Dengan adanya banjir pada awal tahun 2014, semakin marak pula berita mengenai warga yang menempati lahan marginal yang tidak sesuai peruntukan seperti pinggir sungai dan waduk. Hampir semua pihak setuju bahwa warga seharusnya tidak boleh tinggal di pinggiran sungai dan waduk karena dapat menyebabkan banjir. Warga yang tinggal di pinggir sungai dan waduk ini sangat sulit direlokasi karena (dengan keterbatasan uang) biasanya mereka tidak mempunyai alternatif lokasi untuk pindah, sehingga lebih memilih bertahan di tempat ilegal tersebut. Permasalahan lainnya, walaupun warga tersebut juga mengakui kesalahannya karena telah menempati lahan secara ilegal, namun mereka tetap meminta ganti rugi ketika akan direlokasi, sehingga menyulitkan Pemerintah.
Pertanyaan utamanya adalah apakah warga yang menempati lahan secara ilegal tersebut memang layak mendapatkan ganti rugi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin perlu kita review terlebih dahulu mengenai kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap warga yang menempati pinggiran sungai dan waduk secara ilegal (di luar yang memiliki sertifikat tanah secara resmi).
Pada masa lalu, Gubernur Fauzi Bowo menjamin ganti rugi terhadap penggarap tanah negara melalui penerbitan Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Santunan Kepada Penggarap Tanah Negara. Santunan yang lebih dikenal dengan sebutan ‘uang kerohiman’ ini juga bisa diberikan kepada warga yang tinggal di sekitar sungai dan waduk. Walaupun warga melakukan “kesalahan” karena menempati lahan tidak sesuai peruntukan dan tanpa izin, namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan kebijakan (dengan pertimbangan kemanusiaan) bahwa mereka dapat diberikan santunan / uang kerohiman untuk membantu kepindahan mereka dari lokasi tersebut.
Sebagai informasi singkat, penerbitan Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 tersebut juga tidak lepas dari adanya proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project / JUFMP (proyek darurat pengendalian banjir di Provinsi DKI Jakarta) atau Jakarta Emergency Dredging Initiative Project / JEDI Project, yang dananya berasal dari pinjaman World Bank. Melalui proyek JUFMP / JEDI, akan dilakukan normalisasi dan pengerukan terhadap sungai dan waduk di Jakarta yang berimplikasi pada relokasi warga yang tinggal di sekitar sungai dan waduk terkena proyek.
Proyek JUFMP / JEDI itu sangat menyulitkan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena World Bank mensyaratkan lahan yang akan terkena proyek harus clear (padahal jumlah warga di sekitar sungai dan waduk sangat banyak). Selain itu agar pinjaman dapat dicairkan, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga disyaratkan harus menjamin hak-hak warga yang terkena dampak proyek ini (warga di pinggiran sungai dan waduk). Secara spesifik, pembebasan lahan harus menggunakan metode Land Acquisition and Resettlement Action Plan / LARAP atau Resettlement Policy Framework / RPF. Di kemudian hari dilaksanakan renegosiasi/revisi atas beberapa substansi yang dicantumkan dalam persyaratan Proyek JUFMP / JEDI (termasuk ketentuan bahwa lahan harus clear dan metode RPF).
Seiring dengan pergantian pemimpin di Jakarta pasca Pemilu Kepala Daerah tahun 2012, terdapat perubahan kebijakan mengenai santunan / uang kerohiman. Gubernur Joko Widodo mencabut Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Santunan Kepada Penggarap Tanah Negara. Asumsinya adalah bahwa masyarakat harus didorong untuk taat hukum dan tidak boleh menempati tanah yang bukan miliknya tanpa izin, apalagi di sepanjang sungai dan waduk, karena dapat menyebabkan banjir. Apabila ada yang menempati tanah secara ilegal maka tidak boleh diganti rugi karena dapat mendorong orang lain melakukan pelanggaran yang serupa pada masa mendatang. Selain itu pasca ganti rugi bisa saja mereka mendirikan bangunan kembali di sungai yang lain dengan harapan mendapat ganti rugi kembali.
Sebagai informasi tambahan, walaupun Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 sudah dicabut namun sebenarnya masih ada celah untuk memberikan ganti rugi kepada warga yang menempati tanah negara. Sesuai peraturan yang terbaru (Peraturan Ka. BPN 5 Tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU 2 Tahun 2012 dan Perpres 71 Tahun 2012), bahwa ganti rugi terkait pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum (termasuk waduk dan sungai) menggunakan perhitungan appraisal. Adapun perhitungan appraisal mempertimbangkan penggunaan eksisting. Sederhananya, apabila terdapat bangunan eksisting berupa rumah atau toko (walaupun menempati tanah negara) maka ketika direlokasi sebenarnya bisa mendapatkan diganti rugi (*interpretasi pribadi saya*).
Kembali membahas topik mengenai warga di pinggiran sungai dan waduk, beberapa waktu lalu Wakil Gubernur Basuki TP mengeluarkan statemen yang sangat menarik (dikutip oleh DETIK, 30 Januari 2014), bahwa relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai dan waduk terinspirasi dari film Al Capone. Wakil Gubernur menyatakan bahwa sebenarnya warga tidak menolak direlokasi, namun yang paling banyak menolak relokasi adalah pemilik rumah dan pemilik kontrakan. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka Wakil Gubernur menyampaikan bahwa apabila pemilik rumah dan kontrakan menolak relokasi, maka akan dikejar pajaknya (seperti Al Capone yang dikejar pajaknya oleh instansi yang berwenang karena bisnis ilegal), apalagi mereka selama ini mendapatkan untung dari rumah dan kontrakannya tanpa membayar pajak kepada negara.
Sekedar informasi, kalau tidak salah dalam perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ada dua komponen yang dihitung pajaknya, yaitu kepemilikan tanahnya dan kepemilikan bangunan. Dan esensi PBB adalah memungut dana untuk mengatasi dampak / eksternalitas negatif dari penggunaan tanah dan bangunan tersebut (membangun di atas lahan yang tidak sesuai peruntukan tentu kasus yang berbeda dengan pembayaran pajak untuk mengatasi eksternalitas negatif). Dengan menempati lahan ilegal, maka mereka melanggar dua UU sekaligus yaitu UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Yang ingin saya tekankan bahwa pada kasus warga yang menempati pinggiran sungai dan waduk, terdapat dua hal yang disoroti yaitu 1) mereka tidak memiliki izin, dan 2) mereka tidak membayar PBB.
Dengan adanya UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mencantumkan bahwa PBB (sekarang) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah maka kebijakan tata ruang di daerah seharusnya lebih mudah untuk disinkronkan dengan ketentuan mengenai PBB. Jadi sekali lagi, kalau warga menolak direlokasi dan meminta ganti rugi, maka mereka harus membayar PBB yang bertahun-tahun tidak mereka bayar (terinspirasi Al Capone). Intinya sebenarnya warga yang menempati lahan ilegal di pinggir sungai dan waduk itu sebenarnya tidak berhak (tidak layak) mendapatkan ganti rugi ketika direlokasi.
Namun demikian, harus diingat bahwa dalam UUD 1945 dan UU 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Negara menjamin hak warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Mengacu pada hal tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus menjamin tempat tinggal yang layak bagi warga yang tinggal di pinggir sungai dan waduk. Walaupun Peraturan Gubernur 193 Tahun 2010 telah dicabut, bukan berarti Gubernur tidak memberikan solusi, karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun banyak Rumah Susun sebagai tempat relokasi warga yang menempati bantaran sungai dan waduk. Jadi istilahnya adalah : santunan / uang kerohiman diganti menjadi Rumah Susun.
~~~tulisan ini terinspirasi dari berita di DETIK, 31 Januari 2014, bahwa Wakil Gubernur terinspirasi dari Al Capone~~~
No comments:
Post a Comment