus pembangunan tanggul raksasa Maeslantkering juga ditujukan untuk meningkatkan keamanan pelabuhan Rotterdam, kota-kota sekitarnya, dan daerah pertanian dari ancaman banjir.

B.3 Pengendalian banjir menggunakan pendekatan Room for The River Program
Walaupun pembangunan megastruktur Afsluitdijk dan Maeslantkering telah membuat Belanda aman dari ancaman laut lepas, namun bukan berarti Belanda telah aman sepenuhnya dari banjir. Pada tahun 1993 dan 1995, sungai-sungai di Delta Rhine masih mengalami banjir tahunan. Banjir kali ini bukan disebabkan laut lepas, melainkan disebabkan luapan air sungai-sungai (yang letaknya di tengah-tengah Belanda). Dengan kata lain, sungai-sungai di Belanda tidak mampu menampung kapasitas air yang harus diangkut dari hulu sampai hilir.

Banjir yang ekstrim pada tahun 1995 memicu perdebatan tentang cara Belanda mengelola sungai. Pemerintah Belanda menyadari bahwa pendekatan mereka selama ini yaitu meningkatkan tanggul di sepanjang sungai sudah tidak lagi memadai. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ketinggan tanggul setinggi 1,5 meter akan meningkatkan potensi kerusakan material/struktur sebesar 60%. Hal inilah yang menjadi titik tolak perubahan kebijakan pengendalian banjir di Belanda. Daripada menaikkan ketinggian tanggul, lebih baik memberikan ruang ekstra untuk sungai agar mampu menampung debit air terutama saat hujan. Konsep ini selanjutnya dikenal sebagai Room for The River Program.

Room for The River Program dikembangkan dengan konsep dasar bahwa tujuan utama program ini tidak hanya untuk mencegah banjir tetapi juga sekaligus untuk meningkatkan 'kualitas ruang' perkotaan. Room for The River Program tidak berarti meninggalkan pendekatan struktural, melainkan mengkombinasikan pendekatan struktural dengan penataan ruang. Room for The River Program sangat memperhatikan spatial quality issues dan tidak ada solusi tunggal untuk semua daerah, melainkan tailored-fit-solution. Konsep Room for The River Program sepintas terlihat sangat sederhana, namun demikian harus dipahami bahwa konsep pengendalian banjir memang sederhana yaitu agar air hujan bisa meresap ke dalam tanah, menggenang di penampungan air (misalnya waduk), dan mengalir dengan baik di sungai atau saluran.    

Dalam Room for The River Program, terdapat 9 model yang dapat diterapkan untuk memberikan ruang ekstra untuk sungai (peningkatan kapasitas sungai), misalnya memperluas daerah rawan banjir (floodplain excavation) di sekitar sungai, depoldering agar daerah untuk air menjadi lebih luas, memperlebar sungai dan memundurkan tanggul (relocation of dykes), memperdalam sungai (riverbed excavation), membangun storage agar bisa menampung air lebih banyak pada saat hujan dan mengurangi beban sungai, membangun channel/aliran sungai yang baru, dll. Solusi di setiap lokasi dapat berbeda-beda atau bahkan merupakan kombinasi solusi yang diterapkan disesuaikan dengan karakteristik pada daerah tersebut. Detail masing-masing konsep selanjutnya diimplementasikan dengan teknologi yang tinggi, misalnya menyangkut desain dan material waduk. 

Room for The River Program ini dimulai dari tahun 2007 dan selesai pada tahun 2015/2016 dengan estimasi biaya total 2,2 miliar euro. Room for The River Program dilaksanakan pada 39 titik proyek di sepanjang sungai Sheine, Meuse, dan Scheld. Salah satu hal faktor kunci kesuksesan adalah kolaborasi yang baik antara Rijkswaterstaad (Pemerintah Pusat), Water Boards, Pemerintah Provinsi dan Municipal (Pemerintah Kota). Ministrial of Instrastructure and Environment bertanggung jawab terhadap proyek secara keseluruhan, sementara Municipal bertanggung jawab terhadap desain, implementasi, dan feed back untuk Pemerintah Pusat.

Faktor kunci lain dari kesuksesan Room for The River Program adalah dukungan seluruh pihak khususnya masyarakat, termasuk pihak yang terdampak dari proyek ini. Program ini berdampak pada relokasi 150 rumah (sumber lain menyebutkan 125 tempat tinggal) dan 40 bisnis (sumber lain menyebutkan 50 bisnis) untuk digunakan sebagai ruang ekstra untuk sungai. Pemilik properti yang yang terdampak proyek diberi kesempatan untuk menjual dengan kompensasi penuh. Semua pihak memahami bahwa proyek ini sangat penting untuk menanggulangi banjir, sehingga mau memberikan dukungan kepada Pemerintah. Konsep Room for The River Program ini selanjutnya banyak mendapatkan penghargaan dari dunia internasional.

B.4 Upaya mengurangi tekanan pada sungai
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengendalian banjir di Belanda sangat mengandalkan pada kemampuan dan kapasitas tanggul dan sungai. Terlebih sejak diluncurkannya Room for The River Program, sungai semakin menjadi ujung tombak utama dalam pengendalian banjir di perkotaan. Di kemudian hari terdapat berbagai ide baru untuk mengurangi tekanan pada sungai. Di samping mengandalkan drainase dan saluran perkotaan, terdapat beberapa konsep kreatif yang dilakukan oleh Municipal untuk mengurangi tekanan pada sungai. Municipal Rotterdam misalnya membangun water plaza, green roofs, dan multifunctional carparks.

Water Plaza
Water plaza ini bersifat multifungsi. Apabila tidak ada hujan, plaza beroperasi seperti public square lainnya, yaitu tempat bagi publik untuk bertemu dan berkumpul dilengkapi tempat duduk dan ruang untuk pertunjukan publik, olahraga. Plaza ditempatkan di tempat-tempat strategis di sekitar kota dengan bentuk yang berbeda-beda. Plaza dirancang bertingkat dan dilengkapi saluran, sehingga pada saat curah hujan tinggi maka air hujan dapat diarahkan ke lokasi tersebut untuk ditampung sementara. Keberadaan Water Plaza pada musim penghujan sangat ampuh mengurangi volume air agar tidak langsung mengalir/melimpas ke sungai.
  
Green Roofs
Pada saat hujan deras, green roofs menyimpan air untuk sementara waktu, menyerap curah hujan, mengurangi kecepatan air hujan run-off. Dampaknya, tekanan pada saat hujan deras pada sistem drainase dan sungai berkurang. Rotterdam mempromosikan green roofs dalam berbagai cara, termasuk memberikan insentif kepada pemilik bangunan yang menerapkan konsep ini.

Multifunctional Car Parks
Penyimpanan air lain di Rotterdam yang sangat terkenal adalah multifunctional car parks, misalnya yang dekat Museumpark yang merupakan tempat parkir dilengkapi fasilitas penyimpanan air bawah tanah (disebut-sebut menjadi fasilitas penyimpanan air terbesar di Belanda). Penyimpanan air bawah tanah di lokasi ini dibangun untuk pembuangan air, dengan kapasitas tambahan 10.000 m3. Setiap kali hujan lebat, dalam waktu tiga puluh menit, 10 juta liter air hujan akan mengalir ke penyimpanan air. Ketika hujan berakhir, air hujan akan dipompa ke dalam selokan dan dibuang dengan cara biasa ke sungai.

C. KUNCI SUKSES PENGENDALIAN BANJIR DI BELANDA
Terdapat berbagai faktor pendukung keberhasilan pengendalian banjir di Belanda baik disebabkan faktor alam maupun faktor artificial/buatan. Detail atas faktor-faktor yang disebutkan di bawah ini mungkin akan bersifat subjektif dan agak makro.

Faktor alamiah yang utama adalah curah hujan yang rendah. Kalau tidak salah, dua hari hujan paling lebat tanpa henti di Jakarta sama dengan curah hujan setahun di Rotterdam. Walaupun pernyataan ini belum dicek keakuratannya, namun sudah cukup menggambarkan timpangnya curah hujan di Jakarta dan Rotterdam. Ringkasnya, curah hujan yang rendah di Belanda khususnya Rotterdam tentunya menyebabkan kinerja sungai maupun drainase perkotaan tidak terlalu berat.

Jumlah penduduk Belanda juga tidak terlalu besar dan masih manage-able (dalam konteks pengelolaan kota). Sebagai perbandingan, pada tahun 2014, Rotterdam dengan luas ± 325,79 km2 dihuni hanya ± 1 juta jiwa, sedangkan Jakarta dengan luas ± 650 km2 dihuni oleh sekitar ± 9,7 juta jiwa (belum termasuk penduduk Bodetabek). Karena jumlah penduduk di Rotterdam tidak terlalu besar, sehingga kompetisi memperebutkan ruang-ruang perkotaan juga tidak terlalu berat. Sangat berbeda dengan perebutan ruang-ruang perkotaan di Jakarta yang memaksa masyarakat yang termarginalkan terpaksa tinggal di daerah resapan air ataupun di bantaran sungai.

Dari sisi administrasi pemerintahan, di Belanda terdapat kejelasan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Municipal, serta lembaga fungsional seperti Water Board. Pembagian kewenangan ini didukung dengan pendanaan yang baik, misalnya tax/retribusi untuk pengendalian banjir benar-benar digunakan untuk program-program pengendalian banjir. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem pengelolaan keuangan di Indonesia yang bersifat melting pot dimana semua penerimaan (termasuk penerimaan dari sektor air) masuk dalam satu pot besar bernama APBN/APBD dan baru kemudian dibagi-bagi ke masing-masing sektor (termasuk di dalamnya pengendalian banjir).

Faktor pendukung keberhasilan pengendalian banjir lainnya adalah ketersediaan data dan teknologi. Konsep pengendalian banjir di Belanda pada dasarnya sangat sederhana dan mendasar, yaitu mengandalkan tanggul, sungai, dan drainase perkotaan yang memadai. Namun demikian, konsep sederhana tersebut diimplementasikan dengan didukung ketersediaan data dan teknologi yang memadai, sehingga menghasilkan dampak yang lebih baik. Kuncinya adalah konsep pengendalian banjir yang sederhana namun dibalut dengan teknologi tinggi.  

Pada saat Pemerintah akan melaksanakan relokasi untuk kepentingan pengendalian banjir (misalnya relokasi warga pinggir sungai), pelaksanaannya lebih mudah karena tingginya dukungan masyarakat. Adapun tingginya dukungan masyarakat disebabkan pemahaman bahwa program tersebut memang bermanfaat untuk mereka. Selain itu, masyarakat yang terkena dampak dan akan direlokasi juga bersedia menerima program tersebut karena mendapatkan kompensasi dalam jumlah cukup dan manusiawi. Pemerintah Belanda sangat menekankan proses negosiasi dan diskusi dalam proses relokasi. Hal yang memudahkan lainnya adalah jumlah penduduk yang akan direlokasi biasanya tidak banyak karena ruang perkotaan lain sebagai alternatif mereka untuk pindah juga masih banyak.

No comments: