A. BELANDA MERUPAKAN NEGARA YANG RAWAN BANJIR
Belanda merupakan salah satu negara yang sangat concern pada upaya pengendalian banjir.
Hal tersebut dilatarbelakangi kondisi geografi dan topografinya yang rawan
banjir. Dari sisi geografi, Belanda berada di daerah delta dan menjadi muara
dari tiga sungai besar lintas-negara yaitu sungai Rhine/Rijn (hulunya di Swiss),
sungai Meuse/Maas (hulunya di Prancis) dan sungai Scheldt/Schelde. Adapun dari sisi
topografi, ± 26% wilayah negara Belanda berada di bawah permukaan
laut dan dihuni oleh sekitar ± 21% total penduduk Belanda. Namun demikian, wilayah
yang berada di bawah permukaan laut tersebut menjadi
lokasi aktivitas ekonomi penting baik dalam
skala domestik, regional, maupun global. Bahkan sebuah data
menyebutkan bahwa 75% dari GNP Belanda dihasilkan
dari wilayah-wilayah yang berada di bawah permukaan laut tersebut.
Kondisi
geografis dan topografis Belanda yang rawan banjir tersebut diperparah dengan
adanya perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca semakin tidak menentu dan
intensitas hujan menjadi tidak normal. Curah hujan menjadi lebih besar daripada
biasanya dan berdampak pada meluapnya sungai-sungai di Belanda, padahal sebagian
wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Ancaman terhadap banjir tersebut membuat Belanda selanjutnya menjadi negara yang sangat aktif
mempersiapkan diri menghadapi perubahan iklim karena dampaknya sangat terasa.
Merujuk
pada catatan sejarah, Belanda telah berkali-kali mengalami kejadian banjir baik
dalam skala besar hingga ringan. Salah satu banjir terbesar
terjadi pada
tahun 1212 dimana
terdapat
hampir 50.000 orang tewas dalam banjir Noord Holland. Selanjutnya pada tahun 1219, sekitar 36.000 orang meninggal
oleh banjir St. Marcellus. Pada tahun 1287, lebih dari 60.000 orang tewas
akibat banjir St. Lucia (hampir 10% dari seluruh penduduk pada saat itu). Sepanjang abad 12 hingga 19
juga
terdapat berbagai kejadian
banjir di Belanda. Pada tahun 1900-an ditandai banjir besar pada tahun 1916 di
sekitar Zuiderzee yaitu di wilayah barat-utara Belanda yang berbatasan dengan laut lepas. Pada tahun 1953 dan 1955, terjadi North Sea flood yang membuat beberapa tanggul di
selatan-barat Belanda runtuh, dengan lebih dari 1.800 orang tenggelam dalam
banjir. Pada tahun 1993 dan 1995, sungai-sungai di Delta Rhine mengalami banjir tahunan disebabkan luapan air
sungai-sungai. Pada saat banjir tahunan tahun 1995, terdapat 250.000 orang yang harus diungsikan.
B. UPAYA PENGENDALIAN BANJIR
DI BELANDA
Upaya
pengendalian banjir di Belanda dapat dibagi ke dalam beberapa timeline :
1) masa
awal settlement,
2) awal
1900-an yang fokus pada pendekatan struktural,
3) pendekatan
Room for The River Program, dan
4) era
modern yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan teknologi oleh Pemerintah
Kota dalam rangka mengatasi banjir perkotaan.
B.1 Pengendalian
banjir pada masa awal settlement
Mengacu
pada sejarah, pengendalian banjir di Belanda sangat terkait erat dengan respon
mereka atas peristiwa banjir
yang
terjadi pada masa itu.
Pada abad pertama, ketika banjir kerap kali melanda Belanda, penduduk pada masa itu merespon
dengan membangun
bukit buatan (disebut terps) agar daerahnya lebih
tinggi dari sekitarnya. Selanjutnya mereka membangun desa-desa dan kota-kota mereka di atas terps tersebut. Diantara terps tersebut kemudian dibangun semacam penghubung yang juga
berfungsi sebagai tanggul penahan air (dianggap sebagai cikal bakal konsep tanggul
pada era modern). Ketika
banjir datang, rumah penduduk relatif lebih aman
karena berada di atas terps.
Pada abad
ke-13, Belanda mulai membangun tanggul dan menggunakan kincir angin untuk memompa air keluar dari daerah-daerah yang berada di bawah permukaan laut. Kincir
angin tersebut
mengalirkan air ke danau atau saluran di luar
area yang telah dibatasi dengan tanggul. Area yang telah dibatasi tanggul dan
airnya dipompa keluar ini selanjutnya disebut polder. Adapun polder secara
sederhana adalah saluran
dataran rendah yang tertutup
oleh tanggul dan membentuk
entitas hidrologi buatan (terdapat saluran yang mengalirkan air ke luar area tersebut) yang tidak memiliki hubungan
dengan air luar selain melalui perangkat yang dioperasikan secara manual. Terkadang ada yang
menyamakan polder
dengan reklamasi.
Minimal
terdapat tiga jenis polder di Belanda (mengacu pada
asal terjadinya) :
1. Polder berupa tanah reklamasi yang berasal dari
pengeringan danau
atau laut (suatu
daerah ditanggul dan kemudian air danau atau air laut dibuang ke luar daerah
tersebut hingga daerah tersebut menjadi kering). Contohnya pada Ijsselmeer Polders.
2. Polder berupa dataran rawan banjir (flood plain) yang selanjutnya
dipagari dengan tanggul agar terpisah dari laut atau sungai. Contohnya pada daerah di sekitar Haarlemmermeer.
3. Polder yang berasal dari rawa (tanah bergambut) yang dipisahkan
dari air sekitarnya dan dipagari/dilindungi dengan tanggul. Air yang ada pada daerah gambut tersebut kemudian diekstraksi,
dan selanjutnya daerah tersebut dikeringkan dan ditimbun atau diurug hingga
menjadi dataran yang siap bangun.
B.2 Pengendalian banjir
menggunakan pendekatan struktural
Upaya
penanganan banjir pada masa lalu sangat didominasi oleh pendekatan struktural.
Pemerintah Belanda membangun tanggul di sepanjang pinggir sungai dan pinggir
laut agar air tidak masuk ke daerah permukiman. Di kemudian hari, terdapat dua
megastruktur yang telah dibuat oleh Pemerintah Belanda dan sangat terkenal di
dunia yaitu tanggul multifungsi Afsluitdijk dan tanggul Maeslantkering.
Zuiderzee Project
& Afsluitdijk
Proyek
ini dilatarbelakangi banyaknya
banjir yang terjadi di Belanda khususnya pada lokasi di teluk Ijssel yang tersambung dengan Zuiderzee (teluk dangkal di Laut Utara), sehingga pada
awal 1900-an terdapat wacana untuk membangun
bendungan raksasa yang akan memisahkan Ijssel dari Zuiderzee (di kemudian hari
bendungan ini dinamakan Afsluitdijk). Namun demikian wacana ini banyak mendapatkan tentangan karena
kekhawatiran bahwa proyek tersebut akan membuat kenaikan muka air yang lebih
tinggi di tempat lain. Nelayan di sepanjang Zuiderzee juga ikut menentang keras
karena khawatir bahwa mereka akan kehilangan mata pencaharian akibat penutupan
Ijssel. Proyek ini tidak diimplementasikan
karena Pemerintah menganggap nilai proyek yang terlalu besar dianggap tidak
sebanding dengan hasil yang didapat.
Namun
demikian setelah terjadi banjir besar pada tahun 1916 di sekitar Zuiderzee dan
juga akibat kekurangan pangan, terdapat perubahan pandangan dari seluruh elemen
di Belanda, baik Pemerintah maupun masyarakat. Proyek pembangunan bendungan
raksasa di Ijssel mendapatkan persetujuan politik dari Parlemen. Bendungan
raksasa yang dikenal sebagai Afsluitdijk (bagian dari proyek Zuiderzeewerken) ini
menjadi megastruktur pertama yang dibangun oleh Pemerintah Belanda untuk
menanggulangi banjir di wilayah barat-selatan Belanda.
Secara
keseluruhan, Zuiderzeewerken (Zuiderzee Project) yang dilaksanakan pada tahun
1918-1967 telah menciptakan empat polder sebesar ± 2,318 km2 (referensi lain
menyebutkan ± 2.500 km2) yang merupakan area reklamasi untuk melindungi
penduduk di sepanjang Ijssel. Adapun khusus bendungan/tanggul Afsluitdijk (yang
merupakan bagian dari Zuiderzee Project) sepanjang ± 32 km dibangun pada tahun
1927-1932. Afsluitdijk memisahkan Zuiderzee dengan Ijssel dan menciptakan
IJsselmeer (danau IJssel). Zuiderzee yang menelan biaya ± USD 710 juta
(literatur lain menyebutkan ± USD 1,5 miliar) telah mengubah sebuah teluk air
asin menjadi danau air tawar dan kemudian disebut danau Ijssel (Ijsselmeer).
Bahan material utama untuk tanggul Afsluitdijk adalah pasir, tanah
liat, batu dan beberapa willow. Saat ini, Afsluitdijk digunakan dengan tujuan multifungsi tidak hanya sebagai
tanggul penahan air laut. Afsluitdijk juga digunakan sebagai jalan tol,
bahkan di kemudian hari juga menjadi
lokasi penggunaan
energi biru yang
sumber energinya berasal dari angin, gelombang
laut, dan campuran air garam (Laut Utara) dan air tawar (IJSselmmeeir Lake).
Delta Works & Maeslantkering
Jika
pada tahun 1916 banjir terjadi di wilayah barat-utara Belanda yang berbatasan
dengan laut lepas, maka pada tahun 1953 dan 1955 terjadi banjir di sisi barat-selatan Belanda. Berbeda dengan sisi barat-utara Belanda yang
sudah aman dari ancaman laut karena sudah dibangun Afsluitdijk, sisi
barat-selatan masih terbuka dari ancaman laut lepas. Pasca North
Sea flood yang terjadi pada tahun 1953 dan 1955, Pemerintah Belanda
merespon bencana ini dengan menjalankan
proyek Delta Works (1958-1997) yaitu serangkaian proyek konstruksi
untuk melindungi area di sekitar
delta Rhine-Meuse-Scheldt dari ancaman laut lepas.
Delta Works meliputi peningkatan 3.000 km outer sea dijk; peningkatan 10.000 km inner dijk, pembangunan kanal, pembangunan tanggul sungai, serta yang utama adalah menutup muara laut di provinsi
Zeeland dan
salah satu yang terbesar adalah tanggul Maeslantkering.
Pada
dasarnya, tujuan utama dari Delta Works ini adalah untuk memperpendek garis
pantai Belanda, sehingga mengurangi jumlah tanggul yang harus dibangun. Mulut sungai-sungai besar ditutup
dan garis pantai sekitar 500 km dapat diperpendek. Khusus pembangunan tanggul raksasa Maeslantkering juga ditujukan untuk meningkatkan keamanan pelabuhan
Rotterdam, kota-kota sekitarnya, dan daerah pertanian dari ancaman banjir.
B.3 Pengendalian
banjir menggunakan pendekatan Room for The River Program
Walaupun
pembangunan megastruktur Afsluitdijk dan Maeslantkering telah membuat Belanda aman
dari ancaman laut lepas, namun bukan berarti Belanda telah aman sepenuhnya dari
banjir. Pada tahun
1993 dan 1995, sungai-sungai di Delta Rhine masih
mengalami banjir
tahunan. Banjir
kali ini bukan disebabkan laut lepas, melainkan disebabkan luapan air sungai-sungai (yang letaknya di
tengah-tengah Belanda). Dengan kata lain,
sungai-sungai di Belanda tidak mampu menampung kapasitas air yang harus
diangkut dari hulu sampai hilir.
Banjir
yang ekstrim pada
tahun 1995 memicu
perdebatan tentang cara Belanda mengelola
sungai. Pemerintah Belanda menyadari bahwa pendekatan
mereka selama
ini yaitu meningkatkan
tanggul di
sepanjang sungai sudah tidak lagi memadai. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
ketinggan tanggul setinggi 1,5 meter akan meningkatkan
potensi kerusakan material/struktur sebesar 60%. Hal inilah yang menjadi
titik tolak perubahan
kebijakan pengendalian
banjir di Belanda. Daripada menaikkan ketinggian tanggul, lebih baik memberikan ruang ekstra untuk
sungai agar
mampu menampung debit air terutama saat hujan. Konsep ini selanjutnya dikenal sebagai Room for The River Program.
Room for The River Program dikembangkan dengan konsep dasar bahwa tujuan
utama program ini tidak hanya untuk mencegah banjir tetapi juga sekaligus untuk
meningkatkan 'kualitas
ruang'
perkotaan. Room for The River Program tidak berarti
meninggalkan pendekatan struktural, melainkan mengkombinasikan pendekatan struktural dengan penataan ruang. Room for The River Program sangat memperhatikan spatial quality issues dan tidak ada solusi
tunggal untuk semua daerah, melainkan tailored-fit-solution.
Konsep Room for The River Program sepintas terlihat sangat sederhana, namun demikian harus dipahami bahwa
konsep pengendalian banjir memang sederhana yaitu agar air hujan bisa meresap
ke dalam tanah, menggenang di penampungan air (misalnya waduk), dan mengalir
dengan baik di sungai atau saluran.
Dalam
Room for The River Program, terdapat 9 model yang dapat diterapkan untuk memberikan
ruang ekstra untuk sungai (peningkatan kapasitas sungai), misalnya memperluas
daerah rawan banjir (floodplain excavation) di sekitar sungai, depoldering agar
daerah untuk air menjadi lebih luas, memperlebar sungai dan memundurkan tanggul
(relocation of dykes), memperdalam sungai (riverbed excavation), membangun
storage agar bisa menampung air lebih banyak pada saat hujan dan mengurangi
beban sungai, membangun channel/aliran
sungai yang baru, dll. Solusi di setiap lokasi dapat berbeda-beda atau bahkan merupakan
kombinasi solusi yang diterapkan disesuaikan dengan karakteristik pada daerah
tersebut. Detail masing-masing konsep selanjutnya diimplementasikan dengan
teknologi yang tinggi, misalnya menyangkut desain dan material waduk.
Room for The River Program ini dimulai dari tahun 2007 dan
selesai pada tahun 2015/2016 dengan
estimasi biaya total 2,2 miliar euro. Room for
The River Program dilaksanakan pada 39 titik proyek di sepanjang
sungai Sheine, Meuse, dan Scheld. Salah satu hal faktor kunci kesuksesan adalah kolaborasi yang baik antara Rijkswaterstaad (Pemerintah Pusat), Water Boards, Pemerintah Provinsi dan Municipal (Pemerintah
Kota). Ministrial of
Instrastructure and Environment bertanggung jawab terhadap proyek secara keseluruhan,
sementara Municipal
bertanggung jawab terhadap desain, implementasi, dan feed back untuk Pemerintah Pusat.
Faktor
kunci lain dari kesuksesan Room for The
River Program adalah dukungan seluruh pihak khususnya
masyarakat, termasuk pihak yang terdampak dari proyek ini. Program ini berdampak pada relokasi 150 rumah (sumber lain menyebutkan
125 tempat tinggal) dan 40 bisnis (sumber lain menyebutkan 50 bisnis) untuk digunakan sebagai ruang ekstra untuk sungai. Pemilik properti
yang yang
terdampak proyek diberi
kesempatan untuk menjual dengan kompensasi
penuh. Semua
pihak memahami bahwa proyek ini sangat penting untuk menanggulangi banjir,
sehingga mau memberikan dukungan kepada Pemerintah. Konsep Room for The River Program ini selanjutnya banyak
mendapatkan penghargaan dari dunia internasional.
B.4 Upaya mengurangi
tekanan pada sungai
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, pengendalian banjir di Belanda sangat mengandalkan
pada kemampuan dan kapasitas tanggul dan sungai. Terlebih sejak diluncurkannya Room for The River Program, sungai semakin menjadi
ujung tombak utama dalam pengendalian banjir di perkotaan. Di kemudian hari
terdapat berbagai ide baru untuk mengurangi tekanan pada sungai. Di samping mengandalkan
drainase dan saluran perkotaan, terdapat beberapa konsep kreatif yang dilakukan
oleh Municipal untuk mengurangi tekanan pada sungai. Municipal Rotterdam misalnya
membangun water plaza, green roofs, dan
multifunctional carparks.
Water Plaza
Water
plaza ini bersifat multifungsi. Apabila tidak ada hujan, plaza beroperasi seperti public square lainnya, yaitu tempat bagi publik untuk bertemu dan berkumpul dilengkapi tempat duduk dan ruang untuk pertunjukan publik,
olahraga. Plaza
ditempatkan di
tempat-tempat strategis di sekitar kota dengan bentuk yang berbeda-beda. Plaza dirancang bertingkat dan dilengkapi saluran, sehingga pada saat curah
hujan tinggi
maka air hujan dapat diarahkan ke lokasi tersebut untuk ditampung sementara.
Keberadaan Water Plaza pada musim penghujan sangat ampuh mengurangi volume air agar
tidak langsung mengalir/melimpas ke sungai.
Green Roofs
Pada
saat hujan deras, green roofs menyimpan air untuk
sementara waktu, menyerap curah hujan, mengurangi kecepatan air hujan run-off. Dampaknya, tekanan pada saat
hujan deras pada sistem drainase dan sungai berkurang. Rotterdam mempromosikan green
roofs dalam berbagai cara, termasuk memberikan insentif kepada pemilik
bangunan
yang menerapkan konsep ini.
Multifunctional Car Parks
Penyimpanan
air lain di
Rotterdam yang sangat terkenal adalah multifunctional car parks,
misalnya yang dekat Museumpark yang merupakan tempat parkir dilengkapi fasilitas penyimpanan
air bawah tanah (disebut-sebut menjadi fasilitas penyimpanan air terbesar di
Belanda). Penyimpanan air bawah tanah di lokasi ini dibangun untuk pembuangan air,
dengan kapasitas tambahan 10.000 m3. Setiap kali hujan lebat, dalam waktu tiga
puluh menit, 10 juta liter air hujan akan mengalir ke penyimpanan air. Ketika
hujan berakhir, air hujan akan dipompa ke dalam selokan dan dibuang dengan cara
biasa ke
sungai.
C. KUNCI SUKSES PENGENDALIAN
BANJIR DI BELANDA
Terdapat
berbagai faktor pendukung keberhasilan pengendalian banjir di Belanda baik disebabkan
faktor alam maupun faktor artificial/buatan. Detail atas faktor-faktor yang
disebutkan di bawah ini mungkin akan bersifat subjektif dan agak makro.
Faktor
alamiah yang utama adalah curah hujan
yang rendah. Kalau tidak salah, dua hari hujan paling lebat tanpa henti
di Jakarta sama dengan curah hujan setahun di Rotterdam. Walaupun pernyataan
ini belum dicek keakuratannya, namun sudah cukup menggambarkan timpangnya curah
hujan di Jakarta dan Rotterdam. Ringkasnya, curah hujan yang rendah di Belanda
khususnya Rotterdam tentunya menyebabkan kinerja
sungai maupun drainase perkotaan tidak terlalu berat.
Jumlah penduduk Belanda juga tidak terlalu besar
dan masih manage-able (dalam konteks
pengelolaan kota). Sebagai perbandingan, pada tahun 2014, Rotterdam dengan luas
± 325,79 km2 dihuni hanya ± 1 juta jiwa, sedangkan Jakarta dengan luas ± 650 km2 dihuni oleh sekitar ± 9,7
juta jiwa (belum termasuk penduduk Bodetabek). Karena jumlah penduduk di
Rotterdam tidak terlalu besar, sehingga kompetisi
memperebutkan ruang-ruang perkotaan juga tidak terlalu berat. Sangat
berbeda dengan perebutan ruang-ruang perkotaan di Jakarta yang memaksa
masyarakat yang termarginalkan terpaksa tinggal di daerah resapan air ataupun
di bantaran sungai.
Dari
sisi administrasi pemerintahan, di Belanda terdapat kejelasan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, Municipal, serta lembaga fungsional seperti Water Board.
Pembagian kewenangan ini didukung dengan pendanaan yang baik, misalnya
tax/retribusi untuk pengendalian banjir benar-benar digunakan untuk
program-program pengendalian banjir. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem
pengelolaan keuangan di Indonesia yang bersifat melting pot dimana semua penerimaan (termasuk penerimaan dari
sektor air) masuk dalam satu pot besar bernama APBN/APBD dan baru kemudian
dibagi-bagi ke masing-masing sektor (termasuk di dalamnya pengendalian banjir).
Faktor
pendukung keberhasilan pengendalian banjir lainnya adalah ketersediaan data dan teknologi.
Konsep pengendalian banjir di Belanda pada dasarnya sangat sederhana dan mendasar,
yaitu mengandalkan tanggul, sungai,
dan drainase perkotaan yang memadai. Namun demikian, konsep sederhana tersebut
diimplementasikan dengan didukung ketersediaan data dan teknologi yang memadai,
sehingga menghasilkan dampak yang lebih baik. Kuncinya adalah konsep pengendalian banjir yang sederhana
namun dibalut dengan teknologi tinggi.
Pada
saat Pemerintah akan melaksanakan relokasi untuk kepentingan pengendalian
banjir (misalnya relokasi warga pinggir sungai), pelaksanaannya lebih mudah
karena tingginya dukungan masyarakat.
Adapun tingginya dukungan masyarakat disebabkan pemahaman bahwa program tersebut
memang bermanfaat untuk mereka. Selain itu, masyarakat yang terkena dampak dan
akan direlokasi juga bersedia menerima program tersebut karena mendapatkan
kompensasi dalam jumlah cukup dan manusiawi. Pemerintah Belanda sangat menekankan proses negosiasi dan diskusi dalam
proses relokasi. Hal yang memudahkan lainnya adalah jumlah penduduk
yang akan direlokasi biasanya tidak banyak karena ruang perkotaan lain sebagai alternatif mereka untuk pindah juga masih
banyak.
No comments:
Post a Comment