Saturday, 18 January 2014

Melawan Kekuatan Pasar Dalam Mengarahkan Pertumbuhan Kota

Kalau diperhatikan, “kekuatan pasar” dalam menentukan arah perkembangan Kota Jakarta ini sangat besar dan cenderung susah dikendalikan, khususnya kekuatan pasar di bidang properti (pembangunan apartemen, perkantoran, dan pusat perbelanjaan). Hal ini terlihat dari sangat banyaknya perumahan, apartemen, perkantoran, dan pusat perbelanjaan baik yang berlokasi di pusat kota maupun di pinggiran kota. Belum lagi saat ini masih banyak pembangunan baru (sedang tahap konstruksi) yang terlihat menjamur di berbagai lokasi.

Backlog perumahan selalu menjadi “pembenaran” atas pembangunan perumahan atau apartemen baru di Jakarta. Padahal saya menduga (baru sebatas dugaan, belum ada penelitian akademisnya) bahwa backlog perumahan dan solusinya sebenarnya semu atau tidak tepat sasaran. Saat ini yang dibangun adalah rumah dan apartemen dengan harga mahal (segmen pasarnya hanya untuk segelintir orang kaya), padahal yang tidak memiliki rumah adalah mereka (masyarakat miskin) yang tinggal di ruang-ruang marginal seperti bantaran sungai, bantaran rel, dll. Sederhananya, saya ingin menyampaikan bahwa solusi yang diberikan sepertinya tidak cocok. Karena pada akhirnya yang membeli rumah dan apartemen tersebut adalah orang kaya yang ternyata sudah memiliki primary house, dan dia membeli rumah atau apartemen tersebut sekedar untuk investasi saja.

Bagi saya, pembangunan besar-besaran di Jakarta yang daya dukung dan daya tampungnya sangat terbatas tentunya juga adalah sebuah kesalahan fatal. Saat ini infrastruktur pendukung masih belum siap, terlihat dari adanya macet dan banjir. Jalan yang ada sudah tidak bisa menampung aktivitas pengguna kendaraan pribadi, sementara kapasitas Bus Rapid Transit (busway) sudah maksimal, dan angkutan massal MRT serta monorail masih belum selesai pembangunannya. Selain itu juga terlihat dari adanya banjir yang terjadi hampir merata baik di tahun 2013 maupun awal 2014. Pembangunan besar-besaran tidak diikuti penanganan eksternalitas negatifnya. Idealnya, pembangunan besar-besaran baru boleh dilaksanakan ketika infrastrukturnya telah siap, bukan sebaliknya yaitu pembangunan dilaksanakan ketika infrastruktur belum siap. Insfrastruktur merupakan elemen penting guna menanggulangi eksternalitas negatif pembangunan.

Dalam pembangunan besar-besaran di Jakarta, bank juga berperan besar (untuk diperhatikan) mengingat pembiayaan pembangunan perumahan seringkali menggunakan kredit dari bank (kalau pembiayaan proyek infrastruktur biasanya skemanya 30 % modal pribadi dan 70 % hutang bank, entah kalau proyek properti). Saya menduga bahwa kredit perbankan untuk properti di Jakarta, pasti persentasenya sangat besar dibandingkan kredit untuk luar Jakarta (sebatas dugaan), padahal idealnya kredit perbankan untuk properti di Jakarta dibatasi. Sudah menjadi kodratnya bahwa bank akan menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dan meminjamkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan pinjaman. Dan bank pasti memilih investasi di Jakarta karena memang menghasilkan return yang lebih tinggi (risiko gagal bayar juga lebih kecil), namun mekanisme pasar seperti ini apabila dibiarkan akan berbahaya dalam jangka panjang karena pembangunan masih terpusat di Jakarta.

Dengan melihat kodrat bank seperti di atas maka seharusnya Pemerintah harus peka dan melakukan “tindakan khusus”, agar pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jakarta bukan sekedar omong kosong. Idealnya Kementerian Perekonomian sudah melihat hal ini dan melakukan langkah-langkah khusus yang strategis. Saya tidak tahu konsep MP3EI yang saat ini didorong oleh Kementerian Perekonomian efektif atau tidak untuk memunculkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jakarta. Konsep MP3EI tentu harus didukung oleh Pemerintah-Pemerintah Daerah dan didukung dengan regulasi yang tepat.

Peran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (sebagai salah satu Pemerintah Daerah) sebenarnya juga signifikan. Perizinan pembangunan properti di Jakarta harus dibatasi. Idealnya sekarang ini DKI Jakarta masuk pada rezim pengendalian pembangunan, bukan mendorong pembangunan. Saat ini yang terpenting adalah revitalisasi kawasan di Jakarta, bukan sekedar pembangunan baru. Pembangunan besar-besaran di Jakarta idealnya boleh dilakukan ketika infrastruktur pendukungnya (guna menanggulangi eksternalitas negatif) seperti jalan, drainase, sungai, dan waduk sudah siap.

Perubahan mindset juga diperlukan. Harus diingat bahwa walaupun pembangunan properti di Jakarta signifikan dalam menyumbang PAD dan menggerakkan perekonomian kota (termasuk membuka lapangan pekerjaan), namun dampaknya juga tidak kecil. Dengan memusatnya penduduk di Jakarta, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menjamin ketersediaan infrastruktur seperti jalan, drainase, sampah, listrik, air bersih, air kotor, dll. Perlu ada studi yang membandingkan keuntungan yang didapat oleh kota Jakarta dengan adanya pembangunan properti di suatu lokasi diperbandingkan dengan biaya penanggulangan dampaknya. Kalau biaya penanggulangan dampak lebih besar dibandingkan keuntungannya, buat apa pembangunan tersebut diizinkan.

Satu lagi kelemahan di Indonesia adalah pengawasan dan pengendalian. Mengacu pada UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, seharusnya sebelum proyek properti telah jadi maka tidak boleh dipasarkan terlebih dahulu, tapi yang terjadi sekarang Pengembang masih tetap bisa memasarkan proyek yang belum jadi dan menggunakan duit masyarakat untuk membangun (masih seperti model lama). Ketiadaan pengawasan dan pengendalian juga menjadikan sanksi menjadi mandul, sehingga masyarakatlah yang akhirnya dirugikan.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kekuatan pasar sangat kuat menggiring pembangunan di suatu kota, sehingga diperlukan suatu kebijakan yang tegas dan jelas. Kebijakan tersebut harus mampu mengendalikan dan mengarahkan pertumbuhan kota, bukan sebaliknya yaitu pertumbuhan kota yang dikendalikan oleh pasar.

No comments: