Saturday, 18 January 2014

Konsep Regulatory System Dalam Penataan Ruang

Dalam regulatory system, semua tindakan harus mengacu pada peraturan/ regulasi yang telah ditetapkan. Secara sederhana prinsip dari regulatory system adalah bahwa segala tindakan yang dilakukan (khusunya terkait perizinan) harus mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan. Konsep regulatory system ini sangat kontras dengan masa lalu yang cenderung menggunakan discretionary system (lebih mengutamakan kebijakan).

Terkait tata ruang, jiwa dari konsep regulatory system sudah mulai digunakan di Indonesia sejak diberlakukannya UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Mengacu pada peraturan tersebut, segala tindakan warga kota harus sesuai dengan RTRW. Dengan pengertian tersebut maka RTRW seolah-olah dianggap sebagai kitab suci yang harus dipatuhi oleh siapapun, baik masyarakat maupun aparat pemerintah. Masyarakat yang melanggar tata ruang maka dapat dikenakan sanksi. Tidak hanya itu, para pejabat yang memberikan izin tidak mengacu pada RTRW juga dapat dikenakan sanksi. Intinya, ketika  RTRW sudah ditetapkan dan menjadi produk hukum, maka harus dipatuhi dan apabila melanggar maka akan berakibat pada konsekuensi hukum (begitu yang sering dibilang aparat Pemerintah Pusat).

Konsep regulatory system yang mendewakan RTRW tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. RTRW adalah produk manusia yang tidak sempurna (kata kuncinya adalah bahwa RTRW merupakan produk manusia). Hingga saat ini banyak sekali masyarakat yang memprotes RTRW karena merasa dirugikan. Ketidaksempurnaan RTRW terlihat dari "proses penyusunannya" yang seringkali terkendala biaya, waktu, dan tenaga.

Walaupun memang esensi RTRW adalah hasil kesepakatan seluruh warga kota yang mencerminkan total social benefit, namun penyusunan RTRW tidak bisa mengakomodasi keinginan masyarakat secara optimal (sekali lagi ditegaskan bahwa RTRW berusaha mengoptimalkan total social benefit, bukan benefit untuk segelintir individu saja). Untuk menjadikan RTRW sebagai "kitab suci", terdapat satu kelemahan lain yang cukup mendasar yaitu penyusunannya tidak terlalu mempertimbangkan kepemilikan lahan pada tanah yang direncanakan (kecuali kasus tertentu ataupun mempertimbangkan kondisi eksisting). Sederhananya, kita menyusun rencana pada tanah orang, sehingga implementasinya menjadi sulit dilaksanakan.

Untuk menutup kelemahan dari sistem yang ada dalam RTRW sebenarnya UU 26 Tahun 2007 sudah membuka banyak ruang khususnya pada bagian Insentif dan Disinsentif. Ada banyak cara ketika masyarakat akan memanfaatkan tanah yang dimilikinya sesuai dengan rencana tata ruang, misalnya diberikan insnentif berupa keringanan pajak, dll. Walaupun UU 26 Tahun 2007 sudah memberikan ruang yang luas untuk insentif dan disinsentif, namun pada praktiknya masih susah diterapkan (terutama terkait regulasi dan pemahaman aparat terhadap konsep tersebut).

Selain itu terdapat kelemahan lain dari UU 26 Tahun 2007 yang cukup vital. Peraturan tersebut mewajibkan pemanfaatan ruang harus sesuai dengan RTRW (tanpa kecuali), dan sebenarnya tidak memperbolehkan perubahan peruntukan. Hal ini cukup bagus untuk mengendalikan pertumbuhan kota, misalnya peruntukan intensitas rendah seperti RTH tidak boleh berubah menjadi peruntukan intensitas lebih tinggi seperti perumahan. Namun sebaliknya apabila peruntukan intensitas lebih tinggi seperti perumahan juga tidak bisa berubah menjadi peruntukan intensitas rendah seperti RTH (padahal hal ini cukup bermanfaat).

~~~terinspirasi dari paparan pakar / dosen ITB Pak Andhy Oetomo, Pak Petrus Natalivan, dll..~~~

No comments: