Wednesday, 22 January 2014

Perbedaan Cara Pandang

Ada yang menarik (bagi saya) ketika TV One menayangkan acara Indonesia Lawyer Club pada tanggal 21 Januari 2013, dimana dalam salah satu segmen terdapat wawancara Karni Ilyas dengan pengacara senior Adnan Buyung Nasution.

Dalam wawancara tersebut, Adnan Buyung mengkritik KPK yang telah seringkali melaksanakan kesalahan dan perlu dikoreksi. Beberapa kritikan Adnan Buyung antara lain :
1. Bahwa tujuan tidak boleh mengalahkan cara. Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa tujuan pemberantasan korupsi tidak boleh dijadikan sebagai pembenaran bagi KPK melakukan penyadapan dan penyidikan secara membabi buta kepada berbagai pihak. Mungkin pernyataan ini disebabkan background Adnan Buyung sebagai "orang hukum" sehingga lebih mengutamakan prosedur (prosedur lebih penting daripada tujuan).

2. Bahwa hukuman yang diterapkan dalam kasus-kasus korupsi tidak tepat, sehingga hukuman berupa pemiskinan koruptor juga dianggap sangat tidak tepat. Adnan Buyung menganggap bahwa korupsi bukanlah extraordinary crime (dia mencontohkan extraordinary crime misalnya genocide, bukan korupsi), sehingga hukuman yang pantas adalah : koruptor harus mengembalikan sejumlah uang yang dikorupsinya, bukan dimiskinkan.

Menanggapi pernyataan Adnan Buyung, juru bicara KPK, Johan Budi mengingatkan bahwa Adnan Buyung merupakan pengacara tersangka (berdasar penetapan KPK), sehingga tidak semua kritik yang disampaikan kepada KPK adalah benar/obyektif (namun dia juga mengingatkan bahwa KPK juga tidak selalu benar). Johan Budi juga menyampaikan bahwa tidak benar KPK bertindak tanpa pengawasan.

Bagi saya ada beberapa pernyataan Adnan Buyung yang agak rancu, misalnya :
1. Terkait pertanyaan apakah tujuan atau cara yang lebih diutamakan, maka hal ini sangat terbuka untuk diperdebatkan, karena memang dalam kenyataannya ada orang-orang yang lebih mengutamakan "hasil/output" dan di sisi lain tidak sedikit juga orang-orang yang mengutamakan "proses". Di sinilah terdapat perbedaan berbagai orang dilihat dari latar belakang pendidikannya. Orang hukum lebih mengutamakan prosedur, orang ekonomi lebih mengutamakan efisiensi/proses, dan orang teknik lebih mengutamakan efektivitas/output. Jadi memang bisa dipahami apabila seorang ahli hukum sangat mengutamakan proses/prosedur.

2. Cukup aneh apabila korupsi tidak dianggap sebagai extraordinary crime, mengingat efek korupsi yang sangat dahsyat terhadap sosial, ekonomi, dan budaya. Apabila kita melihat dari sudut pandang ekonomi (bukan sudut pandang hukum) dan mengilustrastrasikan ketika seorang koruptor melakukan korupsi pada pembangunan jalan senilai Rp 100 miliar, bukan berarti kerugian negara hanya sebesar Rp 100 miliar,  karena "apabila" jalan tersebut benar-benar dibangun maka "multiplier effect" pembangunan jalan tersebut bisa jauh lebih besar daripada sekedar nilai pembangunannya (ada opportunity cost yang hilang akibat korupsi). Jadi sebenarnya wajar saja apabila hukuman korupsi jauh lebih besar dibanding nilai korupsinya. Dan apabila kita melihat dari sudut pandang sosial-budaya, maka kita pasti setuju bahwa korupsi harus diberantas karena menghancurkan mental. Dengan demikian, kalau korupsi dianggap sebagai extraordinary crime dan pelakunya dimiskinkan, maka hukuman itu tampaknya cukup layak. Selain itu pemiskinan koruptor juga bisa membuat orang lain takut korupsi dan pada akhirnya efektif mencegah korupsi di kemudian hari.

~~~hanya terpikir uneg-eneg sekilas~~~

No comments: