Khusus terkait pengendalian pertumbuhan di selatan dianggap vital dalam mendukung daya dukung kota, mengingat daerah selatan adalah daerah penyangga dan idealnya menjadi daerah resapan air agar air dari hulu tidak melimpas secara deras menuju pusat kota di Jakarta.
Permasalahannya adalah pengendalian pertumbuhan di selatan sangat susah dalam praktiknya, misalnya di sepanjang koridor Jalan Simatupang yang banyak dimanfaatkan oleh gedung tinggi menjulang, padahal jalan non-tol di depannya (bukan jalan tol JORR) hanya selebar sekitar +/- 6 meter (2 lajur per jalur). Memang harus disadari bahwa tanah di sepanjang koridor tol JORR ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, sehingga tekanan ekonomi untuk merubah fisik kota juga menjadi tinggi.
Walaupun tekanan ekonomi sangat tinggi, konsep pembangunan gedung tinggi di Jalan Simatupang yang mengikuti pola ribbon development (memanjang sepanjang jalan Simatupang) sangat layak untuk diperdebatkan. Dalam buku Rinaldi Mirsa (Element Tata Ruang Kota), perkembangan fisik kota berupa ribbon development (bersama dengan concentric spread, satellite growth, dan scattered growth) dikategorikan sebagai pola pertumbuhan yang alamiah dan tidak direncanakan. Namun pernyataan Rinaldi Mirsa ini masih bisa diperdebatkan, mengingat bisa juga Pemerintah memang merencanakan ribbon development tersebut. Apabila ribbon development memang direncanakan, maka Pemerintah harus memperhatikan dampak pembangunannya, khususnya terhadap macet dan banjir.
Kembali ke Jalan Simatupang, tidak perlu kajian lalu lintas untuk melihat bahwa kapasitas jalan tersebut sudah ngos-ngosan dalam mendukung aktivitas kota. Dengan pembangunan eksisting saja macetnya sudah sangat terasa, apalagi bila nantinya bangunan-bangunan yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan (dan direncanakan dibangun) telah mulai beroperasi. Harus diingat bahwa pada awal Januari 2014, terdapat beberapa ruas Jalan Simatupang yang tergenang air hingga tidak bisa dilewati kendaraan (kontur tanah pada beberapa ruas jalan memang seperti palung, sehingga menyebabkan genangan/banjir).
Saya lebih setuju apabila pemberian intensitas tinggi di sepanjang Jalan Simatupang dikaji kembali atau dipersulit sekalian. Idealnya (versi saya) pemberian intensitas tinggi hanya diberikan di dekat mulut / pintu tol saja, tidak sepanjang koridor. Apapun kebijakan terhadap koridor Jalan Simatupang, pembangunan harus tetap mengacu pada rencana kota. Sebagai catatan harus diingat bahwa penetapan rencana kota (termasuk intensitas ruang di Jalan Simatupang) menggunakan proses teknokratis (teknis ilmiah), partisipatif, dan politis. Mungkin secara teori pada saat proses teknokratis disampaikan bahwa daerah selatan idealnya memiliki intensitas rendah untuk mencegah banjir. Namun harus diingat juga pada saat proses selanjutnya ada proses partisipatif mendengar masukan dari berbagai pihak khususnya warga kota (termasuk dalam definisi warga kota adalah pemilik tanah di koridor Jalan Simatupang). Dan terakhir tentunya harus diingat dan tidak bisa dipungkiri bahwa rencana kota merupakan produk politis dan mencerminkan kesepakatan warga kota.
Kembali ke persoalan bahwa saat ini adalah sudah banyak gedung tinggi di sepanjang koridor Simatupang. Apabila pemilik tanah di samping bangunan tinggi tersebut meminta izin untuk membangun bangunan tinggi (seperti sebelahnya), maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta susah menolak. Beberapa alasannya adalah :
- Mengacu pada rencana kota, di sepanjang koridor Jalan Simatupang memang diperbolehkan ada bangunan tinggi, sehingga para pemilik tanah juga berhak mengajukan permohonan izin membangun bangunan tinggi selama memenuhi syarat.
- Apabila pembangunan gedung tinggi di sepanjang koridor Jalan Simatupang di-hold maka akan memunculkan isu “keadilan”. Aspek keadilan ini maksudnya bahwa sudah banyak bangunan tinggi di sebelahnya namun pemilik tanah yang akan membangun baru tidak diperbolehkan membangun, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan. Walaupun aspek keadilan ini bisa juga dipertentangkan apakah adil bagi masyarakat kota Jakarta secara keseluruhan yang merasakan dampak banjir dan macet akibat pembangunan baru tersebut.
Inti yang ingin saya sampaikan adalah bahwa pertumbuhan di selatan Jakarta khususnya di sepanjang koridor Jalan Simatupang memang sangat susah dikendalikan (karena tekanan ekonomi sangat besar). Dengan demikian mungkin perlu alternatif yang bisa diterima berbagai pihak terkait pembangunan di koridor tersebut :
- Pembangunan gedung tinggi tetap tidak boleh melampaui KDB yang ada karena dalam rencana kota, koridor tersebut memiliki KDB yang tidak besar (walaupun dengan KDB rendah tetap bisa diakali dengan pertumbuhan vertikal ke atas, sehingga intensitas ruangnya tetap tinggi).
- Dengan pembangunan gedung tinggi (yang otomatis pondasinya juga masuk ke bawah), maka perlu dikompensasi dengan peningkatan Koefisien Dasar Hijau kawasan (bukan per persil namun kawasan), untuk meningkatkan fungsi tata air pada kawasan tersebut.
- Idealnya Jalan Simatupang (bukan jalan tol JORR) diperlebar dan ditambahkan satu lajur lagi untuk dijadikan sebagai service road di dalam kawasan (minimal menjadi service road bagi bangunan di pinggir jalan).
- Dampak pembangunan (eksternalitas negatif) idealnya ditanggulangi oleh pihak yang akan membangun gedung tinggi di Jakarta, dan Pemerintah harus mampu memaksa mereka untuk melaksanakan kewajiban menanggulangi dampak tersebut.
- Mungkin pada masa depan pembangunan kota tidak hanya mempertimbangkan angka-angka yang tertera dalam kajian lalu lintas ataupun kajian tata air, namun juga mempertimbangkan faktor “kenyamanan warga kota”.
~~~hanya pemikiran seorang warga kota yang gerah dengan banjir dan macet di koridor tersebut pada bulan Januari 2014~~~
No comments:
Post a Comment