Sunday, 12 August 2018

BELAJAR DARI BELANDA (02) : TATA KELOLA AIR DI BELANDA

PEMBAGIAN KEWENANGAN TATA KELOLA AIR DI BELANDA
Mengacu pada studi OECD, tata kelola air di Belanda terdiri dari pengelolaan beberapa fungsi penting antara lain :
  1. Flood defence (penanggulangan banjir).
  2. Water quantity and drainage (pengelolaan kuantitas air dan drainas).
  3. Water quality (pengelolaan kualitas air).
  4. Sewage management & wastewater treatment (pengelolaan limbah & pengolahan air limbah).
  5. Drinking water supply (penyediaan air minum).
Dari tabel di atas terlihat bahwa manajemen pengelolaan air di Belanda merupakan tanggung jawab otoritas publik dengan rincian sebagai berikut :

  •  Pemerintah Pusat (Ministry of Infrastructure and Environment) bertanggung jawab atas kebijakan air nasional

  • Rijkswaterstaat (National Water Authority), yang merupakan executing agency dari Kementerian (Ministry of Infrastructure and Environment) bertanggung jawab untuk desain, konstruksi, manajemen dan pemeliharaan fasilitas infrastruktur operasi dan main water system (North Sea, Wadden Sea, Lake IJsselmeer and the major rivers and channels).
  • Pemerintah Provinsi bertugas menyusun rencana air regional, melaksanakan supervisi atas primary flood defence structures, dan memberikan izin untuk ekstraksi air tanah (ground water extraction) skala besar.
  • Pemerintah Kota (Municipal) bertugas melaksanakan pengumpulan dan pengangkutan air limbah perkotaan dan menangani air hujan dan air tanah di daerah perkotaan. Mereka melaksanakan water assessment instrument, mengakomodasi water management dalam keputusan perencanaan tata ruang.
  • Water Board (Regional Water Authority) bertugas mempertahankan water level dan melindungi suatu region/daerah dari banjir. Apabila Rijkswaterstaat bertanggung jawab untuk pertahanan pesisir (menjaga garis pantai) dan main water system, maka Water Board bertanggung jawab mengelola tanggul utama (± 3.400 kilometer) dan tanggul lainnya (± 14.000 kilometer).
  • Perusahaan swasta berperan dalam berbagai kegiatan seperti pengerukan dan pembangunan tanggul, stasiun pompa, dan instalasi pengolahan air limbah.

KELEMBAGAAN DALAM PENANGGULANGAN BANJIR (FLOOD DEFENCE)
Penanggulangan banjir utama yang berkaitan dengan main water system (yang terkait dengan perlindungan terhadap North Sea, Wadden Sea, Lake IJsselmeer and the major rivers and channels) merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun demikian, dalam konteks pengendalian banjir perkotaan, tanggung jawab penanggulangan banjir selanjutnya didesentralisasikan secara teritorial maupun fungsional. Dalam desentralisasi teritorial, penanggulangan banjir menjadi tanggung jawab Provinsi dan Municipal. Dalam desentralisasi fungsional, penanggulangan banjir menjadi tanggung jawab Water Board.

Konsekuensi pembagian kewenangan sebagaimana disebutkan di atas adalah Pemerintah Pusat membangun dan mengelola sendiri primary flood defence structures. Adapun secondary flood defence structures (khususnya di perkotaan) menjadi tanggung jawab Water Board. Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Pusat memberikan subsidi kepada Water Board untuk mengelola sebagian primary flood defence structures. Pada perkembangan lebih lanjut, dengan adanya Administrative Agreement on Water Affairs tahun 2011, kembali terjadi perubahan signifikan. Apabila sebelumnya pemerintah pusat memberikan subsidi 100% kepada Water Board untuk pembiayaan primary flood defence structures, diubah menjadi transfer 50% dan sisanya menjadi tanggung jawab Water Board. Peran Pemerintah Provinsi adalah melakukan pengawasan atas semua primary flood defence structures (sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat).

Walaupun tanggung jawab utama pengendalian banjir berada di tangan Pemerintah Pusat dan Water Board, namun Municipal juga dapat berpartisipasi dalam pengendalian banjir di perkotaan melalui pembangunan water plaza, green roofs, multifunctional carparks, dll. 

KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN AIR PERKOTAAN
Suatu kota dengan berbagai aktivitas penduduk dan beragam kegiatan di dalamnya pasti menghasilkan waste water (air limbah). Secara ringkas air limbah perkotaan dapat berasal dari berbagai sumber :
  1. Air limbah rumah tangga (air bekas cucian, air bekas memasak, air bekas mandi, dll);
  2. Air limbah perkantoran, perdagangan, dll;
  3. Air limbah industri (pabrik, dll).

Municipal (Pemerintah Kota) di Belanda bertanggung jawab dalam pembangunan jaringan yang dapat mengangkut transportasi air limbah perkotaan dari sumbernya (rumah tangga, perkantoran, industri) menuju Water Treatment Plant (WTP). Dalam pelaksanaan tugasnya, Municipal memungut regional tax sebagai sumber pembiayaan untuk membangun jaringan perpipaan air limbah. Jaringan perpipaan tersebutlah yang menyalurkan air limbah dari sumbernya dan diangkut ke WTP.

Setelah air limbah sampai di WTP, maka selanjutnya Water Board yang bertanggung jawab atas pengolahan air limbah di WTP tersebut. Adapun WTP secara ringkas dapat digambarkan sebagai sebuah alat yang dirancang untuk mengolah waste water dengan cara memisahkan limbah biologis/kimiawi dari air. Hasil pengolahan WTP adalah air yang dapat digunakan untuk aktivitas sehari-hari misalnya minum, irigasi, mandi, dll. Dalam mengelola WTP tersebut, Water Board memungut regional tax dari masyarakat. Air bersih hasil pengolahan WTP memiliki standard kualitas siap minum.

Water Company selanjutnya mendistribusikan air bersih hasil pengolahan di WTP ke rumah tangga, perkantoran, industry, dll. Water Company harus memastikan bahwa air bersih pasca pengolahan WTP ketika distribusikan kepada konsumen melalui jaringan perpipaan masih tetap memiliki standard kualitas siap minum (air untuk keperluan sehari-hari misalnya untuk mandi dan mencuci bisa diminum). Sebagai contoh air yang dialirkan di wastafel bisa langsung diminum tanpa perlu direbus terlebih dahulu, hal itulah yang membuat orang Belanda biasanya minum langsung dari wastafel (yang bagi orang Indonesia terasa agak janggal).  

Hal yang sangat istimewa adalah jaringan perpipaan untuk pendistribusian air bersih di Belanda sangat bisa diandalkan. Bahkan seorang pegawai Gementee Rotterdam mengklaim bahwa jaringan perpipaan air bersih meng-cover 100% wilayah/konsumen di Rotterdam. Hal itulah yang menyebabkan Pemerintah membatasi secara ketat ekstraksi air bawah tanah. Pembatasan ekstraksi air bawah tanah secara ketat juga untuk menghindari penurunan muka air tanah. Sebagai informasi, penurunan air tanah adalah hal yang sangat dihindari oleh Pemerintah Belanda karena sebagian wilayahnya sudah berada di bawah muka laut dan terancam terkena banjir. Bahkan untuk menjaga kuantitas air bawah tanah, Pemerintah menggunakan teknologi untuk meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah misalnya water box.

Sebagai kesimpulan, tulisan ini sebenarnya ingin menyampaikan bahwa tata kelola air di Belanda pada dasarnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari Pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Municipal, Water Board), kecuali Water Company yang merupakan satu-satunya organisasi non-pemerintah yang diberikan tanggung jawab utama dalam tahapan tata kelola air (drinking water supply). Namun demikian sejatinya water company ini tidak sepenuhnya dimiliki swasta, karena pemerintah memiliki saham mayoritas pada perusahaan tersebut (semacam BUMN/BUMD).

Walaupun demikian, kondisi di Belanda sudah pasti tidak bisa dibandingkan sepenuhnya dengan Indonesia karena Pemerintah Belanda memiliki kekuatan finansial yang memadai dan bisa membangun sendiri semua infrastruktur, berbeda dengan Pemerintah Pusat/Daerah di Indonesia yang memiliki kendala finansial sehingga seringkali meminta bantuan swasta dalam pembangunan infrastrukturnya. Namun demikian hal yang perlu diperhatikan dan perlu ditekankan kembali adalah bahwa tanggung jawab utama tetap di tangan Pemerintah. Apabila Pemerintah meminta bantuan swasta (khususnya dalam hal pendanaan) maka supervisi Pemerintah adalah mutlak.

No comments: